Sabtu, 21 Desember 2019

BERSUCI YANG WAHYU


—Saiful Islam—

“Berdalil dengan topeng-topeng (‘kulit’) yang tidak substansial: nama besar, gelar, keturunan, jabatan, sanjungan hebat, asesoris penampilan fisik, dan lain semisalnya…”

Di depan sudah saya tunjukkan. Bahwa secara bahasa, tidak ada al-Hikmah yang berarti Sunnah Nabi. Juga bahwa al-Hikmah bukan wahyu lain selain Qur’an yang berdiri sendiri. Mak demikian juga Sunnah Nabi. Ia bukanlah wahyu antah berantah. Sunnah Nabi hanya terinspirasi dari wahyu Qur’an (teksnya) dan al-Hikmah (kandungan makna teks ayat Qur’an tersebut).

Yang sering disalah pahami sebagai wahyu adalah teknis-teknis ibadah mahdhah. Seperti salat, zakat, puasa, dan manasik haji. Diklaim tidak ada dalam Qur’an. Bukan hanya orang Islam sendiri menyimpulkan itu. Sebagian orang Barat (orientalis), juga membuat klaim yang sama. Geli telinga ini rasanya mendengar: “Salatnya orang Islam itu, ternyata tidak ada tuntunannya dalam kitab sucinya.” Kata siapa?!!! Kita sudah telusuri, seperti saya tunjukkan di depan, teknis salat itu ada dalam Qur’an.

Ujug-ujug mengklaim tidak ada dalam Qur’an, ditambah doktrin bahwa Sunnah adalah wahyu tersendiri yang setara dengan Qur’an, membuat umat Islam terhempas dari kitab sucinya: Qur’an itu sendiri. Padahal ketika zaman Nabi dan para Sahabat, itu menjadikan Qur’an sebagai sentral rujukan dan panduan cara mereka beragama Islam. Tetapi kita sekarang, sadar atau tidak, menjadikan Hadis-Hadis yang zhanniy itu sebagai tuhan. Lantas menempatkan Qur’an yang jelas qath’iy (pasti keluar dari mulut Rasulullah) ini nomer 2.

Wong Nabi sendiri, itu tidak mau ‘dituhankan’. Nabi saja, itu tidak mau dirinya dijadikan pusat perhatian. Beliau tidak mau dijadikan kiblat utama bagi hati dan akal umat dalam beragama Islam. Tetapi kita malah lebih parah dari itu. Kita menjadikan Hadis (yang belum tentu dari Nabi) sebagai segala-galanya. Sampai-sampai menyetarakan derajat Hadis dengan Qur’an: dua wahyu yang setara. Nabi menginginkan Qur’an lah supaya menjadi kiblat akal dan hati umat Islam.

Mestinya, kalau ada masalah dalam beragama Islam, itu yang pertama kali dilakukan adalah mencari rujukannya dari Qur’an. Kemudian dilengkapi dengan Sunnah Nabi yang ditelusuri lewat Hadis-Hadis. Bukan ujug-ujug Hadis. Apalagi langsung pendapat-pendapat seorang penulis. Berdalil topeng-topeng (‘kulit’) yang tidak substansial: nama besar, gelar, keturunan, jabatan, sanjungan hebat, asesoris penampilan fisik, dan lain semisalnya.

OK. Teknis salat yang paling substansial, itu ada dalam Qur’an. Seperti sujud, rukuk, bertasbih, bertahmid, beristighfar, sampai berdoa kepada-Nya. Bahkan, waktu salat itu pun, jelas-jelas ada dalam Qur’an. Dan ingat, semua itu dipraktekkan oleh Nabi karena terinspirasi oleh Qur’an. Nabi pun mengikuti Qur’an. Nabi tidak membuat-buat sendiri. Nabi pun tidak mendapatkan wahyu lain selain Qur’an.

Jangankan waktu salat dan teknis salatnya. Pun begitu, cara bersucinya. Mulai dari mandi karena junub sampai berwudhu sebelum salat. Bersuci dengan air maupun dengan debu. Semua ini ada dalam Qur’an. Wahyu langsung dari Allah ke hati Nabi. Lantas Nabi sendiri pun mentaatinya. Sekali lagi, Nabi tidak mungkin membuat-buat sendiri syariat. Syariat itu murni dari Allah melalui wahyu. Ya Qur’an ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula salat) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali (boleh) sekedar berlalu saja (di musala atau masjid), hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir (perjalanan) atau datang dari tempat buang air atau kamu telah ‘menyentuh’ perempuan (seks), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

QS. Al-Maidah[5]: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air, atau ‘menyentuh’ perempuan (seks), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih): sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Cara atau teknis berwudhu ditunjukkan oleh kalimat: “Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

Pada ayat di atas, umat Islam dilarang salat atau batal alias tidak sah salatnya dalam keadaan mabuk atau hilang ingatan misalnya karena sangat mengantuk (hingga tertidur dalam salat) sampai karena gangguan jiwa. Orang baru boleh salat jika benar-benar sadar. Ditunjukkan oleh kalimat: “Janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”

Begitu juga dilarang salat dalam keadaan junub—menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, junub berarti mengeluarkan mani (sperma) atau berhubungan seksual. Baru boleh salat setelah mandi terlebih dahulu. Ditunjukkan oleh kalimat: “Dan jika kamu junub, maka mandilah.” Atau kalimat: “(Jangan pula salat) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali (boleh) sekedar berlalu saja (di musala atau masjid), hingga kamu mandi.”

Soal teknis spesifik mandinya Nabi secara detail, itu memang berdasar ijtihad beliau sendiri. Dan ingat, itu tidak begitu substansial. Yang paling substansial, yakni mandi, sudah ada teknisnya dalam Qur’an. Beliau terinspirasi oleh wahyu ayat Qur’an di atas. Bukan karena mendapat wahyu lain yang antah berantah selain Qur’an. Kita boleh mengamalkan teknis detail mandi itu dari Hadis sahih tertentu.

Dan tidak perlu berlebihan sampai mengklaim tidak sah mandi junubnya orang yang tidak menggunakan Hadis seperti Hadis kita. Atau bahkan mengklaim tidak sah mandinya orang, hanya karena mandinya dengan shower, dengan gayung buatan pabrik Rungkut Surabaya, dengan kran, dengan bathtub, atau dengan mencebur ke sumur, sungai, laut, atau mandi dengan hujan saat deras.

Menurut saya, sudah sah mandinya jika sudah ada niat atau ingat dalam kepalanya bahwa mandinya untuk salat. Atau mandi karena mau salat. Ingat, kita tidak hidup sezaman dengan Nabi! Intinya, kalau sudah ada Hadis sahihnya, insya Allah mandinya sudah benar!!

Itu pun kalau ada air. Kalau tidak air, meski junub, maka harus bertayammum. Yakni mengusap wajah dan tangan dengan debu dengan maksud akan salat. Jadi, teknis tayammum pun ada dalam Qur’an. Ditunjukkan oleh kalimat: “Kamu telah ‘menyentuh’ perempuan (seks), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.”

Bukan hanya karena junub. Pokoknya kalau mau salat dan tidak ada air untuk bersuci, maka harus tayammum itu. Ditunjukkan oleh kalimat: Dan jika kamu sakit, atau sedang dalam musafir (perjalanan) atau datang dari tempat buang air (besar atau kecil)… maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.

Dua ayat di atas, ditutup dengan kalimat yang indah sekali. Yaitu: “Sesungguhnya ALLAH MAHA PEMAAF LAGI MAHA PENGAMPUN.” Dan kalimat: “ALLAH TIDAK HENDAK MENYULITKAN KAMU, TETAPI DIA HENDAK MEMBERSIHKAN KAMU DAN MENYEMPURNAKAN NIKMAT-NYA BAGIMU, supaya kamu bersyukur.

Jadi siapa pun yang membuat soal bersuci ini menjadi rumit, sulit, mbulet, njelimet, susah, payah, dan ruwet, maka sudah pasti salahnya.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...