Kamis, 11 Juni 2020

MELAGUKAN QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Melagukan Qur’an, itu bukan sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Al Qur’an…”

Al Qur’an itu memang diturunkan dengan Bahasa Arab. Misalnya disebutkan oleh QS.26:195.

QS. Al-Syu’ara[26]: 195
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dengan BAHASA ARAB yang jelas.

Meski begitu, Al Qur’an bukanlah perkataan penyair (QS.69:41).

QS. Al-Haqqah[69]: 40 – 42
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah perkataan Rasul yang mulia.

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
Dan Al Qur’an itu BUKANLAH PERKATAAN SEORANG PENYAIR. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Dan bukan pula perkataan tukang tenung. SEDIKIT SEKALI kamu MENGAMBIL PELAJARAN daripadanya.

تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Karena Al Qur’an, itu bukan syair. Tidak pernah ada dalam Al Qur’an yang menyebutkan bahwa Qur’an adalah syair. Bahkan Allah menyebut bahwa Nabi pun, itu tidak pantas bersyair (QS.36:69).

QS. Yasin[36]: 69
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
Dan Kami TIDAK MENGAJARKAN SYAIR KEPADANYA (Muhammad). Dan BERSYAIR ITU TIDAKLAH LAYAK BAGINYA. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah PELAJARAN dan kumpulan ayat yang memberi penerangan.

Lalu bagaimana dengan melagukan Al Qur’an? Setelah kita menelusuri kata qoro’a, tartil, tilawah, tadabbur, tadarus, tumlaa, dan seterusnya, itu sebenarnya semua kata itu tidak ada yang bermakna melagukan. Yang dalam bahasa Arab sendiri, melagukan itu biasanya disebut dengan taghannaa. Itu pertama.

Kedua. Begitu juga kalau kita menelusuri kata taghannaa secara spesifik yang berarti melagukan, itu tidak ada. Jadi sebenarnya, menurut Qur’an, melagukan Qur’an itu tidak ada perintahnya. Atau paling tidak, melagukan Qur’an, itu bukan merupakan sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Qur’an.

Bahkan dalam shalat pun, membaca Qur’an itu tidak boleh keras-keras. Tetapi juga tidak boleh berbisik-bisik. Pelan saja yang sekiranya makmum bisa mendengar (QS.7:204).

QS. Al-Isra’[17]: 110
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai Al Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik). Dan JANGANLAH KAMU MENGERASKAN SUARAMU DALAM SHALATMU DAN JANGANLAH PULA MERENDAHKANNYA DAN CARILAH JALAN TENGAH DI ANTARA KEDUA ITU.”

Meski begitu, baik QS.17:204 maupun QS.17:110, itu bukan perintah untuk melagukan Al Qur’an. Tidak pernah ada ayat perintah membaca Qur’an itu untuk dilagukan. Sekali lagi, membaca Qur’an itu tujuannya selalu begini: dikaji perlahan-lahan secara kontinyu, dipahami, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga. Barulah, ada pendapat bahwa perintah melagukan Qur’an itu sekilas berdasar Hadis-Hadis. Yang paling terkenal adalah Hadis riwayat Bukhari nomor 7527 yang berbunyi begini: “Laysa minnaa man lam yataghanna bi al-Qur’aan.” Ada yang menterjemah ‘yataghanna’ di situ dengan melagukan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al Qur’an.”

Padahal, terjemah itu masih debatable. Misalnya seperti disebut oleh Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’aan, yang dimaksud ‘yataghanna’ di situ adalah mencukupkan diri. Yakni bermakna ‘istaghnaa’. Makna merasa cukup ini seperti disebutkan dalam Qur’an misalnya QS.64:6; QS.80:5; QS.92:8; dan QS.96:7. Sehingga terjemah Hadis di atas, itu begini: “Bukan golongan kami, orang yang tidak menjadikan Qur’an sebagai prinsip pertama dan utama dalam hidupnya.”

QS. Al-‘Alaq[96]: 7
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ
Karena dia melihat dirinya SERBA CUKUP (tidak butuh Tuhan).

Melagukan Qur’an, lebih tepatnya disebut seni membaca Qur’an. Jadi lebih kepada seninya. Yakni keindahannya. Merdunya suara, meliuk-liuknya, dan seterusnya. Bahasa Arab-nya lebih dikenal dengan istilah ‘Nagham’.

Beberapa sumber mengutip Ibnu Manzhur menyatakan bahwa Nagham Qur’an, itu terinspirasi dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Atau juga nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Lantas disimpulkan bahwa lagu-lagu dalam Nagham Qur’an, itu berasal dari khazanah tradisional Arab.

Kiblat seni membaca Qur’an, itu adalah Mekah, Madinah, dan Mesir. Seni membaca Qur’an, ini berkembang sejak sekitar awal abad 19 atau 20. Atau antara tahun 1800-an dan 1900-an.

Nagham yang terkenal adalah Bayati. Terdiri dari bayati qoror, bayati nawa, bayati jawab, dan bayati jawabul jawab. Nagham Shaba: shoba asli, shoba jawab, shoba ajami salalim su’ud, shoba ajami salamin nuzul, dan shoba bastanjar. Nagham Hijaz: hijaz asli, hijaz kard, hijaz kard-kurd, hijaz kurd. Nagham Nahawand: nahawand asli dan nahawand usysyaq. Nagham Sikka: sikka asli, sikka ramal, sikka misri dan sikka turki. Nagham Ras: ras asli, ras alan nawa dan ras syabir.

Maka, melagukan Qur’an, itu sebenarnya tidak ada tuntunannya dalam Qur’an. Apalagi kalau sampai melagukan, itu membuat orang gagal fokus berinteraksi dengan Qur’an. Sampai membuat orang sibuk dengan lagu-lagu itu dan lupa pada tujuan utama Qur’an: sebagai petunjuk. Yang mesti dikaji secara tartil. Dipahami terus menerus. Dan diamalkan alias dipraktikkan kandungan maknanya dalam kehidupan sehari-hari secara kontinyu.

Bahkan kalau mengacu QS.26:195 di atas, ayat-ayat Qur’an, itu dibaca layaknya orang berbicara Bahasa Arab sehari-hari. Layaknya kita berbicara kepada sesama secara alamiah, hanya saja dengan Bahasa Arab. Jadi tidak seperti orang membaca puisi yang harus naik panggung dulu. Membacanya dengan nada-nada, mimik, gerakan-gerakan, dan kostum yang penuh ekspresif.

Meski demikian, seni melagukan Qur’an, itu bukan berarti langsung salah. Ia termasuk budaya yang baik buruknya tergantung keadaan, situasi dan tempat (ketupat) tertentu. Bahkan bisa sangat baik kalau melantunkan Qur’an dengan suara indah dan perlahan-lahan itu, membuat orang-orang awam semakin mencintai Qur’an. Semakin tertarik dengan Qur’an. Kemudian memahaminya sampai mempraktikkan kandungan makna-maknanya.

“Asal dari budaya, itu boleh. Sampai ada dalil yang melarang,” begitu kaidah Ushul Fikihnya. Saya sendiri ngefans dengan lagunya Ra’ad al-Kurdi misalnya. Kalau makmum pada imam yang indah bacaannya, hati memang bisa bergetar. Air mata bisa bercucuran.

Jadi karena budaya, nada atau lagu itu tidak harus selalu dan wajib impor, dari Mekah, Madinah, atau Mesir itu. Orang Jawa misalnya, itu boleh-boleh saja melagukan Qur’an dengan langgam Jawa. Atau dengan langgam apa pun. Yang penting, jangan membaca Qur’an itu karena pamer. Atau ingin dipanggil ustadz. Atau karena supaya diberi kopi dan amplop oleh orang awam. Apalagi sambil cengengesan.

Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...