—Saiful Islam*—
“Melagukan Qur’an dengan tajwid,
itu baru cara. Bukan tujuan membaca Qur’an. Itu pun kalau tanpa pamer…”
Istilah berikutnya yang ternyata
meleset adalah Murottal Al Qur’an. Secara sekilas bisa diartikan membaca
Qur’an. Ada beberapa pengertian yang bisa kita temukan. Tetapi intinya sama.
Yaitu fokus pada tajwid dan lagu.
Misalnya definisi berikut ini: “Murottal
adalah membaca Al Qur’an yang memfokuskan pada dua hal yaitu kebenaran bacaan
(tajwid) dan lagu Al Qur’an. Karena konsentrasi bacaan difokuskan pada
penerapan tajwid sekaligus lagu, maka porsi lagu Qur’an tidak dibawakan
sepenuhnya. Hanya pada nada asli dengan tingkat suara sedang.”
Jadi fokus atau tujuannya, menurut
definisi di atas, adalah memang tajwid dan lagunya. Anehnya pembacanya juga
umum disebut qoori’. Mestinya murottil. Bukan qoori’.
Menurut saya, ini juga termasuk
rentetan salah kaprah istilah yang terjadi di tengah-tengah umat Islam. Kalau
membaca Qur’an itu difokuskan pada lagu dan tajwidnya, itu tidak tepat disebut
murottal. Lebih pasnya sebut saja Al-mutaghonniy (pelantun Qur’an). Atau
melagukan Qur’an. Jangan menggunakan kata murottal. Karena murottal itu berasal
dari kata al-tartiil.
Al-tarttil fi al-qiroo’ah atau tartil
dalam bacaan, maksudnya adalah perlahan-lahan dalam bacaan itu dan
menjelaskannya dengan benar. Kalimat warottil al-Qur’aan tartiilan
(QS.72:4), menurut Abu al-Abbas yang dimaksud adalah penyelidikan, penjelasan,
dan penegasan (pengokohan) dalam membaca Qur’an.
Sedangkan menurut Mujahid, kata tartiil
pada QS.72:4 itu berarti secara perlahan-lahan. Kemudian ia berkata, “Wa
rottaltuhu tartiilan, sebagiannya menjadi jejak bagi sebagian yang lain.”
Yakni bagian yang satu terkait dengan bagian yang lain.
Adapun menurut Ibnu Abbas, maksud
QS.72:4, itu adalah “Jelaskanlah Qur’an itu dengan sejelas-jelasnya.”
Jadi secara bahasa pun, murottal itu
fokusnya bukan lagu. Bukan tajwid. Memang bukan irama, suara, nada, dan
seterusnya. Fokus murottal itu justru adalah maknanya. Pengertiannya.
Pemahamannya. Lagu dan tajwid, itu bukan yang primer. Bukan yang substansi.
Tetapi sekunder. Yang primer dan substansial justru pemahamannya itu.
Begitu juga kalau kita melihat
ayat-ayat Qur’an sendiri yang menggunakan kata murottal itu. Tujuan utamanya
adalah pemahamannya. Tentu untuk bisa paham, siapa pun orangnya, itu harus
mengerti artinya. Dipahami maknanya. Ingat, Al Qur’an itu bukan rangkaian teks
kosong tanpa makna. Mutiara Al Qur’an yang sangat kaya, itu justru ada di balik
zahir teksnya.
QS. Al-Muzammil[73]: 1 – 6
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
1. Hai orang yang berselimut
(Muhammad).
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا
قَلِيلًا
2. Bangunlah di malam hari, kecuali
sedikit (darinya).
نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ
مِنْهُ قَلِيلًا
3. (Yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit.
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
4. Atau lebih dari seperdua itu.
Dan KAJILAH AL QUR’AN ITU DENGAN PERLAHAN-LAHAN.
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ
قَوْلًا ثَقِيلًا
5. Sesungguhnya Kami akan MENGANUGERAHKAN
kapadamu PERKATAAN YANG BERBOBOT.
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ
هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
6. Sesungguhnya bangun di waktu
malam adalah LEBIH KUAT MENGISI JIWA dan MENGKAJI QUR’AN DI WAKTU ITU LEBIH
BERKESAN.
Menurut saya lebih tepat QS.73:4
itu diterjemahkan dengan mengkaji secara perlahan-lahan. Jadi murottal atau tartiilan-nya
itu baru cara. Bukan tujuan. Tujuan kajian itu justru disebut di QS.73:5.
Yaitu: “Sesungguhnya Kami akan MENGANUGERAHKAN kapadamu PERKATAAN YANG
BERBOBOT.” Jelas yang berbobot itu adalah kandungan maknanya. Substansi pesan
yang dikandung justru di balik rangkaian teks ayat Qur’an itu sendiri.
QS. Al-Furqan[25]: 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا
لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Berkatalah orang-orang yang kafir:
"Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”
Demikianlah (turun berangsur-angsur), SUPAYA KAMI PERKUAT HATIMU DENGANNYA dan
Kami membacanya SECARA TARTIL (teratur dan benar).
Kalau pun melantunkan ayat-ayat
Qur’an itu disebut sebagai salah satu cara membaca Al Qur’an, maka itu
boleh-boleh saja. Satu bentuk dari tartiilan itu. Tetapi jangan pernah
mengatakan melagukannya dengan tajwid itu sebagai tujuan. Jangan pernah
mengartikan murottal itu sebagai fokus membaca Qur’an. Sebagaimana definisi
yang saya kutip di atas.
Sebab kalau melagukannya itu
dianggap sebagai tujuan atau sebagai fokus, orang akan merasa cukup hanya
dengan melantunkan Qur’an. Tampaknya memang begitulah yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat Islam. Mereka sudah merasa puas, sudah merasa cukup,
hanya ketika selesai melagukan Qur’an. Mereka sudah merasa cukup hanya sampai
melagukannya itu. Karena dari awal sudah dianggap sebagai tujuan. ‘Tujuannya
sudah tercapai’. Sehingga tidak ada kesadaran dan apalagi upaya untuk mengkaji
surat cinta Tuhan itu sendiri. Tentu ini salah kaprah!
Baik-baik saja, memang, melagukan
Qur’an itu. Saya pun senang mendengarkan bacaan Ra’ad al-Kurdi misalnya. Bahkan
saya sengaja sering memutar bacaan yang merdu itu untuk anak-anak saya. Tetapi
jangan pernah menganggap melagukan Qur’an, itu adalah tujuan berinteraksi
dengan Qur’an.
Sebagaimana disebut QS.73:4, tartiilan
itu hanyalah sebuah cara dalam mengkaji Qur’an. Bukan tujuan. Melagukan Qur’an,
memang bisa menjadi salah satu cara dari tartiilan itu untuk mengkaji
Qur’an. Ingat, salah satu cara. Bukan satu-satunya. Kenapa? Karena untuk
mengkaji Qur’an, itu bisa dengan banyak cara. Bahkan tanpa melagukan pun bisa.
Misalnya dengan membaca Qur’an terjemah. Atau buku tafsir yang berbahasa
Indonesia, misalnya Tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Prof. Hamka dan Tafsir
Al-Misbah buah karya Prof. Quraish Shihab.
Malah menurut saya, mengkaji Qur’an
dengan membaca terjemahnya atau membaca buku tafsir berbahasa Indonesia, itu
lebih mengena terutama untuk orang-orang yang belum sempat belajar Bahasa Arab.
Daripada dengan cara melagukan Qur’an itu. Apalagi kalau membaca terjemahan dan
buku tafsir berbahasa Indonesia, itu dilakukannya pada malam hari.
Perlahan-lahan. Berhenti sejenak kalau perlu. Sambil memikir-mikirkan dan
merenung-renungkan maknanya.
Mengkaji Qur’an di tengah kesunyian
malam dengan cara membaca terjemahnya dan buku tafsir berbahasa Indonesia, itu
lebih mengarah kepada hal yang substansial: memperlakukan Qur’an sebagai
petunjuk. Daripada melagukan Qur’an yang sangat rawan salah kaprah,
menyelewengkan fungsi utama Qur’an, dan melenceng: pamer!
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishowaab....
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar