Sabtu, 13 Juni 2020

MUTAGHONNIY BUKAN QORI’


—Saiful Islam*—

“Kalau tidak ada proses pemahaman atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’…”

“Mas. Bagaimana dengan istilah Qoori’ itu?”

Memang di Indonesia, istilah qori’ itu sering kita dengar. Biasanya kalau ada acara warga di kampung-kampung, ada seseorang yang disebut qori’ itu. Biasanya qori’ itu orang yang membaca ayat-ayat Qur’an dengan nyaring, meliuk-liuk, dan seterusnya yang sangat terkait dengan nada. Jujur, saya termasuk yang suka mendengarnya. Bahkan, waktu KKN (Kuliah Kerja Nyata) dulu saya juga pernah tampil di depan umum. Hehe.

OK. Menurut saya, Qur’an dibaca dengan cara seperti itu, itu boleh-boleh saja. Itu bagian dari al-asyyaa’ (budaya) yang asalnya memang boleh-boleh saja. Kaidah Ushul Fikih-nya begini: “Asal dari budaya, itu boleh. Sampai ada dalil yang melarang.” Budaya apa pun itu memang boleh. Asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil Islam yang kokoh. Ingat, dalil itu bertingkat. Pertama, Qur’an. Kedua Hadis sahih. Terus, Ijma’, dan Qiyas (analogi). Qur’an menjadi penguji dari semua dalil itu.

Catatan pentingnya adalah jangan sampai pembacaan Qur’an yang indah, itu memalingkan kita dari fungsi utama Qur’an: sebagai petunjuk! Jangan sampai di antara kita misalnya ada yang bertitel qori’, juga panitia, itu malah memalingkan dan menjauhkan umat dari fungsi pertama dan utama Qur’an yang sebagai petunjuk itu. Justru sebaliknya, Qur’an dibaca indah itu, supaya umat semakin dekat dengan fungsi utama Qur’an itu. Jadi qori’ dan panitia, mestinya mendekatkan umat. Bukan memalingkan dan apalagi menjauhkan.

QS. Al-Baqarah[2]: 2 & 185
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya. MENJADI PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an SEBAGAI PETUNJUK bagi manusia dan PENJELASAN-PENJELASAN MENGENAI PETUNJUK ITU serta PEMBEDA (antara yang benar dan yang salah).

Qoori’ itu adalah subjek (ism faa’il) dari qoro’a. Jadi kalau qoro’a, itu kata kerjanya (fi’Iverb). Maka qoori’ itu adalah nama untuk orang yang melakukannya. Pelakunya. Betuk plural (jamak) qoori’ adalah qurroo’. Yang secara sekilas berarti pembaca.

Di depan sudah diceritakan panjang lebar, bahwa makna membaca yang menggunakan kata qoro’a, itu selalu terkait dengan proses pemahaman. Tidak cukup hanya dibaca saja. Tak terkecuali untuk ayat di bawah ini. Membacakan kepada masyarakat atau umat, itu berarti ada upaya membuat mereka paham. Bukan hanya menghibur mereka dengan indahnya suara dan nada.

QS.Al-Isra’[17]: 106
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur AGAR KAMU MEMBACAKANNYA PERLAHAN-LAHAN KEPADA MANUSIA. Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.

Yang membaca paham. Yang mendengar juga paham. Barulah dari kepahaman, baik yang membaca dan yang dibacakan (pendengar), itu buahnya adalah ketakwaan. Nurut kepada informasi Qur’an. Jika isinya larangan, maka tidak dilakukan. Jika isinya perintah atau anjuran, maka dilakukan.

QS. Al-Zumar[39]: 28
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(Ialah) AL QUR’AN DALAM BAHASA ARAB yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) SUPAYA MEREKA BERTAKWA.

Lebih tepatnya, istilah qori’ itu adalah orang yang mengkaji Al Qur’an. Benar-benar ayat-ayat Qur’an yang dibahas, dibicarakan, dipikirkan, direnungkan, diperhatikan, didiskusikan, dimusyawarahkan, ditinjau dari beberapa sisinya, dari ilmu-ilmu bantunya, dan seterusnya. Sampai diamalkan alias dipraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

QS. Al-Qomar[54]: 17
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sesungguhnya telah Kami MUDAHKAN Al-Qur’an untuk PELAJARAN. Adakah orang yang mengambil pelajaran?

Kalau tidak ada proses pemahaman atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’. Tidak sesuai. Menurut saya, lebih tepatnya cukup disebut pelantun ayat Qur’an. Kalau mau Arab-nya, lebih pas disebut mutaghonniy. Alias orang yang hanya melagukan ayat-ayat Qur’an. Melagukan saja tanpa paham arti, makna, dan apalagi maksud dan hikmah-hikmahnya.

Maka kalau mau naik tingkat dari mutaghonniy (pelagu ayat Qur’an) menjadi qoori’, harus ada upaya untuk memahami. Si pembaca Qur’an mesti memahami ayat yang akan dibacanya. Atau paling tidak mengerti maknanya. Tidak cukup hanya melagukan itu. Ia juga harus memahamkan audiens. Atau paling tidak menunjukkan artinya kepada mereka. Misalnya paling tidak membacakan terjemahannya.

Apalagi kalau audiensnya orang-orang kampung. Mayoritas ‘abangan’ yang sangat bisa jadi awam dan masih belum dekat kepada Al-Qur’aan al-Kariim ini. Mereka harus dipahamkan. Dicerdaskan. Jangan hanya dihibur dengan lengkingan suara, merdu, cengkok, panjang dan pendeknya nada. Kalau perlu terjemahannya sesuai dengan bahasa mereka saja. Seperti terjemah Jawa, Madura, Sunda, Batak, dan seterusnya.

Seorang kawan pernah mengatakan istilah yang menurut saya juga pas: Tahsiin al-Showt. Alias memperbagus atau memperindah suara. Jadi urusannya hanya dengan suara, bunyi, nada, cengkok, panjang pendek, lagu, dan semisalnya. Maka pelantun Qur’an yang hanya memperbagus atau memperindah suara, itu bisa juga disebut Muhassin al-Showt. Atau supaya enak, ringkas dan cepat populer sebut saja Al-muhassin. Bukan qoori’. Bukan juga qurroo’.

Sebab orang yang hanya memperbagus dan memperindah suara, itu baru kulit. Baru asesoris. Belum inti dan substansi dari Qur’an itu sendiri. Untuk sampai kepada petunjuk, itu tidak cukup dan tidak bisa hanya sibuk pada kulit dan asesorisnya saja. Seseorang harus masuk, menyelam, dan memahami makna-makna pesan cinta Tuhan itu.

Malah kawan yang lain ada yang menamai orang yang hanya memperbagus dan memperindah suara ketika membaca Qur’an, itu dengan istilah showtan. Yang diplesetkan dengan kata dalam Bahasa Jawa: Suitan.

Walloohu a’lam bishowaab....

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, Beraksi ala Pemenang, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...