Kamis, 30 Juli 2020

MENYOAL MUROTTAL QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Melagukan Qur’an dengan tajwid, itu baru cara. Bukan tujuan membaca Qur’an. Itu pun kalau tanpa pamer…”

Istilah berikutnya yang ternyata meleset adalah Murottal Al Qur’an. Secara sekilas bisa diartikan membaca Qur’an. Ada beberapa pengertian yang bisa kita temukan. Tetapi intinya sama. Yaitu fokus pada tajwid dan lagu.

Misalnya definisi berikut ini: “Murottal adalah membaca Al Qur’an yang memfokuskan pada dua hal yaitu kebenaran bacaan (tajwid) dan lagu Al Qur’an. Karena konsentrasi bacaan difokuskan pada penerapan tajwid sekaligus lagu, maka porsi lagu Qur’an tidak dibawakan sepenuhnya. Hanya pada nada asli dengan tingkat suara sedang.”

Jadi fokus atau tujuannya, menurut definisi di atas, adalah memang tajwid dan lagunya. Anehnya pembacanya juga umum disebut qoori’. Mestinya murottil. Bukan qoori’.

Menurut saya, ini juga termasuk rentetan salah kaprah istilah yang terjadi di tengah-tengah umat Islam. Kalau membaca Qur’an itu difokuskan pada lagu dan tajwidnya, itu tidak tepat disebut murottal. Lebih pasnya sebut saja Al-mutaghonniy (pelantun Qur’an). Atau melagukan Qur’an. Jangan menggunakan kata murottal. Karena murottal itu berasal dari kata al-tartiil.

Al-tarttil fi al-qiroo’ah atau tartil dalam bacaan, maksudnya adalah perlahan-lahan dalam bacaan itu dan menjelaskannya dengan benar. Kalimat warottil al-Qur’aan tartiilan (QS.72:4), menurut Abu al-Abbas yang dimaksud adalah penyelidikan, penjelasan, dan penegasan (pengokohan) dalam membaca Qur’an.

Sedangkan menurut Mujahid, kata tartiil pada QS.72:4 itu berarti secara perlahan-lahan. Kemudian ia berkata, “Wa rottaltuhu tartiilan, sebagiannya menjadi jejak bagi sebagian yang lain.” Yakni bagian yang satu terkait dengan bagian yang lain.

Adapun menurut Ibnu Abbas, maksud QS.72:4, itu adalah “Jelaskanlah Qur’an itu dengan sejelas-jelasnya.”

Jadi secara bahasa pun, murottal itu fokusnya bukan lagu. Bukan tajwid. Memang bukan irama, suara, nada, dan seterusnya. Fokus murottal itu justru adalah maknanya. Pengertiannya. Pemahamannya. Lagu dan tajwid, itu bukan yang primer. Bukan yang substansi. Tetapi sekunder. Yang primer dan substansial justru pemahamannya itu.

Begitu juga kalau kita melihat ayat-ayat Qur’an sendiri yang menggunakan kata murottal itu. Tujuan utamanya adalah pemahamannya. Tentu untuk bisa paham, siapa pun orangnya, itu harus mengerti artinya. Dipahami maknanya. Ingat, Al Qur’an itu bukan rangkaian teks kosong tanpa makna. Mutiara Al Qur’an yang sangat kaya, itu justru ada di balik zahir teksnya.

QS. Al-Muzammil[73]: 1 – 6
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad).

قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
2. Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit (darinya).

نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
3. (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
4. Atau lebih dari seperdua itu. Dan KAJILAH AL QUR’AN ITU DENGAN PERLAHAN-LAHAN.

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
5. Sesungguhnya Kami akan MENGANUGERAHKAN kapadamu PERKATAAN YANG BERBOBOT.

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
6. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah LEBIH KUAT MENGISI JIWA dan MENGKAJI QUR’AN DI WAKTU ITU LEBIH BERKESAN.

Menurut saya lebih tepat QS.73:4 itu diterjemahkan dengan mengkaji secara perlahan-lahan. Jadi murottal atau tartiilan-nya itu baru cara. Bukan tujuan. Tujuan kajian itu justru disebut di QS.73:5. Yaitu: “Sesungguhnya Kami akan MENGANUGERAHKAN kapadamu PERKATAAN YANG BERBOBOT.” Jelas yang berbobot itu adalah kandungan maknanya. Substansi pesan yang dikandung justru di balik rangkaian teks ayat Qur’an itu sendiri.

QS. Al-Furqan[25]: 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah (turun berangsur-angsur), SUPAYA KAMI PERKUAT HATIMU DENGANNYA dan Kami membacanya SECARA TARTIL (teratur dan benar).

Kalau pun melantunkan ayat-ayat Qur’an itu disebut sebagai salah satu cara membaca Al Qur’an, maka itu boleh-boleh saja. Satu bentuk dari tartiilan itu. Tetapi jangan pernah mengatakan melagukannya dengan tajwid itu sebagai tujuan. Jangan pernah mengartikan murottal itu sebagai fokus membaca Qur’an. Sebagaimana definisi yang saya kutip di atas.

Sebab kalau melagukannya itu dianggap sebagai tujuan atau sebagai fokus, orang akan merasa cukup hanya dengan melantunkan Qur’an. Tampaknya memang begitulah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam. Mereka sudah merasa puas, sudah merasa cukup, hanya ketika selesai melagukan Qur’an. Mereka sudah merasa cukup hanya sampai melagukannya itu. Karena dari awal sudah dianggap sebagai tujuan. ‘Tujuannya sudah tercapai’. Sehingga tidak ada kesadaran dan apalagi upaya untuk mengkaji surat cinta Tuhan itu sendiri. Tentu ini salah kaprah!

Baik-baik saja, memang, melagukan Qur’an itu. Saya pun senang mendengarkan bacaan Ra’ad al-Kurdi misalnya. Bahkan saya sengaja sering memutar bacaan yang merdu itu untuk anak-anak saya. Tetapi jangan pernah menganggap melagukan Qur’an, itu adalah tujuan berinteraksi dengan Qur’an.

Sebagaimana disebut QS.73:4, tartiilan itu hanyalah sebuah cara dalam mengkaji Qur’an. Bukan tujuan. Melagukan Qur’an, memang bisa menjadi salah satu cara dari tartiilan itu untuk mengkaji Qur’an. Ingat, salah satu cara. Bukan satu-satunya. Kenapa? Karena untuk mengkaji Qur’an, itu bisa dengan banyak cara. Bahkan tanpa melagukan pun bisa. Misalnya dengan membaca Qur’an terjemah. Atau buku tafsir yang berbahasa Indonesia, misalnya Tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Prof. Hamka dan Tafsir Al-Misbah buah karya Prof. Quraish Shihab.

Malah menurut saya, mengkaji Qur’an dengan membaca terjemahnya atau membaca buku tafsir berbahasa Indonesia, itu lebih mengena terutama untuk orang-orang yang belum sempat belajar Bahasa Arab. Daripada dengan cara melagukan Qur’an itu. Apalagi kalau membaca terjemahan dan buku tafsir berbahasa Indonesia, itu dilakukannya pada malam hari. Perlahan-lahan. Berhenti sejenak kalau perlu. Sambil memikir-mikirkan dan merenung-renungkan maknanya.

Mengkaji Qur’an di tengah kesunyian malam dengan cara membaca terjemahnya dan buku tafsir berbahasa Indonesia, itu lebih mengarah kepada hal yang substansial: memperlakukan Qur’an sebagai petunjuk. Daripada melagukan Qur’an yang sangat rawan salah kaprah, menyelewengkan fungsi utama Qur’an, dan melenceng: pamer!

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishowaab....

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...