Selasa, 09 Juni 2020

GAGAL FOKUS MEMBACA QUR’AN

—Saiful Islam—

 “Bilang membaca, tapi sama sekali tidak mengerti, itu bukan membaca. Tapi melamun. Atau merapal mantra…”

 Seorang kawan dengan berdasar QS.35:29-30 dan QS.73:20 berkesimpulan bahwa pertama, membaca Qur’an itu tanpa syarat mengerti. Kedua, itu sebagai jawaban pernyataan saya bahwa tidak ada satu ayat pun yang menyuruh membaca Qur’an sebagai ajang untuk berburu pahala.

 Baiklah, saya tanggapi poin pertama dulu. Sebenarnya sudah bisa dipahami. Bahwa yang namanya membaca, itu pasti selalu terkait dengan informasi alias pengetahuan. Ilmu. Dari ilmu berbuah pemahaman. Dan dari pemahaman menghasilkan perbuatan.

 Sudah otomatis, yang namanya membaca itu pasti melibatkan akal dan hati untuk memproses informasi itu. Dengan kata lain, yang namanya membaca itu harus dimengerti. Kecuali tentu saja, anak kecil yang baru belajar membaca—mengenal huruf-huruf dan kata-kata. Hanya anak kecil yang identik dengan membaca tanpa syarat mengerti. Atau mungkin cara beragama kita, ini masih seperti anak kecil.

 Pada QS.35:29-30 dan QS.73:20, memang tidak tertulis secara teks ‘bacalah untuk dimengerti’ atau ‘bacalah dengan syarat dimengerti’. Tetapi secara konteks, itu sudah bisa dipahami bahwa membaca itu ya memang harus dimengerti. Bahkan anak kecil yang baru belajar membaca huruf pun, itu tujuannya nanti kalau sudah pandai membaca adalah supaya mengerti.

 Kemudian. Memahami Qur’an, itu harus komprehensif. Harus melibatkan ayat-ayat lain. Membaca tujuannya adalah untuk dimengerti, itu misalnya QS.95:1-5. Setelah Allah memerintahkan untuk membaca, lantas disebut pada ayat 4 dan 5: ‘Yang mengajar manusia dengan pena (baca tulis), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.’

 Rasul pun, itu diutus untuk mengajar Qur’an. Tentu bukan mengajar Tajwid, karena Ilmu Tajwid saat itu belum ada. Yang namanya mengajar, itu transfer pengetahuan. Supaya dengan Qur’an, itu umatnya menjadi mendapat petunjuk. Meskipun sebelum ada Qur’an, mereka dalam kesesatan. Mendapat petunjuk, itu maksudnya betul pengertian dan pemahamannya. Sesat, itu maksudnya salah pengertian dan pemahamannya. Jadi tergantung mengertinya. Ada yang mengertinya benar, disebut mendapat petunjuk. Sebaliknya, ada yang mengertinya itu salah. Disebut sesat.

 QS. Ali Imran[3]: 164

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, YANG MEMBACAKAN KEPADA MEREKA AYAT-AYAT ALLAH, membersihkan (jiwa) mereka, dan MENGAJARKAN KEPADA MEREKA AL-KITAB (QUR’AN) dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya SEBELUM ITU, mereka adalah benar-benar DALAM KESESATAN YANG NYATA.

 Dari membaca itu, manusia menjadi tahu. Dari pengetahuan, itu manusia menjadi mendapat petunjuk. Mana yang benar, mana yang salah. Mana yang harus dilakukan, dan mana yang harus ditinggalkan. Allah sendiri pun menyebut Qur’an, itu salah satunya sebagai petunjuk. Tentu saja, petunjuk itu diperoleh dengan proses olah pikir dan olah rasa. Barulah bisa mengerti dan paham. Lantas bisa membedakan antara yang benar dan salah. Antara yang baik dan yang buruk.

 QS. Al-Baqarah[2]: 2

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; sebagai PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa.

 Yang namanya petunjuk (hudan), itu memang harus dimengerti. Supaya petunjuk itu bermanfaat. Tanpa dimengerti, petunjuk itu tidak akan bermanfaat. Contoh orang Madura yang sama sekali tidak bisa bahasa Jawa, memberi petunjuk kepada orang Jawa yang sama sekali tidak mengerti bahasa Madura. Pastilah petunjuk tersebut tidak ada manfaatnya.

 QS. Al-Nahl[16]: 89

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Qur’an) untuk MENJELASKAN SEGALA SESUATU dan petunjuk serta rahmat dan KABAR GEMBIRA bagi orang-orang yang berserah diri.

 Jadi, Qur’an itu juga sebagai penjelas segala sesuatu. Yang namanya penjelasan (tibyaanan li kull syay’), itu ya memang harus dimengerti. Dipahami. Melibatkan proses olah pikir dan olah rasa. Sudah dijelaskan, tetapi tidak mau dimengerti, maka otomatis penjelasan tersebut menjadi sia-sia. Karena kebermanfaatan sebuah penjelasan, itu paling intinya ya memang di maknanya itu.

 Selain itu, Qur’an itu untuk kabar gembira. Tentu saja, untuk bisa tahu bahwa sebuah informasi itu mengandung kabar gembira, maka informasi itu harus dimengerti. Harus dipahami. Harus mengerti arti dan maknanya. Orang tidak akan bisa paham bahwa sebuah informasi mengandung kabar gembira, kecuali dengan mengerti maknanya. Sehingga ketika Qur’an menyebut dirinya sebagai busyroo, maka syarat utamanya adalah harus dimengerti.

 Sebagaimana QS.15:9, Qur’an itu juga disebut sebagai peringatan (al-dzikr). Namanya peringatan itu memang harus dimengerti. Untuk bisa mengerti, itu selalu melibatkan proses olah pikir dan olah rasa. Makanya oleh QS.2:269, hanya orang yang mengunakan akalnya saja yang bisa mengambil pelajaran dari al-dzikr itu. Siapa pun, tanpa menggunakan akal kecerdasannya, tidak akan bisa mengambil pelajaran dari Qur’an.

 Bahkan jelas sekali pada ayat di bawah ini, Qur’an itu memang untuk dipikirkan. Supaya dimengerti.

 QS. Al-Nahl[16]: 44

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu MENERANGKAN pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan SUPAYA MEREKA MEMIKIRKAN.

 Nabi Muhammad membacakan Qur’an, itu juga supaya menjadi peringatan (hal yang ditakuti) untuk umatnya. Maka umatnya, termasuk kita, itu wajib mengerti. Kalau tidak dimengerti, orang bisa bersuka ria membaca Qur’an setelah ngopi dengan pamer merdunya suara meliuk-liuk dan melengking, padahal yang dibaca adalah ayat azab. Padahal yang sedang dibacanya ayat neraka dan ancaman.

 QS. Al-An’am[6]: 19

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku SUPAYA DENGAN QUR’AN ITU, AKU MEMBERI PERINGATAN KEPADAMU DAN KEPADA ORANG-ORANG YANG SAMPAI AL-QUR’AN (kepadanya).

 Rasul ingin Qur’an ini menjadi peringatan yang di dalamnya ada berita tentang janji dan ancaman, tentang neraka. Terus kita bilang, “Membaca Qur’an, itu tidak harus mengerti.” Itu sama saja kita mencuekin Rasul. Memposisikan Qur’an tidak sebagaimana mestinya. Gagal fokus membaca Qur’an.

 Sehingga. Kata ‘membaca’ dalam kalimat, ‘Innalladziina yatluuna kitaaballooh: sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah…,’ pada QS.35:29, itu sudah otomatis harus dengan usaha untuk mengerti dan memahaminya. Bukan tanpa syarat mengerti. Pemahaman harus dimengerti, itu sudah masuk (include) di dalamnya.

 Kalau tak mau mengerti, ya tidak perlu menggunakan akal pikiran dan perasaan. Dan itu tidak layak disebut membaca. Komat-kamit tanpa melibatkan proses pemahaman dengan akal pikiran dan perasaan, lebih pas disebut merapal mantra. Mengaku sudah membaca. Setelah ditanya, ternyata tidak mengerti sama sekali apa yang telah dibacanya. Itu bukan membaca. Tapi melamun.

 Walloohu a’lam bishowaab....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...