—Saiful Islam*—
“Tidak mau memahami Qur’an,
bisa-bisa dimarahi Allah…”
Lagi. Sebuah kata di dalam Al
Qur’an yang menarik untuk dieksplor terkait tema QUR’AN INSPIRASI LITERASI, ini
adalah tadabbur. Tampaknya, kita sudah sering mendengar istilah itu:
Tadabbur Qur’an.
Di Qur’an memang ada kalimat
berikut: “Mengapa mereka tidak mentadabburi Al Qur’an?” Tentu saja,
maksudnya adalah perintah atau sangat dianjurkan mentadabburi Qur’an. Bukan
untuk Allah. Tapi untuk kemanfaatan manusia sendiri.
QS. Muhammad[47]: 24
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak MEMPERHATIKAN
(YATADABBARUUNA) AL QUR’AN ataukah hati mereka terkunci?
Mengutip Al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfazh al-Qur’an, kata yatadabbaruuna, itu hanya terulang dua
kali. Yaitu selain QS.47:24 di atas, juga ada pada QS.4:82.
QS. Al-Nisa’[4]: 82
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak
MENTADABBURI AL QUR’AN? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Sedangkan kata yaddabbaru,
itu juga hanya terulang dua kali. Yaitu pada QS.23:68 dan QS.38:29.
QS. Al-Mu’minun[23]: 68
أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا
الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ
Maka apakah mereka tidak MEMPERHATIKAN
PERKATAAN (KAMI), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah
datang kepada nenek moyang mereka dahulu?
Asal katanya adalah dari dabaro.
Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, dubur-nya sesuatu itu
adalah lawan kata al-qubl (depan). Yakni belakang.
Terkadang dibaca dubur. Bisa
juga dubr. Itu bentuk tunggalnya (singular atau murfad).
Adapun bentuk pluralnya (jama’) yaitu adbaar. Misalnya pada QS.8:15-16;
QS.8:50; QS.50:40; QS.74:33; QS.15:66; QS.6:45; QS.74:23; dan seterusnya.
Ada Hadis bagus muttafaq ‘alayh
yang berbunyi begini. “Laa taqootho’uu WALAA TADAABARUU wa kuunuu
‘ibaadallooh ikhwaanan: Janganlah kalian saling memutus tali silaturahim,
JANGANLAH KALIAN SALING MEMBELAKANGI (MELENGOS). Jadilah hamba-hamba
Allah yang bersaudara.”
Penting juga disebutkan di sini.
Bahwa al-tadbiir, itu adalah al-tafkiir fii dubur al-umuur. Yakni
memikirkan sesuatu setelah diketahui data-datanya.
Sedangkan Lisan al-Arab
menceritakan lebih gamblang lagi soal tadabbur itu yang terkait dengan
kepahaman. Begini. Dubur-nya setiap sesuatu itu adalah ujungnya atau
akhirnya. Yang terakhir.
Jika dikatakan “Dabbaro al-amr”
dan “Tadabbarohu,” maka itu artinya adalah melihat akibat atau
dampaknya. Alias mempertimbangkan sebab akibatnya. Jarir mengatakan, “Wa laa
ta’rifuuna al-amr illaa tadabburon: Kalian tidak akan mengetahui suatu
persoalan kecuali dengan cara mentadabburinya.”
Istilah “Al-tadbiir fii al-amr,”
itu berarti melihat sebab akibatnya. Sedangkan al-tadabbur, artinya
adalah memikir-mikirkan (al-tafakkur fiih).
Dijumpai pula istilah dabbaro
al-hadiits. Maksudnya adalah meriwayatkan atau menceritakan sebuah berita
dari seseorang. Terutama ketika yang memiliki berita telah wafat.
Ini menurut Ibnu Sidah. Jika
dikatakan, “Dabaro al-kitaab yadburuh,” maka itu artinya adalah seseorang
telah menulis sebuah buku.
Jadi, yang namanya tadabbur, itu
pasti selalu terkait dengan akal, ilmu pengetahuan, dan pemahaman. Yakni
mempertimbangkan sebab akibat dari sebuah masalah setelah dikumpulkan
data-datanya. Lantas dibuatlah kesimpulannya. Tentu semua ini melibatkan proses
pemikiran. Tidak bisa tidak. Yaitu mengumpulan data-data terkait tema atau
masalah tertentu. Kemudian dilakukan analisa terhadap data-data yang telah
terkumpul itu. Hasilnya adalah kesimpulan.
Maka tadabbur Al Qur’an, itu
begini. Ada permasalahan untuk tema atau topik tertentu. Dicari dan
dikumpulkanlah ayat-ayat yang membahas tentang tema tersebut. Semakin banyak
ayat yang berhasil terkumpul, semakin jelas juga gambaran yang diperoleh.
Ayat-ayat itu kemudian dianalisis dengan akal pikiran. Barulah kemudian dibuat
kesimpulan. Dari semua proses tersebut, buahnya adalah kepahaman. Dari
kepahaman berbuah sikap dan tindakan.
Perhatikan QS.47:24 di atas: “Maka
apakah mereka tidak MENTADABBURI AL QUR’AN, ataukah hati mereka terkunci?”
Jadi tadabbur Al Qur’an, itu dikaitkan dengan hati yang terkunci. Seakan-akan
orang yang tidak mau memahami Qur’an, itu hatinya telah terkunci. Pemahaman itu
tidak bisa masuk ke dalam pintu hatinya. Quluub—arti sekilasnya adalah
hati, itu memang berfungsi untuk memahami. Misalnya disebut pada QS.7:179.
QS. Al-A’raf[7]: 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. MEREKA MEMPUNYAI HATI (QULUUB),
TETAPI TIDAK DIPERGUNAKANNYA UNTUK MEMAHAMI (AYAT-AYAT ALLAH). Mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Jadi Al Qur’an itu harus
ditadabburi. Maka membaca Qur’an itu wajib berupaya untuk memahaminya dengan
segenap akal kecerdasan (quluub). Inilah perintah Allah. Saya termasuk
yang khawatir Al Qur’an tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Jangan-jangan
terjadi penyelewengan fungsi Al Qur’an.
Sekaligus menasehati
saudara-saudara pembaca, untuk berhati-hati ketika berprinsip bahwa membaca Al
Qur’an tidak untuk dipahami. Atau membaca Al Qur’an dengan tujuan selain
memperoleh pemahaman. Kalau seseorang membaca Al Qur’an tidak untuk
memahaminya, berarti saat membaca itu, ia menonaktifkan quluub-nya.
Padahal hati yang tak digunakan untuk memahami Al Qur’an, itu jelas dimarahi
Allah: laqod dzaro’naa li jahannam…
Begitu juga kalau kita
memperhatikan QS.4:82 di atas: “Apakah mereka tidak MENTADABBURI AL QUR’AN?
Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” Pada ayat ini, tadabbur Al Qur’an,
itu dikaitkan dengan ditemukannya pertentangan yang banyak.
Pastinya, seseorang yang berusaha
mencari pertentangan Al Qur’an, itu membaca beberapa ayat. Tidak satu ayat.
Dibandingkan. Dipertimbangkan. Dipikirkan. Dipahami. Kemudian barulah dibuat
kesimpulan. Seakan-akan Qur’an, itu memang menantang agar ia diselidiki.
Dibuktikan, benarkah ayat-ayatnya saling bertentangan. Caranya? Tadabbur!
Mustahil, orang bisa menentukan
bahwa ayat ini bertentangan dengan ayat itu atau tidak bertentangan, tanpa
melakukan pengumpulan beberapa ayat dan tanpa dianalisis. Apalagi orang yang
dari awal tujuan membacanya sudah salah. Misalnya untuk balapan hatam, untuk
pamer kemerduan dan lengkingan suara, dan seterusnya. Pasti orang seperti itu
tidak melakukan proses tadabbur Qur’an.
QS. Shad[38]: 29
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab (Al Qur’an)
yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka MEMPERHATIKAN
AYAT-AYAT-NYA dan supaya MENDAPAT PELAJARAN orang-orang yang MEMPUNYAI PIKIRAN.
Walloohu a’lam bishshowaab…
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
Beraksi ala Pemenang, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar