Jumat, 06 Desember 2019

WAHYU TAK SELALU ONLINE


—Saiful Islam—

“Tidak ada wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an…”

Tampkanya saya harus memantapkan konsep wahyu dulu. Sebelum membahas metodologi, Hadis, Hadis Qudsi, Sejarahnya, filsafat (kaidah) menyikapi Hadis, asbabun nuzul, dan lain-lain. Sebab beberapa pertanyaan yang menguji, tampaknya belum benar-benar ngeh dengan tulisan-tulisan sebelumnya tentang wahyu. Minta lebih diperjelas lagi. Karena ini marathon (paling tidak 60 tulisan untuk jadi buku) dan bukan sprint, saya akan mematangkan dulu konsep wahyu ini.

Seorang kawan meminta supaya pengertian wahyu diperjelas. Sebelum menafsirkan maksud QS.53:4, wa maa yanthiqu ‘an al-hawaa in huwa illaa wahy yuuhaa (Yang diucapkan Nabi Muhammad itu bukan berdasar keinginannya, tetapi wahyu yang diwahyukan kepadanya).

Ia menulis begini. Ketika kita merujuk pada literatur Ilmu al-Qur’an, diperoleh pengertian wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah. Baik dengan melalui perantara ataupun tidak, melalui suara yang terjelma dalam telinga, atau tanpa suara sama sekali. Adapun bentuk turunnya wahyu, bisa berupa wahyu secara langsung, wahyu yang disampaikan ke dalam hati Rasulullah secara langsung tanpa perantara.

Atau bisa juga wahyu berbentuk suara, yakni wahyu yang langsung sampai ke pendengaran Rasulullah tanpa ada seorang pun yang bisa mendengarnya. Bisa juga wahyu melalui perantara Jibril. Malaikat penyampai wahyu membawa pesan Tuhan untuk dikabarkan kepada Rasulullah sebagaimana yang masyhur terjadi pada al-Qur’an.

Nah pengertian wahyu menurut Saiful itu yang mana? Apa jangan-jangan pengertian sempit bahwa wahyu itu hanya yang disampaikan melalui perantara Jibril saja? Sehingga hanya al-Qur’an saja yang berupa wahyu sementara Hadis (mutawatir dan sahih) bukanlah wahyu?

***

Baiklah. Soal QS. Al-Najm[53]: 4. Yang diucapkan Nabi SAW itu bukan berdasar keinginannya, tetapi wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diucapkan Nabi itu, yang dimaksud adalah Qur’an. Jelas sekali. Bukan yang lain. Jadi bukan semuanya yang diucapkan Nabi itu adalah Qur’an. Tidak mungkin semua ucapan Nabi adalah wahyu. Yang wahyu itu yang diucapkan Nabi itu, memang yang Qur’an saja. Mesti Qur’an memang firman Allah, tapi Qur’an memang diucapkan Nabi.

Buktinya, baca tulisan sebelumnya QUR’AN MENEGUR NABI. Kalau betul semua yang diucapkan Nabi adalah wahyu, pastilah Nabi tidak akan pernah keliru. Masak ada wahyu salah?! “Hai Nabi, kenapa Engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan untukmu?!” begitu redaksi QS.66:1.

Gampangnya, ada dua fungsi dalam diri Nabi SAW itu. Pertama, fungsi Nabi sebagai manusia biasa. Kedua, fungsi Nabi SAW sebagai utusan Allah (Rasulullah). Dasarnya, seperti QS.18:10. Nah, sebagai manusia biasa, ucapan Nabi itu bukan wahyu. Karenanya, bisa benar dan bisa juga salah. Begitu juga sikap dan keputusan beliau. Tetapi, ketika yang diucapkan Nabi itu adalah ayat-ayat Qur’an, barulah itu wahyu. Yang tidak mungkin salah selamanya! Di sinilah fungsi beliau sebagai Rasul Allah.

Jangan pernah mengira. Bahwa sejak Nabi pertama kali mendapat wahyu Qur’an, itu langsung otomatis Jibril menjadi asisten Nabi yang bisa dihubungi kapan saja. Atau jangan pernah menganggap, sejak dipilih sebagai Rasul, itu wahyu selalu connect dengan Nabi. Wahyu kepada Nabi, itu tidak selalu on. Tidak selalu online. Tetapi kadang offline. Proses pewahyuan kepada Nabi, itu terjadi secara gradual. Historis, periodik selama kurang lebih 23 tahun. Nabi itu kadang mendapat wahyu, kadang tidak. Wahyu itu kadang nyambung, kadang terputus.

Yang menganggap semua perkataan Nabi, semuanya adalah wahyu, itu dari awal—entah sadar atau tidak—meyakini bahwa ada wahyu lain selain Qur’an. Tentu saja, keyakinan itu tidak mempunyai pijakan yang kuat. Sangat rapuh, malah. Pasti akan mengalami kerancuan-kerancuan logika. Pikirannya akan bertabrakan sendiri. Biasanya pijakannya hanya Hadis-Hadis. Qur’an hanya dijadikan tafsirnya Hadis. Terbalik. Tak jarang malah, Qur’an (yang sudah jelas-jelas pastinya dari Nabi) dilupakan.

Selanjutnya, tentang literatur ‘Ulumul Qur’an. Kalau belajar tanpa kritik, hanya ‘aamiin’ saja, memang akan begitu ceritanya. Makanya saya kritisi. Tidak pernah ada info dari Qur’an bahwa wahyu yang sampai kepada Nabi SAW itu melalui penampakan Jibril, atau melalui lonceng, atau melalui suara. Wahyu yang sampai kepada Nabi SAW, itu hanya melalui satu cara. Yaitu langsung ke hati Nabi melalui Jibril yang tidak menampakkan diri. Baca lagi tulisan sebelumnya, WAHYU KEPADA NABI SAW.

Jadi sebagaimana definisi yang telah saya buat, wahyu adalah pesan Tuhan kepada seseorang yang Dia pilih (al-mushtofa) melalui media tertentu. Nah, proses pewahyuan khusus kepada Nabi SAW, itu hanya melalui satu cara! Yaitu pesan Tuhan yang dibawa Malaikat Jibril langsung ke dalam hati Nabi!!

Kok bisa pengertian wahyu dibatasi hanya penelusuran ayat-ayat Qur’an saja? Karena proses pewahyuan, ini masalah gaib. Urusan metafisika. Soal pengetahuan eskatologi. Maka infonya harus SEBATAS info dari Qur’an saja. Akal siapa pun, termasuk akal Nabi SAW, itu tidak akan tahu hal-hal gaib demikian, KECUALI mendapat info dari Qur’an. Sebaiknya baca lagi AKAL NABI SAW.

Maka definisi ini, bukan saya persempit. Atau definisi sempit. Tetapi informasi dari Qur’an tentang wahyu yang sampai kepada Nabi, itu memang HANYA terjadi dengan satu cara itu saja. Masak saya mau menambah-nambahi sesuatu hal metafisik yang tidak ada infonya dari Qur’an? Ya, mengada-ada itu namanya. Wong Nabi saja tidak berani kebablasan kok soal eskatologi ini. Apalagi ngarang-ngarang. Baca misalnya QS.6:50, QS.7:187-188, QS.6:59, dan lain-lain.

Jadi pertanyaan kawan itu, “Sehingga hanya al-Qur’an saja yang berupa wahyu sementara Hadis (mutawatir dan sahih) bukanlah wahyu?” Maka saya jawab secara singkat dulu: bukan. Hadis mutawatir dan sahih itu BUKAN wahyu. Tidak ada wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an.

Ada kaidah (rumus), kurang lebih begini: Asal dari ibadah mahdhah, itu HARAM sampai ada Qur’an yang menyuruh. Maka untuk dunia Tafsir Hadis, izinkan saya menyumbang kaidah berikut: Asal dari hal-hal metafisika itu TIDAK DIKETAHUI dan HARAM DIIMANI, sampai ada Qur’an yang menginfokan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...