—Saiful Islam—
“Bilang membaca, tapi sama sekali
tidak mengerti, itu bukan membaca. Tapi melamun. Atau merapal mantra…”
Seorang kawan dengan berdasar
QS.35:29-30 dan QS.73:20 berkesimpulan bahwa pertama, membaca Qur’an itu
tanpa syarat mengerti. Kedua, itu sebagai jawaban pernyataan saya bahwa
tidak ada satu ayat pun yang menyuruh membaca Qur’an sebagai ajang untuk
berburu pahala.
Baiklah, saya tanggapi poin pertama
dulu. Sebenarnya sudah bisa dipahami. Bahwa yang namanya membaca, itu pasti
selalu terkait dengan informasi alias pengetahuan. Ilmu. Dari ilmu berbuah
pemahaman. Dan dari pemahaman menghasilkan perbuatan.
Sudah otomatis, yang namanya
membaca itu pasti melibatkan akal dan hati untuk memproses informasi itu.
Dengan kata lain, yang namanya membaca itu harus dimengerti. Kecuali tentu
saja, anak kecil yang baru belajar membaca—mengenal huruf-huruf dan kata-kata.
Hanya anak kecil yang identik dengan membaca tanpa syarat mengerti. Atau
mungkin cara beragama kita, ini masih seperti anak kecil.
Pada QS.35:29-30 dan QS.73:20,
memang tidak tertulis secara teks ‘bacalah untuk dimengerti’ atau ‘bacalah
dengan syarat dimengerti’. Tetapi secara konteks, itu sudah bisa dipahami bahwa
membaca itu ya memang harus dimengerti. Bahkan anak kecil yang baru belajar
membaca huruf pun, itu tujuannya nanti kalau sudah pandai membaca adalah supaya
mengerti.
Kemudian. Memahami Qur’an, itu
harus komprehensif. Harus melibatkan ayat-ayat lain. Membaca tujuannya adalah
untuk dimengerti, itu misalnya QS.95:1-5. Setelah Allah memerintahkan untuk
membaca, lantas disebut pada ayat 4 dan 5: ‘Yang mengajar manusia dengan
pena (baca tulis), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.’
Rasul pun, itu diutus untuk
mengajar Qur’an. Tentu bukan mengajar Tajwid, karena Ilmu Tajwid saat itu belum
ada. Yang namanya mengajar, itu transfer pengetahuan. Supaya dengan Qur’an, itu
umatnya menjadi mendapat petunjuk. Meskipun sebelum ada Qur’an, mereka dalam
kesesatan. Mendapat petunjuk, itu maksudnya betul pengertian dan pemahamannya.
Sesat, itu maksudnya salah pengertian dan pemahamannya. Jadi tergantung
mengertinya. Ada yang mengertinya benar, disebut mendapat petunjuk. Sebaliknya,
ada yang mengertinya itu salah. Disebut sesat.
QS. Ali Imran[3]: 164
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, YANG MEMBACAKAN KEPADA MEREKA AYAT-AYAT
ALLAH, membersihkan (jiwa) mereka, dan MENGAJARKAN KEPADA MEREKA AL-KITAB
(QUR’AN) dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya SEBELUM ITU, mereka adalah benar-benar
DALAM KESESATAN YANG NYATA.
Dari membaca itu, manusia menjadi
tahu. Dari pengetahuan, itu manusia menjadi mendapat petunjuk. Mana yang benar,
mana yang salah. Mana yang harus dilakukan, dan mana yang harus ditinggalkan.
Allah sendiri pun menyebut Qur’an, itu salah satunya sebagai petunjuk. Tentu
saja, petunjuk itu diperoleh dengan proses olah pikir dan olah rasa. Barulah
bisa mengerti dan paham. Lantas bisa membedakan antara yang benar dan salah.
Antara yang baik dan yang buruk.
QS. Al-Baqarah[2]: 2
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya; sebagai PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa.
Yang namanya petunjuk (hudan),
itu memang harus dimengerti. Supaya petunjuk itu bermanfaat. Tanpa dimengerti,
petunjuk itu tidak akan bermanfaat. Contoh orang Madura yang sama sekali tidak
bisa bahasa Jawa, memberi petunjuk kepada orang Jawa yang sama sekali tidak
mengerti bahasa Madura. Pastilah petunjuk tersebut tidak ada manfaatnya.
QS. Al-Nahl[16]: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Qur’an) untuk MENJELASKAN SEGALA SESUATU dan petunjuk serta rahmat dan KABAR
GEMBIRA bagi orang-orang yang berserah diri.
Jadi, Qur’an itu juga sebagai
penjelas segala sesuatu. Yang namanya penjelasan (tibyaanan li kull syay’),
itu ya memang harus dimengerti. Dipahami. Melibatkan proses olah pikir dan olah
rasa. Sudah dijelaskan, tetapi tidak mau dimengerti, maka otomatis penjelasan
tersebut menjadi sia-sia. Karena kebermanfaatan sebuah penjelasan, itu paling
intinya ya memang di maknanya itu.
Selain itu, Qur’an itu untuk kabar
gembira. Tentu saja, untuk bisa tahu bahwa sebuah informasi itu mengandung
kabar gembira, maka informasi itu harus dimengerti. Harus dipahami. Harus
mengerti arti dan maknanya. Orang tidak akan bisa paham bahwa sebuah informasi
mengandung kabar gembira, kecuali dengan mengerti maknanya. Sehingga ketika
Qur’an menyebut dirinya sebagai busyroo, maka syarat utamanya adalah
harus dimengerti.
Sebagaimana QS.15:9, Qur’an itu
juga disebut sebagai peringatan (al-dzikr). Namanya peringatan itu
memang harus dimengerti. Untuk bisa mengerti, itu selalu melibatkan proses olah
pikir dan olah rasa. Makanya oleh QS.2:269, hanya orang yang mengunakan akalnya
saja yang bisa mengambil pelajaran dari al-dzikr itu. Siapa pun, tanpa
menggunakan akal kecerdasannya, tidak akan bisa mengambil pelajaran dari
Qur’an.
Bahkan jelas sekali pada ayat di
bawah ini, Qur’an itu memang untuk dipikirkan. Supaya dimengerti.
QS. Al-Nahl[16]: 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an,
agar kamu MENERANGKAN pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan SUPAYA MEREKA MEMIKIRKAN.
Nabi Muhammad membacakan Qur’an,
itu juga supaya menjadi peringatan (hal yang ditakuti) untuk umatnya. Maka
umatnya, termasuk kita, itu wajib mengerti. Kalau tidak dimengerti, orang bisa
bersuka ria membaca Qur’an setelah ngopi dengan pamer merdunya suara
meliuk-liuk dan melengking, padahal yang dibaca adalah ayat azab. Padahal yang
sedang dibacanya ayat neraka dan ancaman.
QS. Al-An’am[6]: 19
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا
الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku
SUPAYA DENGAN QUR’AN ITU, AKU MEMBERI PERINGATAN KEPADAMU DAN KEPADA
ORANG-ORANG YANG SAMPAI AL-QUR’AN (kepadanya).
Rasul ingin Qur’an ini menjadi
peringatan yang di dalamnya ada berita tentang janji dan ancaman, tentang
neraka. Terus kita bilang, “Membaca Qur’an, itu tidak harus mengerti.” Itu sama
saja kita mencuekin Rasul. Memposisikan Qur’an tidak sebagaimana
mestinya. Gagal fokus membaca Qur’an.
Sehingga. Kata ‘membaca’ dalam
kalimat, ‘Innalladziina yatluuna kitaaballooh: sesungguhnya orang-orang
yang membaca kitab Allah…,’ pada QS.35:29, itu sudah otomatis harus dengan
usaha untuk mengerti dan memahaminya. Bukan tanpa syarat mengerti. Pemahaman
harus dimengerti, itu sudah masuk (include) di dalamnya.
Kalau tak mau mengerti, ya tidak
perlu menggunakan akal pikiran dan perasaan. Dan itu tidak layak disebut
membaca. Komat-kamit tanpa melibatkan proses pemahaman dengan akal pikiran dan
perasaan, lebih pas disebut merapal mantra. Mengaku sudah membaca. Setelah
ditanya, ternyata tidak mengerti sama sekali apa yang telah dibacanya. Itu
bukan membaca. Tapi melamun.
Walloohu a’lam bishowaab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar