Sabtu, 14 Desember 2019

MEMBONGKAR AL-HIKMAH


—Saiful Islam—

“Jangankan dengan para penulis atau ulama yang hebat-hebat itu. Bahkan kesimpulan kita, itu bisa dan boleh berbeda dengan Nabi SAW sekali pun…”

Sekarang akan saya kutipkan lagi kesimpulan dari tulisan kawan itu. 1). Allah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah. 2). Al-Hikmah dipahami sebagai Sunnah Nabi. 3). Sunnah Nabi adalah wahyu. 4). Kedudukan Sunnah Nabi sederajat dengan Qur’an.

Setelah memperhatikan makna al-Hikmah dan yang terkait dengannya dari kamus-kamus Arab, mulai dari yang besar sampai yang kecil, ternyata TIDAK ADA al-Hikmah itu yang berarti Sunnah Nabi. Saya tegaskan dan jelaskan lagi: TIDAK ADA bahwa Al-Hikmah adalah Sunnah Nabi. Ya, secara bahasa, tidak pernah ada dalam kamus-kamus itu yang mengartikan al-Hikmah sebagai Sunnah Nabi.

QS. Al-Nisa’[4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ ۚ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun. DAN (JUGA KARENA) ALLAH TELAH MENURUNKAN AL-KITAB DAN AL-HIKMAH KEPADAMU. Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Lalu apa makna al-Hikmah itu? Menurut saya, al-Hikmah adalah kandungan makna teks Qur’an itu sendiri. Jadi, Qur’an itu adalah teks. Nah, al-Hikmah adalah kandungan makna dari teks ayat-ayat Qur’an tersebut.

Sunnah, yang berupa ucapan Nabi ketika beliau masih hidup, memang sangat-sangat memungkinkan itu adalah al-Hikmah. Tetapi, itu adalah ucapan Nabi atau penjelasan Nabi yang menangkap makna di balik teks ayat-ayat Qur’an. Bukan dari wahyu lain selain Qur’an. Juga bukan wahyu itu sendiri. Sunnah TIDAK sama dengan wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an.

Penjelasan Nabi itu, semacam ‘tafsirnya’ Nabi. Ketika beliau SAW masih hidup, tentu saja, tafsir Nabi itu adalah yang terbaik. Sekali lagi, terbaik. Tapi ingat, itu kalau Nabi masih hidup! Andai kata kita hidup sezaman dengan Nabi, ya untuk apa menafsir-nafsiri Qur’an sendiri? Tidak perlu. Langsung saja bertanya kepada Nabi. Langsung saja ikut Nabi. Titik.

Masalahnya, kita ini hidup sekitar 15 abad setelah Nabi. Dan ingat, semua rujukan selain Qur’an, itu ditulis sangat belakangan setelah wafatnya Nabi. Ratusan tahun! Baik itu siirah (biografi), taariikh (sejarah), termasuk Hadis-Hadis. Ingat, Hadis-Hadis itu TIDAK otomatis sama dengan Sunnah. Hadis itu hanya berita, ya berita untuk menelusuri Sunnah. Hadis, memang bisa valid (sahih). Tapi Hadis, juga bisa hoax (palsu). Hadis dhaif (lemah), menurut saya juga termasuk Hadis hoax.

Ayat-ayat Qu’an sebagai teks, memang telah selesai. Telah tamat. Telah sempurna (QS.6:115). Sudah tetap. Tidak akan berubah dan tidak akan bisa dirubah oleh siapa pun sampai kiamat. Turun langsung kepada Nabi SAW di Mekah dan Madinah sekitar 15 abad yang lalu. Turun kepada Nabi, secara periodik, kronologis, dan historis, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun.

Tetapi ingat, Allah bukan hanya menurunkan teks ayat-ayat Qur’an itu. Tetapi juga kandungan maknanya. Yaitu al-Hikmah. Nah, al-Hikmah ini hidup! Terus berkembang sesuai dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) mutakhir. Pakar Biologi, bisa mendapat al-Hikmah dari Qur’an. Begitu juga pakar Sastra, pakar Kimia, Kedokteran, Antropologi, Sejarah, Sosiologi, Matematika, IT, Fisika, Geografi, dan lain seterusnya.

QS. Al-Baqarah[2]: 231
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. YAITU AL-KITAB (TEKS QUR’AN) DAN AL-HIKMAH (KANDUNGAN MAKNANYA). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ayat-ayat Allah, itu bukan hanya berupa teks Qur’an. Tapi juga realita. Maka al-Hikmah, itu tidak hanya berada di balik ayat-ayat qowliyah (teks Qur’an). Tetapi al-Hikmah juga berada di balik ayat-ayat kawniyah (realita dan fakta-fakta Sains). Maka membaca, itu memang tidak cukup al-Qur’an saja. Penting juga membaca al-Koran. Hehe, dan membaca Sains. Bahkan, kalau perlu melakukan penelitian lapangan sendiri.

Jadi, teks ayat-ayat Qur’an sudah tetap. Tsaabit. Tetapi kandungan makna teks ayat-ayat Qur’an tersebut, itu mutaghayyar (hidup, dinamis, dan pasti selalu sesuai dengan tempat di mana pun dan waktu kapan pun sampai kiamat nanti). Hanya Qur’an memang pedoman hidup kita yang paling kokoh. Pasti. Mantap. Berulang kali saya tegaskan, semua rujukan doktrin Islam selain Qur’an, itu zhanniy semua. Kebenarannya itu, memang hanya dugaan saja.

Qur’an sebagai teks, hanya turun secara langsung kepada Nabi SAW. Tetapi kandungan maknanya (al-Hikmah), itu bisa diperoleh oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Termasuk kita, juga sangat memungkinkan memperoleh al-Hikmah itu. Sebagai bekal untuk mengatasi segala problematika hidup kita.

Ingat, Qur’an ini bukan hanya untuk Nabi Muhammad SAW saja. Tuhan ingin berbicara bukan hanya kepada dan untuk Nabi saja. Tetapi Dia ‘Azza wa Jalla juga ingin berbicara kepada kita. Bahkan Nabi SAW itu hanya penyampai Qur’an ini saja. Disampaikan kepada siapa? Untuk siapa Qur’an itu? Tentu saja, untuk seluruh umat manusia! Termasuk kita ini!!

Maka pasti dan pasti tidak benarnya, jika dikatakan bahwa upaya untuk memahami Qur’an (ijtihad) itu sudah ditutup. Qur’an ini bukan hanya untuk Nabi SAW. Qur’an ini bukan hanya untuk kaum elitis, semacam profesor, doktor, dan para akademisi. Bahkan dengan Qur’an itu, Tuhan ingin berbicara kepada para hamba-Nya yang paling awam sekali pun.

QS. Al-Qomar[54]: 17
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sungguh telah Kami MUDAHKAN Qur’an itu untuk pelajaran. ADAKAH ORANG YANG MAU MENGAMBIL PELAJARAN ITU?

Ijtihad, berupaya memahami sungguh-sungguh Qur’an, itu bukan hanya baik dan anjuran bagi kita. Tetapi menurut saya, ijtihad itu harus dan wajib. Kenapa? Karena zaman ini terus berubah. Zaman yang berbeda, memunculkan problematika hidup yang berbeda. Persoalan hidup masing-masing orang juga berbeda. Maka membutuhkan solusi yang berbeda juga.

Jangankan dengan para penulis atau ulama yang hebat-hebat itu, kesimpulan kita bisa berbeda terkait persoalan tertentu. Bahkan soal urusan-urusan duniawi (selain ibadah mahdhah ritual), keputusan kita bisa jadi berbeda dengan Nabi SAW. “Antum a’lam bi umuur dunyakum, kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” begitu kata Nabi.

Maka, menafsirkan Qur’an itu mesti kreatif dan inovatif. Harus hidup sesuai dengan tantangan zamannya. Tentu saja, dengan niat yang baik. Tulus mencari kebenaran. Untuk kebenaran itu sendiri. Butuh berani dan bebas kepentingan. Terutama kepentingan politik, sampai kepentingan mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok. Tidak perlu ada Islam A, Islam B, Islam C, dan seterusnya. Islam, ya Islam saja! Qur’an menjadi kiblat pertama dan utama bagi semua. Semua Muslim itu bersaudara. Titik.

Menafsiri Qur’an kalau salah, kan bisa masuk neraka Mas? Tidak benar! Menafsiri Qur’an, kalau salah, itu diganjar satu kebaikan. Kalau benar, reward-nya dua kebaikan. Begitu kata Nabi SAW. Jadi, salah? Ya tidak apa-apa. Masih dapat satu kebaikan. Nanti insya Allah akan ada orang-orang yang akan membantah dan mengoreksi kesimpulan kita. Dengarkan. Perhatikan. Pilih yang paling kuat argumentasinya. Perbaiki. Coba lagi. Dikoreksi lagi. Dibenarkan lagi. Begitu terus secara dinamis.

Menafsiri Qur’an kalau salah, memang bisa masuk neraka. Tapi itu menafsiri Qur’an yang penuh dengan tendensius, niat buruk, fanatik buta pada kepentingan mazhab dan kelompok, atau kepentingan jahat lainnya. Menafsiri Qur’an kalau salah, memang bisa masuk neraka. Iya. Tapi itu menafsiri yang ngawur. Nanti insya Allah di depan, akan saya tunjukan contoh kongkrit menafsiri Qur’an yang ngawur.

Menafsiri Qur’an kan tidak boleh pakai akal, Mas? Tidak benar! Justru, menafsiri Qur’an itu harus dan wajib dengan akal! Bagi saya, substansi manusia adalah akalnya. Manusia adalah binatang yang berakal. Kalau tidak pakai akal, terus mau pakai dengkul?! Ayat berikut ini sangat representatif sekali. Bahwa al-Hikmah, itu memang HANYA akan diperoleh oleh orang-orang yang menggunakan akal sehatnya!

QS. Al-Baqarah[2]: 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Qur’an) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah meraih karunia (kebaikan) yang banyak. Dan HANYA ORANG-ORANG YANG BERAKAL SAJA YANG DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN (DARI FIRMAN ALLAH ITU).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...