Jumat, 31 Juli 2020

INTELEGENSI NABI SULAIMAN


—Saiful Islam*—

“Paham, itu variabelnya dua: data fakta dan proses mengolah data fakta tersebut dengan akal…”

Kali ini kata paham itu sendiri. Tampaknya itu adalah kata serapan dari Bahasa Arab, kata fahm. Bibir orang Indonesia, Jawa-Madura terutama, tampaknya memang susah mengucapkan huruf ‘fa’ atau ‘f’. Maka kata fahm, itu lantas menjadi paham. Namun sebaliknya, orang Arab, itu susah mengucapkan huruf ‘p’. Jadi kalau diminta mengatakan ‘tampan’ misalnya, orang Arab akan bilang, ‘tanmfan’. Hehe.

Perhatikan saja semua huruf hijaiyah itu. Orang Arab tidak mempunyai huruf ‘p’. Jadi semua kata Indonesia yang ada huruf ‘p’, seperti tempe, peyek, pedas, panas, pukis, pisang, pepaya, perahu, sedap, sepeda, perempuan, dan seterusnya, akan diganti dengan huruf ‘f’ semua kalau orang Arab yang mengucapkan. Menjadi ferempuan, feyek, temfe, hehehe. Sayangnya orang Indonesia sendiri masih ada yang mengucapkan kata paham, itu dengan faham.

Yang baku mestinya adalah paham. Yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paham berarti 1. Pengertian. 2. Pendapat, pikiran. 3. Aliran, haluan, pandangan. 4. Mengerti benar (akan), tahu benar (akan). 5. Pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal). Terpahami maksudnya adalah dapat dimengerti. Kalau guru bertanya kepada para muridnya, “Paham?” tentu maksudnya adalah “Sudah mengerti?”.

Diceritakan dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an dari fahima. Bahwa al-fahm itu adalah suatu keadaan bagi seseorang dimana makna-makna menjadi terang benderang. Bayangkanlah seorang murid yang manggut-manggut dan bilang, “Ooo…” setelah mendapatkan penjelasan dari gurunya.

Dalam QS.21:79 disebutkan, “Fafahhamnaa haa Sulaymaan: Kami memahamkannya untuk Sulaiman.” Ini bisa jadi Allah menganugerahkan keutamaan kekuatan kepahaman yang bisa dicapai oleh Sulaiman AS. Atau kekuatan kepahaman itu ditancapkan oleh Allah ke dalam jiwanya. Atau Allah memberi wahyu kepadanya yang menjadi spesialisasinya.

Jika dikatakan, “Afhamtuhu: Aku memahamkannya,” maka itu ketika Anda mengatakan kepadanya sampai tergambar jelas di benaknya. Sementara itu, al-istifhaam, artinya adalah seseorang yang meminta orang lain untuk memberi kepahaman. Umum dikenal istilah ism istifhaam. Alias kata tanya. WH Question, kalau dalam Bahasa Inggris: What (apa), Who (siapa), Where (dimana), When (kapan), Why (mengapa), dan How (bagaimana).

Adapun menurut Lisan al-Arab, kata al-fahm adalah pengetahuan terhadap suatu objek dengan akal (qalb). Bentuk mashdar-nya: fahman, fahaman, dan fahaamatan (yang terakhir ini dari Sibawayh). Jika dikatakan, “Fahimtu al-syay’: Aku telah memahaminya,” maka maksudnya adalah aku telah memikirkan dan mengetahuinya. Orang yang cepat paham, disebut rojulun fahimun (bisa juga dibaca fahmun atau fahamun).

Jadi secara bahasa, al-fahm, itu artinya adalah mengerti sesuatu sekaligus makna dan maksud yang dikandungnya. Secara garis besar, sesuatu, itu bisa berupa ayat qowliyah dan ayat kauniyah. Yakni simbol-simbol yang berupa teks (Al Qur’an terutama), maupun realitas. Termasuk realitas yang sudah dilaporkan menjadi teks. Seperti seseorang membaca sebuah berita.

Yang jelas, seseorang dikatakan paham, itu tidak cukup hanya tahu data fakta saja. Tetapi juga harus memproses data fakta itu untuk kemudian melahirkan sebuah kesimpulan. Kalau dibuat rumus, paham itu sama dengan data fakta ditambah proses mengolah data fakta tersebut dengan akal.

Atau umpamakan huruf A, B, C, D, E, dan seterusnya sesuai alfabet. Itu adalah data fakta. Nah, huruf-huruf, itu dirangkai menjadi kata. Kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat dirangkai menjadi paragraf. Paragraf dirangkai menjadi sub bab. Sub bab dirangkai menjadi bab. Dirangkai lagi akhirnya menjadi sebuah buku. Tiba-tiba melahirkan sebuah ide atau gagasan. Kalau seseorang bisa menangkap ide dari huruf-huruf yang sudah menjadi buku itu, maka orang itulah yang disebut paham!

Semakin banyak data fakta yang dikumpulkan, kemudian diproses dengan akal pikirannya, peluang seseorang untuk paham, itu akan semakin besar pula. Pemahamannya akan semakin baik. Semakin banyak informasi yang dikumpulkan dan dipikirkan, pemahaman seseorang akan semakin berkualitas. Sebaliknya, kalau informasi yang diperoleh sedikit. Atau malah informasi salah (hoaks). Tentu pahamnya bisa buruk kualitasnya, bahkan salah.

Begitu juga tampaknya kalau seseorang ingin memahami Qur’an. Tidak bisa hanya dikumpulkan ayat-ayatnya saja dengan menghilangkan variabel proses pengolahan ayat-ayat itu dengan akal. Tidak bisa untuk paham jika ayat-ayat Qur’an, itu hanya dihafal saja misalnya. Atau hanya dikutip sepotong, atau hanya satu ayat saja. Apalagi keluar dari konteksnya. Baik konteks masa lalu, maupun konteks masa kininya. Sangat rawan salah paham kalau begini!

Tentu saja, semakin banyak sudut pandang atau pendekatan ilmu yang digunakan untuk proses memahami Qur’an, itu akan menghasilkan pemahaman yang tidak hanya berkualitas. Tetapi juga indah dan sangat menarik.

Dalam Al Qur’an, yang menggunakan kata al-fahm, ini hanya terulang sekali saja. Yaitu pada QS.21:79. Itu pun sudah derivasinya. Yakni kata kerja fahhamnaa. Mengikuti bentuk fa’’ala (ganda ‘ain fi’il-nya). Berarti memahamkan. Atau memberi kepahaman kepada pihak lain. Saya kutipkan juga ayat sebelumnya, supaya mendapatkan gambarannya lebih utuh.

QS. Al-Anbiya’[21]: 78-79
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ
78. Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
79. Maka KAMI MEMBERIKAN KEPAHAMAN KEPADA SULAIMAN tentang masalah itu. Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Kami-lah yang melakukannya.

Lagi-lagi Allah menggunakan kata ‘Kami’ untuk memahamkan Nabi Sulaiman itu. Yaitu Allah melibatkan pihak lain dalam proses pemahaman itu. Seperti realitas masalah tanaman tersebut, orang-orang dan kondisi yang menyertainya. Termasuk Nabi Sulaiman itu sendiri yang aktif menggunakan akal kecerdasannya dan semua perangkat indranya yang membuat beliau paham. Sehingga beliau menjadi pribadi yang solutif.

Kemudian kisah itu diwahyukan kepada Nabi menjadi teks-teks Al Qur’an. Tentunya supaya menjadi teladan yang baik, terutama bagi kita sekarang. Nah, untuk bisa tahu dan apalagi mampu memahami, tentu lantas kita mesti berupaya memahami teks-teks Qur’an itu sendiri.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishowaab....

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...