—Saiful Islam—
“Jangankan dengan para penulis atau
ulama yang hebat-hebat itu. Bahkan kesimpulan kita, itu bisa dan boleh berbeda
dengan Nabi SAW sekali pun…”
Sekarang akan saya kutipkan lagi
kesimpulan dari tulisan kawan itu. 1). Allah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah.
2). Al-Hikmah dipahami sebagai Sunnah Nabi. 3). Sunnah Nabi adalah wahyu. 4). Kedudukan
Sunnah Nabi sederajat dengan Qur’an.
Setelah memperhatikan makna
al-Hikmah dan yang terkait dengannya dari kamus-kamus Arab, mulai dari yang
besar sampai yang kecil, ternyata TIDAK ADA al-Hikmah itu yang berarti Sunnah
Nabi. Saya tegaskan dan jelaskan lagi: TIDAK ADA bahwa Al-Hikmah adalah Sunnah
Nabi. Ya, secara bahasa, tidak pernah ada dalam kamus-kamus itu yang
mengartikan al-Hikmah sebagai Sunnah Nabi.
QS. Al-Nisa’[4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا
يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ ۚ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan
keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya
sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun. DAN (JUGA KARENA)
ALLAH TELAH MENURUNKAN AL-KITAB DAN AL-HIKMAH KEPADAMU. Dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu.
Lalu apa makna al-Hikmah itu?
Menurut saya, al-Hikmah adalah kandungan makna teks Qur’an itu sendiri. Jadi,
Qur’an itu adalah teks. Nah, al-Hikmah adalah kandungan makna dari teks
ayat-ayat Qur’an tersebut.
Sunnah, yang berupa ucapan Nabi
ketika beliau masih hidup, memang sangat-sangat memungkinkan itu adalah
al-Hikmah. Tetapi, itu adalah ucapan Nabi atau penjelasan Nabi yang menangkap
makna di balik teks ayat-ayat Qur’an. Bukan dari wahyu lain selain Qur’an. Juga
bukan wahyu itu sendiri. Sunnah TIDAK sama dengan wahyu yang berdiri sendiri
selain Qur’an.
Penjelasan Nabi itu, semacam ‘tafsirnya’
Nabi. Ketika beliau SAW masih hidup, tentu saja, tafsir Nabi itu adalah yang
terbaik. Sekali lagi, terbaik. Tapi ingat, itu kalau Nabi masih hidup! Andai
kata kita hidup sezaman dengan Nabi, ya untuk apa menafsir-nafsiri Qur’an
sendiri? Tidak perlu. Langsung saja bertanya kepada Nabi. Langsung saja ikut
Nabi. Titik.
Masalahnya, kita ini hidup sekitar
15 abad setelah Nabi. Dan ingat, semua rujukan selain Qur’an, itu ditulis
sangat belakangan setelah wafatnya Nabi. Ratusan tahun! Baik itu siirah
(biografi), taariikh (sejarah), termasuk Hadis-Hadis. Ingat, Hadis-Hadis
itu TIDAK otomatis sama dengan Sunnah. Hadis itu hanya berita, ya berita untuk
menelusuri Sunnah. Hadis, memang bisa valid (sahih). Tapi Hadis, juga bisa
hoax (palsu). Hadis dhaif (lemah), menurut saya juga termasuk
Hadis hoax.
Ayat-ayat Qu’an sebagai teks, memang
telah selesai. Telah tamat. Telah sempurna (QS.6:115). Sudah tetap. Tidak akan
berubah dan tidak akan bisa dirubah oleh siapa pun sampai kiamat. Turun
langsung kepada Nabi SAW di Mekah dan Madinah sekitar 15 abad yang lalu. Turun kepada
Nabi, secara periodik, kronologis, dan historis, dalam rentang waktu sekitar 23
tahun.
Tetapi ingat, Allah bukan hanya
menurunkan teks ayat-ayat Qur’an itu. Tetapi juga kandungan maknanya. Yaitu al-Hikmah.
Nah, al-Hikmah ini hidup! Terus berkembang sesuai dengan penemuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) mutakhir. Pakar Biologi, bisa mendapat
al-Hikmah dari Qur’an. Begitu juga pakar Sastra, pakar Kimia, Kedokteran, Antropologi,
Sejarah, Sosiologi, Matematika, IT, Fisika, Geografi, dan lain seterusnya.
QS. Al-Baqarah[2]: 231
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan ingatlah nikmat Allah padamu,
dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. YAITU AL-KITAB (TEKS QUR’AN) DAN
AL-HIKMAH (KANDUNGAN MAKNANYA). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa
yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat Allah, itu bukan hanya
berupa teks Qur’an. Tapi juga realita. Maka al-Hikmah, itu tidak hanya berada
di balik ayat-ayat qowliyah (teks Qur’an). Tetapi al-Hikmah juga berada
di balik ayat-ayat kawniyah (realita dan fakta-fakta Sains). Maka membaca,
itu memang tidak cukup al-Qur’an saja. Penting juga membaca al-Koran. Hehe, dan
membaca Sains. Bahkan, kalau perlu melakukan penelitian lapangan sendiri.
Jadi, teks ayat-ayat Qur’an sudah
tetap. Tsaabit. Tetapi kandungan makna teks ayat-ayat Qur’an tersebut,
itu mutaghayyar (hidup, dinamis, dan pasti selalu sesuai dengan tempat
di mana pun dan waktu kapan pun sampai kiamat nanti). Hanya Qur’an memang
pedoman hidup kita yang paling kokoh. Pasti. Mantap. Berulang kali saya
tegaskan, semua rujukan doktrin Islam selain Qur’an, itu zhanniy semua. Kebenarannya
itu, memang hanya dugaan saja.
Qur’an sebagai teks, hanya turun
secara langsung kepada Nabi SAW. Tetapi kandungan maknanya (al-Hikmah), itu
bisa diperoleh oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Termasuk kita, juga
sangat memungkinkan memperoleh al-Hikmah itu. Sebagai bekal untuk mengatasi
segala problematika hidup kita.
Ingat, Qur’an ini bukan hanya untuk
Nabi Muhammad SAW saja. Tuhan ingin berbicara bukan hanya kepada dan untuk Nabi
saja. Tetapi Dia ‘Azza wa Jalla juga ingin berbicara kepada kita. Bahkan
Nabi SAW itu hanya penyampai Qur’an ini saja. Disampaikan kepada siapa? Untuk
siapa Qur’an itu? Tentu saja, untuk seluruh umat manusia! Termasuk kita ini!!
Maka pasti dan pasti tidak benarnya,
jika dikatakan bahwa upaya untuk memahami Qur’an (ijtihad) itu sudah
ditutup. Qur’an ini bukan hanya untuk Nabi SAW. Qur’an ini bukan hanya untuk
kaum elitis, semacam profesor, doktor, dan para akademisi. Bahkan dengan Qur’an
itu, Tuhan ingin berbicara kepada para hamba-Nya yang paling awam sekali pun.
QS. Al-Qomar[54]: 17
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا
الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sungguh telah Kami MUDAHKAN Qur’an
itu untuk pelajaran. ADAKAH ORANG YANG MAU MENGAMBIL PELAJARAN ITU?
Ijtihad, berupaya memahami
sungguh-sungguh Qur’an, itu bukan hanya baik dan anjuran bagi kita. Tetapi
menurut saya, ijtihad itu harus dan wajib. Kenapa? Karena zaman ini terus
berubah. Zaman yang berbeda, memunculkan problematika hidup yang berbeda. Persoalan
hidup masing-masing orang juga berbeda. Maka membutuhkan solusi yang berbeda
juga.
Jangankan dengan para penulis atau
ulama yang hebat-hebat itu, kesimpulan kita bisa berbeda terkait persoalan
tertentu. Bahkan soal urusan-urusan duniawi (selain ibadah mahdhah ritual), keputusan
kita bisa jadi berbeda dengan Nabi SAW. “Antum a’lam bi umuur dunyakum,
kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” begitu kata Nabi.
Maka, menafsirkan Qur’an itu mesti
kreatif dan inovatif. Harus hidup sesuai dengan tantangan zamannya. Tentu saja,
dengan niat yang baik. Tulus mencari kebenaran. Untuk kebenaran itu sendiri.
Butuh berani dan bebas kepentingan. Terutama kepentingan politik, sampai
kepentingan mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok. Tidak perlu ada Islam A, Islam
B, Islam C, dan seterusnya. Islam, ya Islam saja! Qur’an menjadi kiblat pertama
dan utama bagi semua. Semua Muslim itu bersaudara. Titik.
Menafsiri Qur’an kalau salah, kan
bisa masuk neraka Mas? Tidak benar! Menafsiri Qur’an, kalau salah, itu diganjar
satu kebaikan. Kalau benar, reward-nya dua kebaikan. Begitu kata Nabi
SAW. Jadi, salah? Ya tidak apa-apa. Masih dapat satu kebaikan. Nanti insya Allah
akan ada orang-orang yang akan membantah dan mengoreksi kesimpulan kita.
Dengarkan. Perhatikan. Pilih yang paling kuat argumentasinya. Perbaiki. Coba
lagi. Dikoreksi lagi. Dibenarkan lagi. Begitu terus secara dinamis.
Menafsiri Qur’an kalau salah,
memang bisa masuk neraka. Tapi itu menafsiri Qur’an yang penuh dengan
tendensius, niat buruk, fanatik buta pada kepentingan mazhab dan kelompok, atau
kepentingan jahat lainnya. Menafsiri Qur’an kalau salah, memang bisa masuk
neraka. Iya. Tapi itu menafsiri yang ngawur. Nanti insya Allah di depan, akan
saya tunjukan contoh kongkrit menafsiri Qur’an yang ngawur.
Menafsiri Qur’an kan tidak
boleh pakai akal, Mas? Tidak benar! Justru, menafsiri Qur’an itu harus dan
wajib dengan akal! Bagi saya, substansi manusia adalah akalnya. Manusia adalah
binatang yang berakal. Kalau tidak pakai akal, terus mau pakai dengkul?!
Ayat berikut ini sangat representatif sekali. Bahwa al-Hikmah, itu memang HANYA
akan diperoleh oleh orang-orang yang menggunakan akal sehatnya!
QS. Al-Baqarah[2]: 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ
خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو
الْأَلْبَابِ
Allah menganugerahkan al-Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Qur’an) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah meraih karunia (kebaikan) yang
banyak. Dan HANYA ORANG-ORANG YANG BERAKAL SAJA YANG DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN
(DARI FIRMAN ALLAH ITU).
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar