Kamis, 11 Juni 2020

MENTADABBURI AL QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Tidak mau memahami Qur’an, bisa-bisa dimarahi Allah…”

Lagi. Sebuah kata di dalam Al Qur’an yang menarik untuk dieksplor terkait tema QUR’AN INSPIRASI LITERASI, ini adalah tadabbur. Tampaknya, kita sudah sering mendengar istilah itu: Tadabbur Qur’an.

Di Qur’an memang ada kalimat berikut: “Mengapa mereka tidak mentadabburi Al Qur’an?” Tentu saja, maksudnya adalah perintah atau sangat dianjurkan mentadabburi Qur’an. Bukan untuk Allah. Tapi untuk kemanfaatan manusia sendiri.

QS. Muhammad[47]: 24
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak MEMPERHATIKAN (YATADABBARUUNA) AL QUR’AN ataukah hati mereka terkunci?

Mengutip Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, kata yatadabbaruuna, itu hanya terulang dua kali. Yaitu selain QS.47:24 di atas, juga ada pada QS.4:82.

QS. Al-Nisa’[4]: 82
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak MENTADABBURI AL QUR’AN? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

Sedangkan kata yaddabbaru, itu juga hanya terulang dua kali. Yaitu pada QS.23:68 dan QS.38:29.

QS. Al-Mu’minun[23]: 68
أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ
Maka apakah mereka tidak MEMPERHATIKAN PERKATAAN (KAMI), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?

Asal katanya adalah dari dabaro. Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, dubur-nya sesuatu itu adalah lawan kata al-qubl (depan). Yakni belakang.

Terkadang dibaca dubur. Bisa juga dubr. Itu bentuk tunggalnya (singular atau murfad). Adapun bentuk pluralnya (jama’) yaitu adbaar. Misalnya pada QS.8:15-16; QS.8:50; QS.50:40; QS.74:33; QS.15:66; QS.6:45; QS.74:23; dan seterusnya.

Ada Hadis bagus muttafaq ‘alayh yang berbunyi begini. “Laa taqootho’uu WALAA TADAABARUU wa kuunuu ‘ibaadallooh ikhwaanan: Janganlah kalian saling memutus tali silaturahim, JANGANLAH KALIAN SALING MEMBELAKANGI (MELENGOS). Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Penting juga disebutkan di sini. Bahwa al-tadbiir, itu adalah al-tafkiir fii dubur al-umuur. Yakni memikirkan sesuatu setelah diketahui data-datanya.

Sedangkan Lisan al-Arab menceritakan lebih gamblang lagi soal tadabbur itu yang terkait dengan kepahaman. Begini. Dubur-nya setiap sesuatu itu adalah ujungnya atau akhirnya. Yang terakhir.

Jika dikatakan “Dabbaro al-amr” dan “Tadabbarohu,” maka itu artinya adalah melihat akibat atau dampaknya. Alias mempertimbangkan sebab akibatnya. Jarir mengatakan, “Wa laa ta’rifuuna al-amr illaa tadabburon: Kalian tidak akan mengetahui suatu persoalan kecuali dengan cara mentadabburinya.”

Istilah “Al-tadbiir fii al-amr,” itu berarti melihat sebab akibatnya. Sedangkan al-tadabbur, artinya adalah memikir-mikirkan (al-tafakkur fiih).

Dijumpai pula istilah dabbaro al-hadiits. Maksudnya adalah meriwayatkan atau menceritakan sebuah berita dari seseorang. Terutama ketika yang memiliki berita telah wafat.

Ini menurut Ibnu Sidah. Jika dikatakan, “Dabaro al-kitaab yadburuh,” maka itu artinya adalah seseorang telah menulis sebuah buku.

Jadi, yang namanya tadabbur, itu pasti selalu terkait dengan akal, ilmu pengetahuan, dan pemahaman. Yakni mempertimbangkan sebab akibat dari sebuah masalah setelah dikumpulkan data-datanya. Lantas dibuatlah kesimpulannya. Tentu semua ini melibatkan proses pemikiran. Tidak bisa tidak. Yaitu mengumpulan data-data terkait tema atau masalah tertentu. Kemudian dilakukan analisa terhadap data-data yang telah terkumpul itu. Hasilnya adalah kesimpulan.

Maka tadabbur Al Qur’an, itu begini. Ada permasalahan untuk tema atau topik tertentu. Dicari dan dikumpulkanlah ayat-ayat yang membahas tentang tema tersebut. Semakin banyak ayat yang berhasil terkumpul, semakin jelas juga gambaran yang diperoleh. Ayat-ayat itu kemudian dianalisis dengan akal pikiran. Barulah kemudian dibuat kesimpulan. Dari semua proses tersebut, buahnya adalah kepahaman. Dari kepahaman berbuah sikap dan tindakan.

Perhatikan QS.47:24 di atas: “Maka apakah mereka tidak MENTADABBURI AL QUR’AN, ataukah hati mereka terkunci?” Jadi tadabbur Al Qur’an, itu dikaitkan dengan hati yang terkunci. Seakan-akan orang yang tidak mau memahami Qur’an, itu hatinya telah terkunci. Pemahaman itu tidak bisa masuk ke dalam pintu hatinya. Quluub—arti sekilasnya adalah hati, itu memang berfungsi untuk memahami. Misalnya disebut pada QS.7:179.

QS. Al-A’raf[7]: 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. MEREKA MEMPUNYAI HATI (QULUUB), TETAPI TIDAK DIPERGUNAKANNYA UNTUK MEMAHAMI (AYAT-AYAT ALLAH). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.

Jadi Al Qur’an itu harus ditadabburi. Maka membaca Qur’an itu wajib berupaya untuk memahaminya dengan segenap akal kecerdasan (quluub). Inilah perintah Allah. Saya termasuk yang khawatir Al Qur’an tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Jangan-jangan terjadi penyelewengan fungsi Al Qur’an.

Sekaligus menasehati saudara-saudara pembaca, untuk berhati-hati ketika berprinsip bahwa membaca Al Qur’an tidak untuk dipahami. Atau membaca Al Qur’an dengan tujuan selain memperoleh pemahaman. Kalau seseorang membaca Al Qur’an tidak untuk memahaminya, berarti saat membaca itu, ia menonaktifkan quluub-nya. Padahal hati yang tak digunakan untuk memahami Al Qur’an, itu jelas dimarahi Allah: laqod dzaro’naa li jahannam…

Begitu juga kalau kita memperhatikan QS.4:82 di atas: “Apakah mereka tidak MENTADABBURI AL QUR’AN? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” Pada ayat ini, tadabbur Al Qur’an, itu dikaitkan dengan ditemukannya pertentangan yang banyak.

Pastinya, seseorang yang berusaha mencari pertentangan Al Qur’an, itu membaca beberapa ayat. Tidak satu ayat. Dibandingkan. Dipertimbangkan. Dipikirkan. Dipahami. Kemudian barulah dibuat kesimpulan. Seakan-akan Qur’an, itu memang menantang agar ia diselidiki. Dibuktikan, benarkah ayat-ayatnya saling bertentangan. Caranya? Tadabbur!

Mustahil, orang bisa menentukan bahwa ayat ini bertentangan dengan ayat itu atau tidak bertentangan, tanpa melakukan pengumpulan beberapa ayat dan tanpa dianalisis. Apalagi orang yang dari awal tujuan membacanya sudah salah. Misalnya untuk balapan hatam, untuk pamer kemerduan dan lengkingan suara, dan seterusnya. Pasti orang seperti itu tidak melakukan proses tadabbur Qur’an.

QS. Shad[38]: 29
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka MEMPERHATIKAN AYAT-AYAT-NYA dan supaya MENDAPAT PELAJARAN orang-orang yang MEMPUNYAI PIKIRAN.

Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...