—Saiful Islam*—
“Melagukan Qur’an, itu bukan
sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Al Qur’an…”
Al Qur’an itu memang diturunkan
dengan Bahasa Arab. Misalnya disebutkan oleh QS.26:195.
QS. Al-Syu’ara[26]: 195
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ
مُبِينٍ
Dengan BAHASA ARAB yang jelas.
Meski begitu, Al Qur’an bukanlah
perkataan penyair (QS.69:41).
QS. Al-Haqqah[69]: 40 – 42
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ
كَرِيمٍ
Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah perkataan
Rasul yang mulia.
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ
شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
Dan Al Qur’an itu BUKANLAH
PERKATAAN SEORANG PENYAIR. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Dan bukan pula perkataan tukang
tenung. SEDIKIT SEKALI kamu MENGAMBIL PELAJARAN daripadanya.
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Al Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Karena Al Qur’an, itu bukan syair.
Tidak pernah ada dalam Al Qur’an yang menyebutkan bahwa Qur’an adalah syair.
Bahkan Allah menyebut bahwa Nabi pun, itu tidak pantas bersyair (QS.36:69).
QS. Yasin[36]: 69
وَمَا عَلَّمْنَاهُ
الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
Dan Kami TIDAK MENGAJARKAN SYAIR
KEPADANYA (Muhammad). Dan BERSYAIR ITU TIDAKLAH LAYAK BAGINYA. Al Qur’an itu
tidak lain hanyalah PELAJARAN dan kumpulan ayat yang memberi penerangan.
Lalu bagaimana dengan melagukan Al
Qur’an? Setelah kita menelusuri kata qoro’a, tartil, tilawah, tadabbur,
tadarus, tumlaa, dan seterusnya, itu sebenarnya semua kata itu tidak ada
yang bermakna melagukan. Yang dalam bahasa Arab sendiri, melagukan itu biasanya
disebut dengan taghannaa. Itu pertama.
Kedua. Begitu juga
kalau kita menelusuri kata taghannaa secara spesifik yang berarti
melagukan, itu tidak ada. Jadi sebenarnya, menurut Qur’an, melagukan Qur’an itu
tidak ada perintahnya. Atau paling tidak, melagukan Qur’an, itu bukan merupakan
sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Qur’an.
Bahkan dalam shalat pun, membaca
Qur’an itu tidak boleh keras-keras. Tetapi juga tidak boleh berbisik-bisik.
Pelan saja yang sekiranya makmum bisa mendengar (QS.7:204).
QS. Al-Isra’[17]: 110
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا
تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
Katakanlah: "Serulah Allah
atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai Al
Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik). Dan JANGANLAH KAMU MENGERASKAN SUARAMU
DALAM SHALATMU DAN JANGANLAH PULA MERENDAHKANNYA DAN CARILAH JALAN TENGAH DI
ANTARA KEDUA ITU.”
Meski begitu, baik QS.17:204 maupun
QS.17:110, itu bukan perintah untuk melagukan Al Qur’an. Tidak pernah ada ayat
perintah membaca Qur’an itu untuk dilagukan. Sekali lagi, membaca Qur’an itu
tujuannya selalu begini: dikaji perlahan-lahan secara kontinyu, dipahami, dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga. Barulah, ada
pendapat bahwa perintah melagukan Qur’an itu sekilas berdasar Hadis-Hadis. Yang
paling terkenal adalah Hadis riwayat Bukhari nomor 7527 yang berbunyi begini: “Laysa
minnaa man lam yataghanna bi al-Qur’aan.” Ada yang menterjemah ‘yataghanna’
di situ dengan melagukan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak
melagukan Al Qur’an.”
Padahal, terjemah itu masih debatable.
Misalnya seperti disebut oleh Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’aan, yang
dimaksud ‘yataghanna’ di situ adalah mencukupkan diri. Yakni bermakna ‘istaghnaa’.
Makna merasa cukup ini seperti disebutkan dalam Qur’an misalnya QS.64:6;
QS.80:5; QS.92:8; dan QS.96:7. Sehingga terjemah Hadis di atas, itu begini:
“Bukan golongan kami, orang yang tidak menjadikan Qur’an sebagai prinsip
pertama dan utama dalam hidupnya.”
QS. Al-‘Alaq[96]: 7
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ
Karena dia melihat dirinya SERBA
CUKUP (tidak butuh Tuhan).
Melagukan Qur’an, lebih tepatnya
disebut seni membaca Qur’an. Jadi lebih kepada seninya. Yakni keindahannya.
Merdunya suara, meliuk-liuknya, dan seterusnya. Bahasa Arab-nya lebih dikenal
dengan istilah ‘Nagham’.
Beberapa sumber mengutip Ibnu
Manzhur menyatakan bahwa Nagham Qur’an, itu terinspirasi dari nyanyian nenek
moyang bangsa Arab. Atau juga nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan
perang. Lantas disimpulkan bahwa lagu-lagu dalam Nagham Qur’an, itu berasal
dari khazanah tradisional Arab.
Kiblat seni membaca Qur’an, itu
adalah Mekah, Madinah, dan Mesir. Seni membaca Qur’an, ini berkembang sejak
sekitar awal abad 19 atau 20. Atau antara tahun 1800-an dan 1900-an.
Nagham yang terkenal adalah Bayati.
Terdiri dari bayati qoror, bayati nawa, bayati jawab, dan bayati jawabul jawab.
Nagham Shaba: shoba asli, shoba jawab, shoba ajami salalim su’ud, shoba ajami
salamin nuzul, dan shoba bastanjar. Nagham Hijaz: hijaz asli, hijaz kard, hijaz
kard-kurd, hijaz kurd. Nagham Nahawand: nahawand asli dan nahawand usysyaq.
Nagham Sikka: sikka asli, sikka ramal, sikka misri dan sikka turki. Nagham Ras:
ras asli, ras alan nawa dan ras syabir.
Maka, melagukan Qur’an, itu
sebenarnya tidak ada tuntunannya dalam Qur’an. Apalagi kalau sampai melagukan,
itu membuat orang gagal fokus berinteraksi dengan Qur’an. Sampai membuat orang
sibuk dengan lagu-lagu itu dan lupa pada tujuan utama Qur’an: sebagai petunjuk.
Yang mesti dikaji secara tartil. Dipahami terus menerus. Dan diamalkan alias
dipraktikkan kandungan maknanya dalam kehidupan sehari-hari secara kontinyu.
Bahkan kalau mengacu QS.26:195 di
atas, ayat-ayat Qur’an, itu dibaca layaknya orang berbicara Bahasa Arab
sehari-hari. Layaknya kita berbicara kepada sesama secara alamiah, hanya saja
dengan Bahasa Arab. Jadi tidak seperti orang membaca puisi yang harus naik
panggung dulu. Membacanya dengan nada-nada, mimik, gerakan-gerakan, dan kostum
yang penuh ekspresif.
Meski demikian, seni melagukan
Qur’an, itu bukan berarti langsung salah. Ia termasuk budaya yang baik buruknya
tergantung keadaan, situasi dan tempat (ketupat) tertentu. Bahkan bisa sangat
baik kalau melantunkan Qur’an dengan suara indah dan perlahan-lahan itu,
membuat orang-orang awam semakin mencintai Qur’an. Semakin tertarik dengan
Qur’an. Kemudian memahaminya sampai mempraktikkan kandungan makna-maknanya.
“Asal dari budaya, itu boleh.
Sampai ada dalil yang melarang,” begitu kaidah Ushul Fikihnya. Saya sendiri ngefans
dengan lagunya Ra’ad al-Kurdi misalnya. Kalau makmum pada imam yang indah
bacaannya, hati memang bisa bergetar. Air mata bisa bercucuran.
Jadi karena budaya, nada atau lagu
itu tidak harus selalu dan wajib impor, dari Mekah, Madinah, atau Mesir itu.
Orang Jawa misalnya, itu boleh-boleh saja melagukan Qur’an dengan langgam Jawa.
Atau dengan langgam apa pun. Yang penting, jangan membaca Qur’an itu karena
pamer. Atau ingin dipanggil ustadz. Atau karena supaya diberi kopi dan amplop
oleh orang awam. Apalagi sambil cengengesan.
Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab…
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
Beraksi ala Pemenang, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar