—Saiful Islam*—
“Menurut saya, pendapat itu lemah.
Redaksi QS.73:4 di atas, itu tartiilan. Bukan tajdwiidan…”
Terkait tema QUR’AN INSPIRASI
LITERASI, kali ini kita akan membahas tentang Ilmu Tajwid. Ini adalah ilmu cara
membaca Qur’an, terutama terkait dengan huruf-hurufnya. Makhoorijul huruuf,
istilahnya. Di masa kanak-kanak yang indah, insya Allah kita semua belajar ilmu
ini. Isinya seperti hukum ikhfa’, idzhar, iqlab, qolqolah, idghom bigunnah, mad
thobi’i, dan lain seterusnya. Sampai ada yang mengatakan, “Baca Fatihah, itu harus
digurukan. Kalau tidak, salatnya bisa tidak sah.”
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
membaca Qur’an harus dengan Ilmu Tajwid, itu sudah sejak bersamaan dengan
turunnya ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Jadi menurut pendapat ini, Ilmu Tajwid
itu sudah ada sejak abad ke-7 M. Dianggap Nabi dan para Sahabatnya selalu
dengan Ilmu Tajwid ketika membaca, menyampaikan, mengajar, dan mengkaji Qur’an.
Pendapat ini hanya berdasar pada QS.73:4.
QS. Al-Muzammil[73]: 4
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Atau lebih dari seperdua itu. Dan KAJILAH
AL QUR’AN ITU DENGAN PERLAHAN-LAHAN.
Menurut saya, pendapat itu lemah.
Redaksi QS.73:4 di atas, itu tartiilan. Bukan tajdwiidan. Kalau
kita mau melacak kata tajwid dari jawada yang terkait dengan membaca,
itu tidak ada. Yang ada hanya derivasinya, yaitu al-juudiy (QS.11:44)
dan al-jiyaad (QS.38:31) yang keduanya tidak terkait dengan membaca.
Di depan sudah diceritakan panjang
lebar tentang makna kata rottala dan derivasinya serta contoh-contohnya
dalam ucapan orang Arab dan ayat-ayat Qur’an sendiri. Silakan baca lagi MAKSUD
MEMBACA TARTIL. Di sini akan dikutip sekilas saja. Baik dari Al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an maupun dari Lisan al-Arab.
Al-tarttil fi al-qiroo’ah atau tartil
dalam bacaan, maksudnya adalah perlahan-lahan dalam bacaan itu dan
menjelaskannya dengan benar. Kalimat warottil al-Qur’aan tartiilan
(QS.72:4), menurut Abu al-Abbas yang dimaksud adalah penyelidikan, penjelasan,
dan penegasan (pengokohan) dalam membaca Qur’an.
Sedangkan menurut Mujahid, kata tartiil
pada QS.72:4 itu berarti secara perlahan-lahan. Kemudian ia berkata, “Wa
rottaltuhu tartiilan, sebagiannya menjadi jejak bagi sebagian yang lain.”
Yakni bagian yang satu terkait dengan bagian yang lain.
Adapun menurut Ibnu Abbas, maksud
QS.72:4, itu adalah “Jelaskanlah Qur’an itu dengan sejelas-jelasnya.”
Jadi secara bahasa, tartil itu
lebih kepada arti kajian kalau terjemah Bahasa Indonesia. Atau diskusi. Yakni
menjelaskan makna-makna dan maksud-maksud Al Qur’an itu. Bukan kepada nada,
panjang pendek, atau Tajwid secara umum. Jelas tartil di ayat itu, bukan Ilmu
Tajwid. Kenapa? Karena Ilmu Tajwid, itu tidak ada ketika Nabi dan para
Sahabatnya hidup. Mari kita lihat sejarahnya.
Ada yang mengatakan bahwa cikal
bakal Ilmu Tajwid, itu bermula sejak masa Utsman bin Affan (w. 656 M). Yaitu
ketika adanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniy itu diberi titik-titik dan
baris-baris untuk setiap huruf dan perkataannya. Nama Abu Aswad al-Du’ali (w.
670 M) di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi
(w. 789 M) pada masa Bani Abbasiyah yang menjadi ketua aktivitas tersebut.
Semakin ke belakangan, semakin disempurnakan.
Sementara Nabi wafat tahun 632 M.
Jadi gerakan memberi titik dan baris, itu paling awal baru dilakukan setelah
sekitar 38 tahun tahun wafatnya Nabi. Yang jelas, ketika Nabi masih hidup
gerakan tersebut belum dilakukan. Karenanya tidak bisa dipastikan bahwa
pembacaan dengan tajwid itu bersamaan dengan turunnya Qur’an. Dan pastilah,
Nabi dan para Sahabatnya, itu tidak membaca Qur’an dengan Ilmu Tajwid sebagai
disiplin ilmu.
Ada pula yang mengatakan bahwa
penyusun Ilmu Tajwid itu, adalah para imam qiraat. Yakni sekitar abad ke-3 dan
4 Hijrah. Yakni sekitar tahun 200-an dan 300-an Hijrah. Atau 200 tahun setelah
wafatnya Nabi.
Yang jelas ada seorang tokoh yang
dikenal sebagai bapak Ilmu Tajwid. Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu
Al-Khayr Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf al-Dimasyqiy.
Terkenal dengan nama Abu al-Jazariy. Lahir di Damaskus, Suriah (waktu itu Syam)
pada tahun 751 H/ 1350 M. Dan wafat di Iran (dulu Persia) pada tahun 833 H/ 1432
M.
Di antara belasan karyanya, Abu
al-Jazariy menulis satu kitab yang bernilai dalam dunia ilmu al-Qur’an dan
al-Qira’at. Judulnya al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr. Buku itu dianggap
paling sempurna di antara buku-bukunya yang lain dalam membahas Ilmu Tajwid dan
Qira’at. Buku ini menjadi semacam kiblat kajian Ilmu Qira’at sejak dulu sampai
sekarang. Tak terkecuali Universitas Al-Azhar dan ma’had-ma’had Qira’at di
seluruh Mesir.
Jadi sudah sangat belakangan. Yakni
sekitar 800 tahun setelah wafatnya Nabi SAW.
Menurut saya, selama Nabi dan para
Sahabatnya berinteraksi dengan Qur’an, Al Qur’an itu tidak dibaca dengan lagu.
Juga tanpa dengan Ilmu Tajwid. Karena lagu, itu hanya dampak dari adanya Ilmu
Tajwid. Sedangkan Ilmu Tajwid sendiri, itu jelas belum ada ketika Nabi dan para
Sahabatnya hidup.
Meski begitu, Nabi pasti membaca
Qur’an persis seperti Qur’an yang sekarang ini ada. Yaitu pasti benar
huruf-hurufnya. Jelas antara dal dengan dzal, zho dengan za,
kho’ dengan gho, ‘ayn dengan hamzah dan lain
seterusnya. Sehingga maknanya pasti tidak tertukar atau terbalik. Dan apalagi
salah makna.
Tampaknya, Nabi tidak membutuhkan
Ilmu Tajwid, itu karena beliau memang asli orang Arab. Qur’an diturunkan dengan
Bahasa Arab. Audiens awal Qur’an, adalah memang orang-orang Arab. Jadi sudah
sama-sama mengerti maknanya. Sekalipun mungkin ada orang Arab yang lahn
(gagap). Sehingga Ilmu Tajwid, itu ulama perlu menyusun memang untuk audiens
non Arab. Termasuk Indonesia. Supaya tidak ‘dianggap’ salah makna.
Jadi, Ilmu Tajwid pun disusun, itu
tujuannya adalah pemahaman makna.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab…
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
Beraksi ala Pemenang, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar