—Saiful Islam—
“Tidak ada wahyu yang berdiri
sendiri selain Qur’an…”
Tampkanya saya harus memantapkan
konsep wahyu dulu. Sebelum membahas metodologi, Hadis, Hadis Qudsi, Sejarahnya,
filsafat (kaidah) menyikapi Hadis, asbabun nuzul, dan lain-lain. Sebab
beberapa pertanyaan yang menguji, tampaknya belum benar-benar ngeh dengan
tulisan-tulisan sebelumnya tentang wahyu. Minta lebih diperjelas lagi. Karena
ini marathon (paling tidak 60 tulisan untuk jadi buku) dan bukan sprint,
saya akan mematangkan dulu konsep wahyu ini.
Seorang kawan meminta supaya
pengertian wahyu diperjelas. Sebelum menafsirkan maksud QS.53:4, wa maa
yanthiqu ‘an al-hawaa in huwa illaa wahy yuuhaa (Yang diucapkan Nabi
Muhammad itu bukan berdasar keinginannya, tetapi wahyu yang diwahyukan
kepadanya).
Ia menulis begini. Ketika kita
merujuk pada literatur Ilmu al-Qur’an, diperoleh pengertian wahyu adalah
pengetahuan yang didapat seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan
pengetahuan itu datang dari Allah. Baik dengan melalui perantara ataupun tidak,
melalui suara yang terjelma dalam telinga, atau tanpa suara sama sekali. Adapun
bentuk turunnya wahyu, bisa berupa wahyu secara langsung, wahyu yang
disampaikan ke dalam hati Rasulullah secara langsung tanpa perantara.
Atau bisa juga wahyu berbentuk
suara, yakni wahyu yang langsung sampai ke pendengaran Rasulullah tanpa ada
seorang pun yang bisa mendengarnya. Bisa juga wahyu melalui perantara Jibril.
Malaikat penyampai wahyu membawa pesan Tuhan untuk dikabarkan kepada Rasulullah
sebagaimana yang masyhur terjadi pada al-Qur’an.
Nah pengertian wahyu menurut Saiful
itu yang mana? Apa jangan-jangan pengertian sempit bahwa wahyu itu hanya yang
disampaikan melalui perantara Jibril saja? Sehingga hanya al-Qur’an saja yang
berupa wahyu sementara Hadis (mutawatir dan sahih) bukanlah
wahyu?
***
Baiklah. Soal QS. Al-Najm[53]: 4.
Yang diucapkan Nabi SAW itu bukan berdasar keinginannya, tetapi wahyu yang
diwahyukan kepadanya. Yang diucapkan Nabi itu, yang dimaksud adalah Qur’an. Jelas
sekali. Bukan yang lain. Jadi bukan semuanya yang diucapkan Nabi itu adalah Qur’an.
Tidak mungkin semua ucapan Nabi adalah wahyu. Yang wahyu itu yang diucapkan
Nabi itu, memang yang Qur’an saja. Mesti Qur’an memang firman Allah, tapi Qur’an
memang diucapkan Nabi.
Buktinya, baca tulisan sebelumnya
QUR’AN MENEGUR NABI. Kalau betul semua yang diucapkan Nabi adalah wahyu,
pastilah Nabi tidak akan pernah keliru. Masak ada wahyu salah?! “Hai Nabi,
kenapa Engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan untukmu?!” begitu
redaksi QS.66:1.
Gampangnya, ada dua fungsi dalam
diri Nabi SAW itu. Pertama, fungsi Nabi sebagai manusia biasa. Kedua, fungsi
Nabi SAW sebagai utusan Allah (Rasulullah). Dasarnya, seperti QS.18:10. Nah,
sebagai manusia biasa, ucapan Nabi itu bukan wahyu. Karenanya, bisa benar dan
bisa juga salah. Begitu juga sikap dan keputusan beliau. Tetapi, ketika yang
diucapkan Nabi itu adalah ayat-ayat Qur’an, barulah itu wahyu. Yang tidak
mungkin salah selamanya! Di sinilah fungsi beliau sebagai Rasul Allah.
Jangan pernah mengira. Bahwa sejak
Nabi pertama kali mendapat wahyu Qur’an, itu langsung otomatis Jibril menjadi
asisten Nabi yang bisa dihubungi kapan saja. Atau jangan pernah menganggap,
sejak dipilih sebagai Rasul, itu wahyu selalu connect dengan Nabi. Wahyu
kepada Nabi, itu tidak selalu on. Tidak selalu online. Tetapi kadang
offline. Proses pewahyuan kepada Nabi, itu terjadi secara gradual. Historis,
periodik selama kurang lebih 23 tahun. Nabi itu kadang mendapat wahyu, kadang
tidak. Wahyu itu kadang nyambung, kadang terputus.
Yang menganggap semua perkataan
Nabi, semuanya adalah wahyu, itu dari awal—entah sadar atau tidak—meyakini bahwa
ada wahyu lain selain Qur’an. Tentu saja, keyakinan itu tidak mempunyai pijakan
yang kuat. Sangat rapuh, malah. Pasti akan mengalami kerancuan-kerancuan
logika. Pikirannya akan bertabrakan sendiri. Biasanya pijakannya hanya
Hadis-Hadis. Qur’an hanya dijadikan tafsirnya Hadis. Terbalik. Tak jarang malah,
Qur’an (yang sudah jelas-jelas pastinya dari Nabi) dilupakan.
Selanjutnya, tentang literatur ‘Ulumul
Qur’an. Kalau belajar tanpa kritik, hanya ‘aamiin’ saja, memang akan
begitu ceritanya. Makanya saya kritisi. Tidak pernah ada info dari Qur’an bahwa
wahyu yang sampai kepada Nabi SAW itu melalui penampakan Jibril, atau melalui
lonceng, atau melalui suara. Wahyu yang sampai kepada Nabi SAW, itu hanya
melalui satu cara. Yaitu langsung ke hati Nabi melalui Jibril yang tidak
menampakkan diri. Baca lagi tulisan sebelumnya, WAHYU KEPADA NABI SAW.
Jadi sebagaimana definisi yang
telah saya buat, wahyu adalah pesan Tuhan kepada seseorang yang Dia pilih (al-mushtofa)
melalui media tertentu. Nah, proses pewahyuan khusus kepada Nabi SAW, itu hanya
melalui satu cara! Yaitu pesan Tuhan yang dibawa Malaikat Jibril langsung ke
dalam hati Nabi!!
Kok bisa pengertian wahyu dibatasi
hanya penelusuran ayat-ayat Qur’an saja? Karena proses pewahyuan, ini masalah
gaib. Urusan metafisika. Soal pengetahuan eskatologi. Maka infonya harus
SEBATAS info dari Qur’an saja. Akal siapa pun, termasuk akal Nabi SAW, itu
tidak akan tahu hal-hal gaib demikian, KECUALI mendapat info dari Qur’an.
Sebaiknya baca lagi AKAL NABI SAW.
Maka definisi ini, bukan saya
persempit. Atau definisi sempit. Tetapi informasi dari Qur’an tentang wahyu
yang sampai kepada Nabi, itu memang HANYA terjadi dengan satu cara itu saja.
Masak saya mau menambah-nambahi sesuatu hal metafisik yang tidak ada infonya
dari Qur’an? Ya, mengada-ada itu namanya. Wong Nabi saja tidak berani
kebablasan kok soal eskatologi ini. Apalagi ngarang-ngarang. Baca
misalnya QS.6:50, QS.7:187-188, QS.6:59, dan lain-lain.
Jadi pertanyaan kawan itu, “Sehingga
hanya al-Qur’an saja yang berupa wahyu sementara Hadis (mutawatir dan sahih)
bukanlah wahyu?” Maka saya jawab secara singkat dulu: bukan. Hadis mutawatir
dan sahih itu BUKAN wahyu. Tidak ada wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an.
Ada kaidah (rumus), kurang lebih
begini: Asal dari ibadah mahdhah, itu HARAM sampai ada Qur’an yang menyuruh. Maka
untuk dunia Tafsir Hadis, izinkan saya menyumbang kaidah berikut: Asal dari hal-hal
metafisika itu TIDAK DIKETAHUI dan HARAM DIIMANI, sampai ada Qur’an yang
menginfokan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar