Alkisah, hiduplah
seorang petani yang bernasib mujur. Di antara hewan-hewan peliharaannya, ada
seekor angsa yang bertelur emas. Lalu, hewan-hewan lain seperti ayam, kambing,
dan beberapa angsa yang lain kurang diperhatikan sehingga mereka menjadi kurus,
bahkan beberapa di antaranya mati. Ia
hanya memperhatikan dan menyayangi si angsa yang bertelur emas itu.
Angsa itu dia
tempatkan di sebuah kandang khusus, diberi makan dan dijaga ekstra ketat jangan
sampai tetangga tahu karena ia merasa khawatir si angsa dicuri. Setiap pagi
petani itu sudah menungguu di dekat kandang untuk memeriksa dan memungut telur
emas lalu menjual telur itu ke kota.
Demikian lah,
kehidupan petani itu berubah. Ia menjadi kaya raya meski tidak bekerja. Dia
merasa sebagai orang paling kaya di kampung itu. Bahkan gaya hidupnya telah
berubah. Ia senang berfoya-foya. Dia mulai kenal dan tergoda kehidupan kota
yang konsumtif, meninggalkan pola hidupnya di kampung yang tenang dan serba
sederhana.
Kenikmatan hidup
petani tadi terganggu ketika suatu pagi angsanya tidak bertelur. Dia gelisah
dan marah karena hari itu ia merasa kehilangan sebutir telur emas. Sementara,
uang tabungannya sudah habis karena ia hambur-hamburkan dengan belanja segala
macam barang walau barang-barang itu tidak begitu ia perlukan. Dia lupa bahwa
angsanya tidak bertelur karena kesalahan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk
degnan dirinya sendiri untuk bersenang-senang sehingga ia kurang menyayangi dan
merawat angsanya dengan makanan yang cukup dan bergizi untuk membuat si angsa
tetap sehat.
Setelah ia
menunggu sampai siang ternyata si angsa tidak juga bertelur, dia berharap esok
paginya si angsa akan bertelur emas sebagaimana biasanya. Namun, pagi hari
berikutnya, si angsa tidak juga bertelur. Dengan perasaan marah dia menyembelih
angsa itu. Dia belah perutnya dengan harapan akan menemukan telur di dalamnya.
Tetapi, ia ternyata tidak mendapatkannya, sementara angsanya telah mati. Buyar
lah harapannya dan petani tadi akhirnya jatuh miskin, hidup dirundung
penyesalan dan duka.
Ada tiga
kesalahan fatal dilakukan petani tadi. Pertama,
dia lupa diri sehingga terjatuh pada pola kehidupan konsumtif. Melupakan watak
aslinya. Kedua, dia lupa merawat dan
menyayangi angsanya agar tumbuh sehat dan tetap produktif untuk mempersembahkan
telur emas. Ketiga, dia lupa atau
bodoh bahwa telur emas itu adalah produk dari sebuah proses, telur itu bukan
tersimpan dalam perut angsa. Oleh sebab itu, ketika ia membelah perut si angsa,
ia tidak menemukan telur emas, melainkan sekadar calon telur.
Angsa bertelur
emas itu bisa saja dianalogikan bumi pertiwi dengan alamnya yang sangat kaya.
Beragam flora, fauna dan sumber tambang mineralnya terhampar dan tersimpan
dalam perut bumi. Belum lagi kekayaan yang terkandung dalam perut bumi. Belum
lagi kekayaan yang terkandung dalam lautan. Tetapi, kita malas dan bodoh serta
tidak mampu merawat dan memprosesnya. Kita malah menyerahkan bumi pertiwi
kepada pemodal asing sehingga kita sebagai pemilik modal tetap miskin dan orang
lain (pemodal asing) yang kaya raya karena memperoleh nilai tambah yang
berlipat ganda. Ibarat petani yang bodoh dan tamak, angsa itu kita sembelih
sehingga telur emasnya tidak lagi keluar. Kekayaan alam yang demikian melimpah
dijual mentah dan gelondongan.
Mulai dari
sumber minyak, kayu jati, kelapa sawit dan batu bara bukannya dikelola dan
diolah agar menghasilkan nilai tambah yang berlipat untuk produk ekspor dan
kebutuhan domestik, tetapi semua itu dijual dan digadaikan mentah-mentah. Hal
seperti itu tidak terjadi di Jepang, Korea, China dan beberapa negara maju
lainnya. Padahal, bangsa kita, denagn sumber daya alam melimpahnya tersebut,
memiliki ribuan anak-anak cerdas yang berasal dari ratusan universitas di
negeri ini. Namun, kita gagal mengelola asset-aset bangsa ini untuk mengolah
sumber-sumber daya alam kita sendiri demi kemakmuran bangsa kita sendiri.
