Kamis, 30 Juli 2020

LOMBA PAHAM QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Tidak tepat disebut MTQ. Lebih pasnya sebut saja LMQ. Lomba Melagukan Qur’an…”

Istilah rancu berikutnya yang sering kita dengar adalah Musabaqoh Tilawatil Qur’an. Disingkat MTQ. Biasanya didefinisikan sebagai acara sebuah festival pemuliaan kitab suci umat Islam (Al Qur’an).

Musabaqah Tilawatil Qur’an, itu istilah Arab yang di-Indonesiakan. Jadi per katanya, itu diambil dari Bahasa Arab. Kemudian dirangkai-rangkai sendiri. Susunannya berupa frase. Mudhoof ilayh, istilah Arab-nya. Phrase, kalau Inggris-nya. Tampaknya yang membuat istilah itu bermaksud lomba membaca Qur’an. Ternyata praktiknya, yang dilombakan itu lebih kepada kemerduan suaranya. Lagunya.

Lagu-lagu yang dipakai antara lain Bayati, Syika, Nahwand, Rost, Jiharka, dan lain seterusnya. Untuk lebih detailnya silakan baca ulasan terdahulu.

Musaabaqoh, itu kata dasarnya adalah sabaqo. Yang menurut Lisan al-Arab artinya adalah yang paling depan dalam aliran, barisan, atau apa pun. Menjadi musaabaqoh, itu mengikuti bentuk faa’ala, mufaa’alah (panjang fa’-nya). Musaabaqoh adalah bentuk mashdar (semacam kata benda atau sifat) dari saabaqo. Artinya adalah saling mendahului, berlomba, balapan, dan yang semisalnya. Bentuk mashdar-nya yang lain adalah sibaaq.

Kemudian kata musaabaqoh itu dirangkai dengan kata tilaawah al-Qur’aan. Yang secara sekilas diartikan dengan Membaca Al Qur’an. Tampaknya ada yang meleset kalau ternyata yang dilombakan itu adalah lagunya, nadanya, suaranya, cengkoknya, merdunya, dan seterusnya.

Padahal kalau menelisik kamus-kamus Arab yang kredibel. Membaca dengan kata talaa, itu maksudnya adalah membaca dengan kata qoro’a. Sebagaimana disebut oleh Lisan al-Arab. Sedangkan kata qoro’a, itu sendiri bermakna MEMIKIR-MIKIRKAN ATAU MEMPERTIMBANGKAN MAKNANYA, sebagaimana disebut oleh Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Apalagi, talaa itu umum yang juga meliputi qoro’a.

Ayat-ayat Qu’an sendiri yang relevan yang semuanya menggunakan kata tilawah, misalnya sebagai berikut.

QS. Al-Baqarah[2]: 121
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Orang-orang yang telah Kami berikan AL-KITAB kepadanya, mereka MEMBACANYA dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu BERIMAN kepadanya. Dan barangsiapa yang INGKAR kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

Iman (mempercayai atau meyakini) atau mengingkari, itu tentu merupakan sebuah respon terhadap makna dari sebuah informasi. Tanggapan terhadap makna yang dikandung oleh teks. Bukan teks yang dilagukan. Tetapi makna yang ada di balik teks itu.

QS.Al-Hajj[22]: 72
وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِ الَّذِينَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَ ۖ يَكَادُونَ يَسْطُونَ بِالَّذِينَ يَتْلُونَ عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا ۗ قُلْ أَفَأُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَٰلِكُمُ ۗ النَّارُ وَعَدَهَا اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan apabila DIBACAKAN di hadapan mereka AYAT-AYAT KAMI yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda KEINGKARAN pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka MENYERANG orang-orang yang MEMBACAKAN ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: "Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.

Tentu keingkaran orang kafir, itu bukan karena lagunya. Tetapi karena informasi di balik ayat-ayat Qur’an yang dibacakan kepada mereka. Mereka hampir menyerang, tentu juga bukan karena merdunya suara dan indahnya lagu ayat. Kalau dibaca bak syair yang mendayu-dayu dan penuh ekspresif tanpa mereka paham, sangat bisa jadi orang kafir itu malah senang, nyaman, dan damai.

QS. Al-Ankabut[29]: 51
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu AL-KITAB (AL QUR’AN) sedang ia DIBACAKAN kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat RAHMAT yang besar dan PELAJARAN bagi orang-orang yang beriman.

QS. Al-Shaffat[37]: 3
فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا
Dan demi (rombongan) yang MEMBACAKAN PELAJARAN.

Dua ayat di atas (QS.29:51 dan QS.37:3) jelas sekali kaitan antara membaca (tilawah) itu dengan pelajaran. Nah, pelajaran itulah fokusnya. Al Qur’an itu dibaca untuk dipelajari. Dimengerti informasinya. Bukan pada indahnya lagu teksnya. Bukan. Tetapi justru muatan isi dari rangkaian teks ayat-ayat Qur’an itu.

Begitu juga ayat di bawah ini. Ketika Qur’an itu dibacakan kepada orang beriman, maka informasinya itu akan membuat Kaum Mukminin bertambah imannya. Semakin kokoh imannya setelah mengerti dan paham pesan yang ada di dalam rangkaian ayat-ayat Qur’an itu. Tentu saja, tambahnya iman, itu tidak ada kaitannya dengan lagu, nada, suara, cengkok, dan seterusnya. Kecuali beriringan dengan kepahaman.

QS. Al-Anfal[8]: 2
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Dan apabila DIBACAKAN AYAT-AYAT-NYA BERTAMBAHLAH IMAN MEREKA (KARENANYA), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Yang jelas, musaabaqoh tilaawah al-Qur’aan, itu tidak ada tuntunannya dalam Qur’an. Festival seperti itu, juga tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabatnya. Meski begitu, MTQ itu tidak langsung haram. MTQ hanyalah sebuah budaya khas Indonesia. Ingat kaidah Ushul Fikih-nya: “Asal dari budaya (al-asyaa’) itu boleh-boleh saja. Sampai ada dalil yang melarang.” Asalkan jangan sampai MTQ, malah menjauhkan umat dari tujuan dan fungsi Qur’an yang paling intinya. Paling pentingnya. Ruhnya. Yaitu sebagai petunjuk!

Jadi kalau hanya lomba kemerduan suara, nada, lagu, dan semisalnya, maka itu tidak tepat disebut MTQ. Lebih pasnya mungkin Lomba Melagukan Qur’an (LMQ). Atau kalau yang dimaksud fokusnya adalah melagukannya, menurut saya LMQ itu lebih tepat daripada MTQ. Pakai Bahasa Indonesia saja. Umat supaya mudah memahami. Daripada ke-Arab-Arab-an, tetapi tidak mengerti istilah yang dibuat sendiri. Umat apalagi. Semakin tidak mengerti.

MTQ, lebih pasnya menurut saya, itu adalah lomba memahami Qur’an. Misalnya juri melontarkan satu ayat. Boleh dibacakan dengan lagu yang indah dulu sebagai pendahuluan. Kemudian juri meminta setiap peserta untuk memahaminya sesuai ilmu-ilmu yang mereka kuasai. Bebas secanggih akal kecerdasan masing-masing peserta lomba. Mempersembahkan kemampuan dan kepahaman terbaik mereka kepada audiens. Tentu, itu tidak hanya akan indah. Tetapi juga akan seru dan bermanfaat!

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishowaab....

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...