Senin, 18 September 2017

ANGSA BERTELUR EMAS


Alkisah, hiduplah seorang petani yang bernasib mujur. Di antara hewan-hewan peliharaannya, ada seekor angsa yang bertelur emas. Lalu, hewan-hewan lain seperti ayam, kambing, dan beberapa angsa yang lain kurang diperhatikan sehingga mereka menjadi kurus, bahkan beberapa di antaranya mati.  Ia hanya memperhatikan dan menyayangi si angsa yang bertelur emas itu.

Angsa itu dia tempatkan di sebuah kandang khusus, diberi makan dan dijaga ekstra ketat jangan sampai tetangga tahu karena ia merasa khawatir si angsa dicuri. Setiap pagi petani itu sudah menungguu di dekat kandang untuk memeriksa dan memungut telur emas lalu menjual telur itu ke kota.

Demikian lah, kehidupan petani itu berubah. Ia menjadi kaya raya meski tidak bekerja. Dia merasa sebagai orang paling kaya di kampung itu. Bahkan gaya hidupnya telah berubah. Ia senang berfoya-foya. Dia mulai kenal dan tergoda kehidupan kota yang konsumtif, meninggalkan pola hidupnya di kampung yang tenang dan serba sederhana.

Kenikmatan hidup petani tadi terganggu ketika suatu pagi angsanya tidak bertelur. Dia gelisah dan marah karena hari itu ia merasa kehilangan sebutir telur emas. Sementara, uang tabungannya sudah habis karena ia hambur-hamburkan dengan belanja segala macam barang walau barang-barang itu tidak begitu ia perlukan. Dia lupa bahwa angsanya tidak bertelur karena kesalahan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk degnan dirinya sendiri untuk bersenang-senang sehingga ia kurang menyayangi dan merawat angsanya dengan makanan yang cukup dan bergizi untuk membuat si angsa tetap sehat.

Setelah ia menunggu sampai siang ternyata si angsa tidak juga bertelur, dia berharap esok paginya si angsa akan bertelur emas sebagaimana biasanya. Namun, pagi hari berikutnya, si angsa tidak juga bertelur. Dengan perasaan marah dia menyembelih angsa itu. Dia belah perutnya dengan harapan akan menemukan telur di dalamnya. Tetapi, ia ternyata tidak mendapatkannya, sementara angsanya telah mati. Buyar lah harapannya dan petani tadi akhirnya jatuh miskin, hidup dirundung penyesalan dan duka.

Ada tiga kesalahan fatal dilakukan petani tadi. Pertama, dia lupa diri sehingga terjatuh pada pola kehidupan konsumtif. Melupakan watak aslinya. Kedua, dia lupa merawat dan menyayangi angsanya agar tumbuh sehat dan tetap produktif untuk mempersembahkan telur emas. Ketiga, dia lupa atau bodoh bahwa telur emas itu adalah produk dari sebuah proses, telur itu bukan tersimpan dalam perut angsa. Oleh sebab itu, ketika ia membelah perut si angsa, ia tidak menemukan telur emas, melainkan sekadar calon telur.

Angsa bertelur emas itu bisa saja dianalogikan bumi pertiwi dengan alamnya yang sangat kaya. Beragam flora, fauna dan sumber tambang mineralnya terhampar dan tersimpan dalam perut bumi. Belum lagi kekayaan yang terkandung dalam perut bumi. Belum lagi kekayaan yang terkandung dalam lautan. Tetapi, kita malas dan bodoh serta tidak mampu merawat dan memprosesnya. Kita malah menyerahkan bumi pertiwi kepada pemodal asing sehingga kita sebagai pemilik modal tetap miskin dan orang lain (pemodal asing) yang kaya raya karena memperoleh nilai tambah yang berlipat ganda. Ibarat petani yang bodoh dan tamak, angsa itu kita sembelih sehingga telur emasnya tidak lagi keluar. Kekayaan alam yang demikian melimpah dijual mentah dan gelondongan.

Mulai dari sumber minyak, kayu jati, kelapa sawit dan batu bara bukannya dikelola dan diolah agar menghasilkan nilai tambah yang berlipat untuk produk ekspor dan kebutuhan domestik, tetapi semua itu dijual dan digadaikan mentah-mentah. Hal seperti itu tidak terjadi di Jepang, Korea, China dan beberapa negara maju lainnya. Padahal, bangsa kita, denagn sumber daya alam melimpahnya tersebut, memiliki ribuan anak-anak cerdas yang berasal dari ratusan universitas di negeri ini. Namun, kita gagal mengelola asset-aset bangsa ini untuk mengolah sumber-sumber daya alam kita sendiri demi kemakmuran bangsa kita sendiri.

Yang akhir-akhir ini mengemuka adalah justru agenda membangun citra yang dilakukan oleh para politisi dan selebriti. Mereka berusah menarik simpati agar peringkat mereka tinggi baik ketika pemilu maupun sewaktu manggung di televisi. Politisi dan artis adalah setali tiga uang. Mereka mambangun citra dan merebut simpati lewat media massa. Politisi dan artis, keduanya haus panggung dan simpati masaa dan telah membuat dunia periklanan menjadi sangat penting. Sementara, kita semua tahu bahwa iklan selalu ada unsur manipulatif dan hiperbolis.

Data sementara menunjukkan, sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang sarjana dalam bidang teknik dan ilmu dasar. Riset dan survey politik juga lebih populer ketimbang penelitian dalam ilmu pengetahuan alam. Berapa triliun uang dibelanjakan untuk ongkos kampanye dan membangun citra diri demi meraih popularitas. Kalau saja separuh uang itu disalurkan untuk riset bidang sains dan membangun lembaga pendidikan kelas dunia, ke depan kita memiliki ribuan angsa bertelur emas. Akan lahir karya-karya besar anak bangsa yang mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia.

Jadi, salah satu agenda utama bangsa ini adalah bagaimana mempersiapkan atau mencetak generasi emas. Dan itu memerlukan waktu minimal dua puluh tahun mengingat generasi emas bukan produk instan. Menurut cerita, para pejabat tinggi di jajaran pemerintahan maupun lembaga bisnis Singapura maupun Korea, adalah produk pendidikan yang secara sadar dirancang untuk menghasilkan generasi emas. Mereka masih muda-muda namun terampil dan memiliki integritas tinggi dalam menerima amanat jabatan.

Sangat disayangkan, pendidikan kita tidak dirancang untuk menelurkan generasi emas yang andal untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dan negara. Kalau pun terdapat beberapa kampus yang melahirkan sarjana berkualitas dan kompetitif, mereka tidak terserap dalam lembaga dan birokrasi pemerintah sebagai pilar utama untuk membangun bangsa sehingga pihak swasta asing yang justru memanfaatkan mereka. Sesungguhnya, terjadinya braindrain tidak selalu negatif. Banyak anak-anak pintar China yang merupakan “generasi emas” belajar di luar negeri dan tidak pulang ke negeri asalnya. Namun, mereka tetap setia pada bangsanya. Bahkan, mereka menjadi semacam duta bangsa dalam membangun jaringan keilmuan dan ekonomi.

Kemiskinan dan kemandegan dalam menelurkan generasi emas juga sangat terlihat dalam tubuh partai politik. Saat ini, mereka bingung untuk mendapatkan calon legislatif yang andal baik secara intelektual maupun moral. Yang kemudian terjadi adalah parpol ramai-ramai membuka diri seakan membuka lapangan kerja atau semacam “Indonesian Idol” mencari anggota DPR. Oleh sebab itu, parpol tak ubahnya kantor biro jasa penyalur “tenaga kerja politik” yang kemudian berhak menarik komisi bagi mereka yang lolos seleksi dan kompetisi.

Dalam sebuah negara yang sehat setidak-tidaknya terdapat empat pilar yang tegak kukuh dan saling mendukung. Pilar-pilar itu adalah kekuatan pasar, kekuatan politik, kekuatan birokrasi, dan kekuatan lembaga pendidikan. Masing-masing pilar bekerja secara otonom, namun secara fungsional masing-masing saling memperkukuh yang lain, bukannya menjegal dan megooptasi. Dalam konteks ini, peranan lembaga pendidikan merupakan tempat penyemaian dan penyalur “generasi emas” pilar-pilar yang lain. Jadi, mestinya dunia perusahaan, dunia politik, dan birokrasi menaruh perhatian serius terhadap lembaga pendidikan, baik dana maupun kurikulum. Karena mereka lah yang akan menyuplai SDM untuk memperkuat pilar-pilar itu. Namun, sekali lagi, proses dan kenyataan yang terjadi adalah bangsa ini berjalan tanpa strategi pembangunan dan pendidikan yang terencana secara solid dan visioner. Semoga dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20% dari dana APBN, kita bisa merancang pendidikan untuk menelurkan generasi emas yang akan mengembalikan martabat bangsa dan negara.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...