Yang akhir-akhir
ini mengemuka adalah justru agenda membangun citra yang dilakukan oleh para
politisi dan selebriti. Mereka berusah menarik simpati agar peringkat mereka
tinggi baik ketika pemilu maupun sewaktu manggung di televisi. Politisi dan
artis adalah setali tiga uang. Mereka mambangun citra dan merebut simpati lewat
media massa. Politisi dan artis, keduanya haus panggung dan simpati masaa dan
telah membuat dunia periklanan menjadi sangat penting. Sementara, kita semua
tahu bahwa iklan selalu ada unsur manipulatif dan hiperbolis.
Data sementara
menunjukkan, sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang
sarjana dalam bidang teknik dan ilmu dasar. Riset dan survey politik juga lebih
populer ketimbang penelitian dalam ilmu pengetahuan alam. Berapa triliun uang
dibelanjakan untuk ongkos kampanye dan membangun citra diri demi meraih
popularitas. Kalau saja separuh uang itu disalurkan untuk riset bidang sains
dan membangun lembaga pendidikan kelas dunia, ke depan kita memiliki ribuan
angsa bertelur emas. Akan lahir karya-karya besar anak bangsa yang mampu
mengangkat harkat dan martabat Indonesia.
Jadi, salah satu
agenda utama bangsa ini adalah bagaimana mempersiapkan atau mencetak generasi
emas. Dan itu memerlukan waktu minimal dua puluh tahun mengingat generasi emas
bukan produk instan. Menurut cerita, para pejabat tinggi di jajaran
pemerintahan maupun lembaga bisnis Singapura maupun Korea, adalah produk
pendidikan yang secara sadar dirancang untuk menghasilkan generasi emas. Mereka
masih muda-muda namun terampil dan memiliki integritas tinggi dalam menerima
amanat jabatan.
Sangat
disayangkan, pendidikan kita tidak dirancang untuk menelurkan generasi emas
yang andal untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dan negara. Kalau pun
terdapat beberapa kampus yang melahirkan sarjana berkualitas dan kompetitif, mereka
tidak terserap dalam lembaga dan birokrasi pemerintah sebagai pilar utama untuk
membangun bangsa sehingga pihak swasta asing yang justru memanfaatkan mereka.
Sesungguhnya, terjadinya braindrain
tidak selalu negatif. Banyak anak-anak pintar China yang merupakan “generasi
emas” belajar di luar negeri dan tidak pulang ke negeri asalnya. Namun, mereka
tetap setia pada bangsanya. Bahkan, mereka menjadi semacam duta bangsa dalam
membangun jaringan keilmuan dan ekonomi.
Kemiskinan dan
kemandegan dalam menelurkan generasi emas juga sangat terlihat dalam tubuh
partai politik. Saat ini, mereka bingung untuk mendapatkan calon legislatif
yang andal baik secara intelektual maupun moral. Yang kemudian terjadi adalah
parpol ramai-ramai membuka diri seakan membuka lapangan kerja atau semacam
“Indonesian Idol” mencari anggota DPR. Oleh sebab itu, parpol tak ubahnya
kantor biro jasa penyalur “tenaga kerja politik” yang kemudian berhak menarik
komisi bagi mereka yang lolos seleksi dan kompetisi.
Dalam sebuah
negara yang sehat setidak-tidaknya terdapat empat pilar yang tegak kukuh dan
saling mendukung. Pilar-pilar itu adalah kekuatan pasar, kekuatan politik,
kekuatan birokrasi, dan kekuatan lembaga pendidikan. Masing-masing pilar
bekerja secara otonom, namun secara fungsional masing-masing saling memperkukuh
yang lain, bukannya menjegal dan megooptasi. Dalam konteks ini, peranan lembaga
pendidikan merupakan tempat penyemaian dan penyalur “generasi emas” pilar-pilar
yang lain. Jadi, mestinya dunia perusahaan, dunia politik, dan birokrasi
menaruh perhatian serius terhadap lembaga pendidikan, baik dana maupun
kurikulum. Karena mereka lah yang akan menyuplai SDM untuk memperkuat
pilar-pilar itu. Namun, sekali lagi, proses dan kenyataan yang terjadi adalah
bangsa ini berjalan tanpa strategi pembangunan dan pendidikan yang terencana
secara solid dan visioner. Semoga dengan ditetapkannya anggaran pendidikan
sebesar 20% dari dana APBN, kita bisa merancang pendidikan untuk menelurkan
generasi emas yang akan mengembalikan martabat bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar