Selasa, 03 Desember 2019

MELACAK WAHYU


—Saiful Islam—

“Selamanya. Tidak mungkin Allah berbicara secara langsung kepada manusia. Bahkan kepada Nabi dan Rasul sekalipun…”

Masih mengikuti cerita Ibnu Manzhur. Ibnu Ishaq berpendapat, menurut bahasa, wahyu itu asalnya semuanya bermakna memberi tahu secara rahasia. Karenanya, ilham juga disebut wahyu. “Karena itulah isyarat dan tanda (sinyal), disebut wahyu. Tulisan juga disebut wahyu,” kata al-Azhariy.

QS. Al-Syura[42]: 51
 وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan TIDAK MUNGKIN ALLAH BERKATA-KATA LANGSUNG KEPADA MANUSIA kecuali dengan PERANTARAAN WAHYU, atau DI BALIK TABIR, atau dengan MENGUTUS SEORANG UTUSAN. Lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Wa maa kaana li basyar an yukallimahulloh illaa wahyan aw min waraa’ hijaab. Yakni kecuali diwahyukan kepada manusia itu sebuah wahyu, maka Allah mengajarnya dengan sesuatu yang manusia ketahui, bahwa Allah lah yang mengajarnya. Baik dengan ilham, maupun dengan mimpi. Atau diturunkan kepadanya sebuah kitab, sebagaimana yang terjadi kepada Nabi Musa. Atau dengan bacaan yang dibacakan kepadanya, sebagaimana terjadi kepada Nabi Muhammad SAW. Semua ini adalah memberi tahu (pengajaran), meskipun berbeda-beda sebab pengajaran tersebut.

Tradisi orang Arab, jika disebutkan, “Aku mewahyukan kepadamu sebuah berita,” maka artinya adalah “Aku memberi isyarat dengan mengatakannya secara perlahan-lahan dan lemah lembut.”

Menurut Abu al-Haytsam. Bahwa jika disebut wahaytu ilaa Fulaan, uuhiya ilayh wahyan, wa awhaytu ilayh, uuhiya iihaa’an (aku mewahyukan kepada Fulan, diwahyukan kepadanya), maka artinya adalah ketika aku memberi isyarat dan memberi sinyal (tanda yang dipahami) kepadanya.

Al-‘Ajjaj bersyair: “Allah mewahyukan kepada bumi itu. Maka bumi pun menjadi kokoh.” Yakni Allah mewahyukan kepada bumi. Maka bumi menjadi kokoh, dan tidak mengguncang penduduknya. Yakni Allah memberi isyarat kepada bumi itu akan hal tersebut. Ia juga berkata bahwa yang dimaksud wahaa lahaa al-qaraar (Allah mewahyukan kepada bumi kekokohan) adalah Allah telah menentukan takdir seperti itu untuk bumi.

Jika disebutkan, “Aku mewahyukan sebuah buku kepadanya,” artinya adalah aku lah penulis buku tersebut. Maka buku itu adalah muuhiy (yang mewahyukan).

Menurut Ru’bah, bahwa Injil, Taurat itu wahyu munamnimuh. Yakni ditulis oleh penulisnya.

Wahyu juga berarti api. Raja itu disebut wahyu juga diambil dari makna ini. Tsa’lab pernah bertanya kepada Ibnu al-A’robiy tentang definisi wahyu. Dijawab oleh al-A’robiy bahwa wahyu adalah seorang raja. Alasan wahyu itu api adalah karena wahyu itu seakan-akan seperti api yang bisa memberi manfaat sekaligus memberi mudharat. Raja atau pemimpin itu seperti itu. Bisa memberi manfaat kepada rakyatnya, bisa juga memberi mudharat.

Al-wahyu juga bisa berarti tuan atau pemimpinnya kaum laki-laki.

Al-Wahyu itu seperti al-waghoo (suara dalam peperangan). Yakni seperti suara sekerumunan lebah (nggeremeng, kalau Bahasa Jawa-nya).

Al-Wahyu juga berarti sesuatu yang cepat. Atau lekas-lekas. Orang Arab biasa mengatakan, “Al-wahy al-wahy atau al-wahaa’ al-wahaa’,” artinya kurang lebih, “Ayo cepat! Ayo segera! Ayo lekas-lekas!” Terkadang mereka menambahi huruf kaf di belakangnya: “Al-wahaak al-wahaak!” Di dalam Hadis Abu Bakar juga dijumpai al-wahy yang berarti cepat itu.

Untuk makna cepat ini, ada sebuah Hadis. Begini bunyinya: Ketika engkau hendak melakukan sesuatu, maka pertimbangkanlah akibatnya. Jika buruk, maka jangan dilakukan. Jika baik, maka bersegeralah (fatawahhah)—yakni cepat-cepatlah mengerjakannya. Juga ada kalimat, “Wahhaa Fulaan dzabiihatah, Fulan menyembelih hewannya.” Menggunakan kata wahhaa, yaitu Fulan menyembelihnya dengan cepat.

Syay’un wahyun berarti sesuatu yang cepat. Begitu juga tawahhaa bi al-syay’, artinya adalah cepat.

Redaksi istawhaa al-syay’ bermakna seseorang yang memanggil kawannya, atau minta tolong kepada kawannya itu, untuk mengambilkan atau mengirimkan sesuatu. Seperti kalimat, “Tolong dong, ambilkan penaku itu.” Redaksi itu juga bisa dipakai untuk anjing. Dengan maksud anjing mengambilkan sesuatu atau menangkapkan sesuatu untuk dirinya.

Sebagian orang Arab itu ada yang mengartikan al-iihaa’ (dari kata awhaa) dengan menangis. Seperti kalimat, “Fullaan yuuhiyy abaah, Fulan menangisi ayahnya (yang sudah meninggal).”

Di dalam percakapan orang-orang Arab, dijumpai pula frase-frase yang memiliki arti khusus. Perumpamaan. Seperti wahy fi hajar (wahyu pada batu). Frase tersebut untuk menggambarkan orang yang menyembunyikan rahasianya. Abu Zayd berkata, “Batu itu tidak bisa menginformasikan apa pun. Maka aku pun seperti batu yang tidak akan menginfokan apa pun. Aku menyembunyikannya.”

Meski begitu, menurut al-Azhariy, bisa berarti sebaliknya. Frase tersebut bisa juga untuk menggambarkan sesuatu yang tampak jelas. Seperti ungkapan, “Ia seperti wahyu pada batu, ketika diukir di permukaannya.” Dan seperti ungkapan Zahir, “Seperti wahyu pada batu kali yang besar dan kokoh.”

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...