—Saiful Islam—
“Selamanya. Tidak mungkin Allah berbicara
secara langsung kepada manusia. Bahkan kepada Nabi dan Rasul sekalipun…”
Masih mengikuti cerita Ibnu
Manzhur. Ibnu Ishaq berpendapat, menurut bahasa, wahyu itu asalnya semuanya
bermakna memberi tahu secara rahasia. Karenanya, ilham juga disebut wahyu. “Karena
itulah isyarat dan tanda (sinyal), disebut wahyu. Tulisan juga disebut wahyu,”
kata al-Azhariy.
QS. Al-Syura[42]: 51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ
يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ
رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan TIDAK MUNGKIN ALLAH BERKATA-KATA
LANGSUNG KEPADA MANUSIA kecuali dengan PERANTARAAN WAHYU, atau DI BALIK TABIR,
atau dengan MENGUTUS SEORANG UTUSAN. Lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.
Wa maa kaana li basyar an
yukallimahulloh illaa wahyan aw min waraa’ hijaab. Yakni
kecuali diwahyukan kepada manusia itu sebuah wahyu, maka Allah mengajarnya
dengan sesuatu yang manusia ketahui, bahwa Allah lah yang mengajarnya. Baik dengan
ilham, maupun dengan mimpi. Atau diturunkan kepadanya sebuah kitab, sebagaimana
yang terjadi kepada Nabi Musa. Atau dengan bacaan yang dibacakan kepadanya,
sebagaimana terjadi kepada Nabi Muhammad SAW. Semua ini adalah memberi tahu
(pengajaran), meskipun berbeda-beda sebab pengajaran tersebut.
Tradisi orang Arab, jika
disebutkan, “Aku mewahyukan kepadamu sebuah berita,” maka artinya adalah “Aku
memberi isyarat dengan mengatakannya secara perlahan-lahan dan lemah lembut.”
Menurut Abu al-Haytsam. Bahwa jika
disebut wahaytu ilaa Fulaan, uuhiya ilayh wahyan, wa awhaytu ilayh, uuhiya
iihaa’an (aku mewahyukan kepada Fulan, diwahyukan kepadanya), maka artinya
adalah ketika aku memberi isyarat dan memberi sinyal (tanda yang dipahami)
kepadanya.
Al-‘Ajjaj bersyair: “Allah
mewahyukan kepada bumi itu. Maka bumi pun menjadi kokoh.” Yakni Allah mewahyukan
kepada bumi. Maka bumi menjadi kokoh, dan tidak mengguncang penduduknya. Yakni
Allah memberi isyarat kepada bumi itu akan hal tersebut. Ia juga berkata bahwa
yang dimaksud wahaa lahaa al-qaraar (Allah mewahyukan kepada bumi
kekokohan) adalah Allah telah menentukan takdir seperti itu untuk bumi.
Jika disebutkan, “Aku mewahyukan
sebuah buku kepadanya,” artinya adalah aku lah penulis buku tersebut. Maka buku
itu adalah muuhiy (yang mewahyukan).
Menurut Ru’bah, bahwa Injil, Taurat
itu wahyu munamnimuh. Yakni ditulis oleh penulisnya.
Wahyu juga berarti api. Raja itu
disebut wahyu juga diambil dari makna ini. Tsa’lab pernah bertanya kepada Ibnu
al-A’robiy tentang definisi wahyu. Dijawab oleh al-A’robiy bahwa wahyu adalah
seorang raja. Alasan wahyu itu api adalah karena wahyu itu seakan-akan seperti
api yang bisa memberi manfaat sekaligus memberi mudharat. Raja atau pemimpin
itu seperti itu. Bisa memberi manfaat kepada rakyatnya, bisa juga memberi
mudharat.
Al-wahyu juga bisa berarti
tuan atau pemimpinnya kaum laki-laki.
Al-Wahyu itu seperti al-waghoo
(suara dalam peperangan). Yakni seperti suara sekerumunan lebah (nggeremeng,
kalau Bahasa Jawa-nya).
Al-Wahyu juga berarti
sesuatu yang cepat. Atau lekas-lekas. Orang Arab biasa mengatakan, “Al-wahy
al-wahy atau al-wahaa’ al-wahaa’,” artinya kurang lebih, “Ayo cepat! Ayo
segera! Ayo lekas-lekas!” Terkadang mereka menambahi huruf kaf di
belakangnya: “Al-wahaak al-wahaak!” Di dalam Hadis Abu Bakar juga
dijumpai al-wahy yang berarti cepat itu.
Untuk makna cepat ini, ada sebuah
Hadis. Begini bunyinya: Ketika engkau hendak melakukan sesuatu, maka
pertimbangkanlah akibatnya. Jika buruk, maka jangan dilakukan. Jika baik, maka
bersegeralah (fatawahhah)—yakni cepat-cepatlah mengerjakannya. Juga ada
kalimat, “Wahhaa Fulaan dzabiihatah, Fulan menyembelih hewannya.”
Menggunakan kata wahhaa, yaitu Fulan menyembelihnya dengan cepat.
Syay’un wahyun berarti
sesuatu yang cepat. Begitu juga tawahhaa bi al-syay’, artinya adalah
cepat.
Redaksi istawhaa al-syay’
bermakna seseorang yang memanggil kawannya, atau minta tolong kepada kawannya
itu, untuk mengambilkan atau mengirimkan sesuatu. Seperti kalimat, “Tolong dong,
ambilkan penaku itu.” Redaksi itu juga bisa dipakai untuk anjing. Dengan maksud
anjing mengambilkan sesuatu atau menangkapkan sesuatu untuk dirinya.
Sebagian orang Arab itu ada yang
mengartikan al-iihaa’ (dari kata awhaa) dengan menangis. Seperti kalimat,
“Fullaan yuuhiyy abaah, Fulan menangisi ayahnya (yang sudah meninggal).”
Di dalam percakapan orang-orang
Arab, dijumpai pula frase-frase yang memiliki arti khusus. Perumpamaan. Seperti
wahy fi hajar (wahyu pada batu). Frase tersebut untuk menggambarkan
orang yang menyembunyikan rahasianya. Abu Zayd berkata, “Batu itu tidak bisa
menginformasikan apa pun. Maka aku pun seperti batu yang tidak akan menginfokan
apa pun. Aku menyembunyikannya.”
Meski begitu, menurut al-Azhariy, bisa
berarti sebaliknya. Frase tersebut bisa juga untuk menggambarkan sesuatu yang
tampak jelas. Seperti ungkapan, “Ia seperti wahyu pada batu, ketika diukir di
permukaannya.” Dan seperti ungkapan Zahir, “Seperti wahyu pada batu kali yang besar
dan kokoh.”
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar