—Saiful Islam—
“Semakin jauh dan semakin
belakangan dari sumber Sejarah, Hadis-Hadis itu bermunculan seperti cendawan di
musim hujan…”
Maka sebenarnya yang diwariskan
oleh Nabi dan para Sahabat beliau, itu adalah Sunnah. Bukan Hadis. Terutama
adalah praktik aktual Nabi dan para Sahabatnya itu. Adapun yang berbentuk teks,
itu hanyalah Qur’an saja. Nabi dan para Sahabatnya menjadikan Qur’an itu
sebagai rujukan teks satu-satunya. Tidak ada rujukan teks Nabi dan para Sahabat
beliau selain Qur’an. Pada masa Nabi dan para Sahabatnya itu, Qur’an
benar-benar menjadi the one and only source. Kiblat utama bagi akal Nabi
dan para Sahabatnya. Semuanya, terutama Nabi sendiri, itu mengikuti Qur’an.
Ada ribuan Sahabat Nabi sesaat
setelah beliau wafat di Madinah pada tahun 13 H itu. Di awal-awal abad pertama
Hijrah, itu tidak ada satu pun Sahabat yang menulis Hadis. Pada saat itu,
penulisan Hadis memang tidak dibutuhkan. Sebab praktik-praktik aktual ibadah
Nabi (Sunnah), itu langsung diteladankan kepada para Sahabat itu. Jadi, semakin
dekat dengan Nabi, baik secara geografis maupun periodik, semakin Hadis-Hadis
itu tidak dibutuhkan.
Semakin jauh dengan Nabi, baik
tempat maupun waktunya, barulah mulai bermunculan Hadis-Hadis sekaligus
sanadnya. Yakni berita tentang Nabi. Atau berita-berita yang disandarkan kepada
Nabi. Maka bisa dipahami kalau Imam Malik (w. 179 H di Madinah), yang lebih
dekat secara tempat dan waktu dengan Nabi, itu lebih mengutamakan praktik
aktual ibadah orang-orang Madinah. Sebaliknya Imam Syafi’i (orang Palestina
yang wafat di Mesir 204 H), yang lebih jauh dengan Nabi, itu lebih mengutamakan
berita-berita tentang Nabi (Hadis).
Yang jelas, semakin jauh dan
semakin belakangan seseorang dengan Nabi—baik tempat maupun waktunya, semakin
orang tersebut membutuhkan Hadis. Seperti ulama-ulama di Iraq, Syiria, Mekah,
dan Mesir. Mengingat daerah kekuasaan Islam yang semakin luas. Sebaliknya,
orang-orang Madinah tidak begitu membutuhkan Hadis. Mereka langsung meniru
gurunya. Atba’ al-Tabi’in (seperti Imam Malik lahir sampai wafat di
Madinah), itu meniru Tabi’in. Begitu juga Tabi’in langsung meniru
Sahabat.
Penulisan Hadis, itu memang tidak
seperti penulisan Qur’an. Penulisan Qur’an itu dijaga dan dikawal langsung oleh
Nabi. Manuskrip Qur’an abad ke-7 M atau abad pertama H, pun ada. Bisa di-search
di Google. Otentitasnya 100 persen terjamin. Maka, Sunnah Nabi yang jelas
otentik, itu hanya yang diceritakan oleh Qur’an. Artinya, kalau mau yang pasti benar-benar
‘qoola Rosuulullooh’, seseorang mestinya mengutip Qur’an.
Penulisan Hadis-Hadis, itu tidak
seperti wartawan yang menulis berita. Kalau wartawan menulis berita, itu terjun
langsung ke lapangan. Ke tempat kejadian perkara (TKP). Saat itu juga.
Sedangkan penulisan Hadis-Hadis, itu baru setelah ratusan tahun setelah sumber
fakta. Belakangan dari sumber Sejarah. Perjalanan Hadis, itu pun tidak mulus.
Tetapi melalui sebuah perjalanan Sejarah yang penuh dengan gejolak kepentingan.
Terutama, tampaknya, adalah kepentingan politik.
Kemunculan kitab Al-Muwaththa’
di akhir abad ke-2 Hijrah, sebagai kitab Hadis pertama dan tertua karya Malik
itu, menunjukkan kepada kita fenomena perjalanan kemunculan Hadis tersebut.
Bahwa semakin mendekati Nabi, Hadis itu semakin tidak ada. Yang ada adalah
praktik aktual (Sunnah). Semakin jauh dan semakin belakangan, Hadis-Hadis mulai
muncul dan semakin merebak. Sebagai bukti, marilah kita bandingkan dua kitab
Hadis: Al-Muwaththa’ Malik dan Shahih Bukhari.
Saya menggunakan terutama karya
dosen Hadis saya dulu, Profesor Zainul Arifin berjudul Studi Kitab Hadis.
Sebagai berikut.
Menurut perhitungan Abu Bakar
al-Abhari, jumlah Hadis Nabi, fatwa Sahabat, dan fatwa Tabi’in yang ada dalam
kitab Al-Muwaththa’ adalah 1720 Hadis (berita). Hadis Musnad sebanyak
600 buah. Hadis Mursal sebanyak 220 buah. Hadis Mauquf sebanyak 613 buah. Dan
Hadis Maqthu’ sebanyak 285 buah.
Kitab Al-Muwaththa’ ini,
memang tidak hanya menghimpun Hadis-Hadis Nabi saja. Tetapi juga pendapat
Sahabat, perkataan Tabi’in, Ijma’ ahl Madinah (kesepakatan terutama
ulama-ulama Madinah), serta pendapat Imam Malik sendiri.
Arnold J. Wensinck menyatakan bahwa
dalam kitab Al-Muwaththa’, itu ada 1612 Hadis. Sedangkan Muhammad Fuad
Abdul Baqi mengatakan bahwa di dalam kitab Al-Muwaththa’ ini berisi 1824
Hadis. Adapun M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa kitab al-Muwaththa’
Hadisnya berjumlah 1804 buah Hadis.
Jadi kalau kita ambil rata-ratanya,
ada sekitar 1700-an (seribu tujuh ratus) Hadis di dalam kitab al-Muwaththa’.
Sekarang Imam Bukhari. Beliau
adalah orang Uzbekistan asli. Lahir dan wafat di Uzbekistan. Kalau acuannya
adalah Madinah, maka untuk sampai Uzbekistan paling tidak melalui tiga negara.
Yaitu Turkmenistan, Iran, dan Iraq. Jadi secara geografis, Imam Bukhari itu
sangat jauh dari sumber Sejarah. Sedangkan secara kronologis, Imam Bukhari itu
wafat tahun 256 H/ 870 M. Jadi ada selisih 243 tahun dengan sumber Sejarah—Nabi
SAW.
Hadis-hadis yang tercantum dalam Sahih
al-Bukhari sebanyak 6397 buah dengan terulang-ulang. Itu belum dihitung
yang mu’allaq (1341 Hadis) dan mutabi’ (384 Hadis). Jadi seluruhnya berjumlah
8122 Hadis di luar yang maqthu’ dan mawquf. Sedang jumlah yang pasti tanpa
berulang, tanpa yang mu’allaq dan mutabi’ adalah 2513 Hadis.
Disebutkan juga bahwa jumlah Hadis
yang berulang-ulang 7397, mu’allaq 1341, mutabi’ 344. Jadi jumlah seluruhnya
adalah 9082 Hadis.
Ambil angka terkecil saja. Yakni
ada sekitar 7397 Hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari. Bandingkan dengan
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab al-Muwaththa’ yang berjumlah 1700-an
Hadis tadi. Maka, Hadis-Hadis Bukhari, itu jelas lebih banyak sekitar 5600-an
Hadis. Maka sudah terbukti. Memang benar bahwa semakin jauh dan semakin
belakangan dari sumber Sejarah, Hadis-Hadis itu bermunculan seperti cendawan di
musim hujan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar