—Saiful Islam*—
“Paham, itu variabelnya dua: data
fakta dan proses mengolah data fakta tersebut dengan akal…”
Kali ini kata paham itu sendiri.
Tampaknya itu adalah kata serapan dari Bahasa Arab, kata fahm. Bibir
orang Indonesia, Jawa-Madura terutama, tampaknya memang susah mengucapkan huruf
‘fa’ atau ‘f’. Maka kata fahm, itu lantas menjadi paham. Namun
sebaliknya, orang Arab, itu susah mengucapkan huruf ‘p’. Jadi kalau diminta
mengatakan ‘tampan’ misalnya, orang Arab akan bilang, ‘tanmfan’. Hehe.
Perhatikan saja semua huruf
hijaiyah itu. Orang Arab tidak mempunyai huruf ‘p’. Jadi semua kata Indonesia
yang ada huruf ‘p’, seperti tempe, peyek, pedas, panas, pukis, pisang, pepaya,
perahu, sedap, sepeda, perempuan, dan seterusnya, akan diganti dengan huruf ‘f’
semua kalau orang Arab yang mengucapkan. Menjadi ferempuan, feyek, temfe,
hehehe. Sayangnya orang Indonesia sendiri masih ada yang mengucapkan kata
paham, itu dengan faham.
Yang baku mestinya adalah paham.
Yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paham berarti 1. Pengertian.
2. Pendapat, pikiran. 3. Aliran, haluan, pandangan. 4. Mengerti benar (akan),
tahu benar (akan). 5. Pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal). Terpahami
maksudnya adalah dapat dimengerti. Kalau guru bertanya kepada para muridnya,
“Paham?” tentu maksudnya adalah “Sudah mengerti?”.
Diceritakan dalam Al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an dari fahima. Bahwa al-fahm itu adalah suatu
keadaan bagi seseorang dimana makna-makna menjadi terang benderang.
Bayangkanlah seorang murid yang manggut-manggut dan bilang, “Ooo…” setelah
mendapatkan penjelasan dari gurunya.
Dalam QS.21:79 disebutkan, “Fafahhamnaa
haa Sulaymaan: Kami memahamkannya untuk Sulaiman.” Ini bisa jadi Allah
menganugerahkan keutamaan kekuatan kepahaman yang bisa dicapai oleh Sulaiman
AS. Atau kekuatan kepahaman itu ditancapkan oleh Allah ke dalam jiwanya. Atau
Allah memberi wahyu kepadanya yang menjadi spesialisasinya.
Jika dikatakan, “Afhamtuhu:
Aku memahamkannya,” maka itu ketika Anda mengatakan kepadanya sampai tergambar
jelas di benaknya. Sementara itu, al-istifhaam, artinya adalah seseorang
yang meminta orang lain untuk memberi kepahaman. Umum dikenal istilah ism
istifhaam. Alias kata tanya. WH Question, kalau dalam Bahasa Inggris: What
(apa), Who (siapa), Where (dimana), When (kapan), Why
(mengapa), dan How (bagaimana).
Adapun menurut Lisan al-Arab,
kata al-fahm adalah pengetahuan terhadap suatu objek dengan akal (qalb).
Bentuk mashdar-nya: fahman, fahaman, dan fahaamatan (yang
terakhir ini dari Sibawayh). Jika dikatakan, “Fahimtu al-syay’: Aku
telah memahaminya,” maka maksudnya adalah aku telah memikirkan dan
mengetahuinya. Orang yang cepat paham, disebut rojulun fahimun (bisa
juga dibaca fahmun atau fahamun).
Jadi secara bahasa, al-fahm,
itu artinya adalah mengerti sesuatu sekaligus makna dan maksud yang
dikandungnya. Secara garis besar, sesuatu, itu bisa berupa ayat qowliyah dan
ayat kauniyah. Yakni simbol-simbol yang berupa teks (Al Qur’an terutama),
maupun realitas. Termasuk realitas yang sudah dilaporkan menjadi teks. Seperti
seseorang membaca sebuah berita.
Yang jelas, seseorang dikatakan
paham, itu tidak cukup hanya tahu data fakta saja. Tetapi juga harus memproses
data fakta itu untuk kemudian melahirkan sebuah kesimpulan. Kalau dibuat rumus,
paham itu sama dengan data fakta ditambah proses mengolah data fakta tersebut
dengan akal.
Atau umpamakan huruf A, B, C, D, E,
dan seterusnya sesuai alfabet. Itu adalah data fakta. Nah, huruf-huruf, itu
dirangkai menjadi kata. Kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat dirangkai
menjadi paragraf. Paragraf dirangkai menjadi sub bab. Sub bab dirangkai menjadi
bab. Dirangkai lagi akhirnya menjadi sebuah buku. Tiba-tiba melahirkan sebuah
ide atau gagasan. Kalau seseorang bisa menangkap ide dari huruf-huruf yang
sudah menjadi buku itu, maka orang itulah yang disebut paham!
Semakin banyak data fakta yang
dikumpulkan, kemudian diproses dengan akal pikirannya, peluang seseorang untuk
paham, itu akan semakin besar pula. Pemahamannya akan semakin baik. Semakin
banyak informasi yang dikumpulkan dan dipikirkan, pemahaman seseorang akan
semakin berkualitas. Sebaliknya, kalau informasi yang diperoleh sedikit. Atau
malah informasi salah (hoaks). Tentu pahamnya bisa buruk kualitasnya, bahkan
salah.
Begitu juga tampaknya kalau
seseorang ingin memahami Qur’an. Tidak bisa hanya dikumpulkan ayat-ayatnya saja
dengan menghilangkan variabel proses pengolahan ayat-ayat itu dengan akal.
Tidak bisa untuk paham jika ayat-ayat Qur’an, itu hanya dihafal saja misalnya.
Atau hanya dikutip sepotong, atau hanya satu ayat saja. Apalagi keluar dari
konteksnya. Baik konteks masa lalu, maupun konteks masa kininya. Sangat rawan
salah paham kalau begini!
Tentu saja, semakin banyak sudut
pandang atau pendekatan ilmu yang digunakan untuk proses memahami Qur’an, itu
akan menghasilkan pemahaman yang tidak hanya berkualitas. Tetapi juga indah dan
sangat menarik.
Dalam Al Qur’an, yang menggunakan
kata al-fahm, ini hanya terulang sekali saja. Yaitu pada QS.21:79. Itu
pun sudah derivasinya. Yakni kata kerja fahhamnaa. Mengikuti bentuk fa’’ala
(ganda ‘ain fi’il-nya). Berarti memahamkan. Atau memberi kepahaman
kepada pihak lain. Saya kutipkan juga ayat sebelumnya, supaya mendapatkan
gambarannya lebih utuh.
QS. Al-Anbiya’[21]: 78-79
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ
إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا
لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ
78. Dan (ingatlah kisah) Daud dan
Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena
tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Adalah Kami
menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.
فَفَهَّمْنَاهَا
سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ
يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
79. Maka KAMI MEMBERIKAN KEPAHAMAN
KEPADA SULAIMAN tentang masalah itu. Dan kepada masing-masing mereka telah Kami
berikan hikmah dan ilmu. Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung,
semua bertasbih bersama Daud. Kami-lah yang melakukannya.
Lagi-lagi Allah menggunakan kata
‘Kami’ untuk memahamkan Nabi Sulaiman itu. Yaitu Allah melibatkan pihak lain
dalam proses pemahaman itu. Seperti realitas masalah tanaman tersebut,
orang-orang dan kondisi yang menyertainya. Termasuk Nabi Sulaiman itu sendiri
yang aktif menggunakan akal kecerdasannya dan semua perangkat indranya yang
membuat beliau paham. Sehingga beliau menjadi pribadi yang solutif.
Kemudian kisah itu diwahyukan
kepada Nabi menjadi teks-teks Al Qur’an. Tentunya supaya menjadi teladan yang baik,
terutama bagi kita sekarang. Nah, untuk bisa tahu dan apalagi mampu memahami,
tentu lantas kita mesti berupaya memahami teks-teks Qur’an itu sendiri.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishowaab....
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar