—Saiful Islam*—
“Allah, Qur’an, dan Rasul, itu
sejatinya satu. Dan saling terkait. Tidak bisa lepas antara satu dan yang
lainnya…”
Dari QS.4:105, kita menjadi paham. Bahwa
Rasulullah itu menghukumi perkara-perkara umatnya dengan al-Qur’an. Teks Qur’an
inilah satu-satunya wahyu teologis yang diterima Rasulullah. Tidak ada wahyu
teologis lain selain Qur’an. Bahkan Rasulullah sendiri, itu diperintah untuk
mengikuti Qur’an (QS.45:18). Dan umatnya pun juga diperintah mengikuti Qur’an
itu juga (QS.6:155).
Karenanya, beliau SAW dijuluki
sebagai Rasul—penyampai pesan Tuhan. Sebelum menerima pesan Tuhan, itu beliau
adalah Muhammad. Bukan Rasulullah. Ketika masih Muhammad, tampaknya mayoritas
masyarakat Mekah menyukai Muhammad. Barulah ketika beliau menyampaikan Qur’an,
karena memang diperintah Tuhan untuk menyampaikannya, terjadi ketegangan dan
pertentangan yang serius. Beliau SAW dituduh sebagai dukun, penyihir, gila, sampai
mau dibunuh, itu ya karena Muhammad telah menjadi Rasulullah—menyampaikan Qur’an.
Sehingga ketika Muhammad telah
menjadi Rasulullah, Qur’an-lah yang menjadi segala sumber inspirasi beliau. Di dalam
bersikap, bertindak, sampai memutuskan persoalan masyarakat. Qur’an dengan
Rasulullah, itu satu. Sampai-sampai disebut sendiri oleh QS.69:40 bahwa Qur’an
itu adalah perkataan Rasulullah. Innahuu laqawl Rosuul kariim. Qur’an
bukan perkataan Muhammad. Tetapi Qur’an adalah sabda utusan Allah SAW. Sabda
Rasulullah. Karena Qur’an sejatinya adalah firman Allah.
Kenapa QS.4:80 menyebut bahwa orang
yang taat kepada Rasul, itu otomatis taat kepada Allah? Karena ya Qur’an dan
Rasul itu sejatinya satu. Qur’an adalah firman Allah. Sedangkan Rasul adalah
hanya penyampai firman Allah. Sehingga taat kepada Rasul, itu sejatinya taat
kepada firman Allah. Dan taat kepada firman Allah, itu sejatinya adalah taat
kepada Allah.
Begitu juga. Kenapa QS.3:31
menyebutkan bahwa orang yang mengaku benar-benar mencintai Allah, maka caranya
adalah harus mengikuti Rasul? Lagi-lagi karena Rasul, itu hanya penyampai
firman Allah. Orang yang mencintai Allah, otomatis ia akan mengikuti dan
mentaati ‘perkataan-Nya’. Sedangkan ‘perkataan-Nya’ sendiri, itu ia tidak
berbicara langsung. Tetapi melalui Rasul. Maka menjadi logis, untuk bisa
mentaati ‘perkataan-Nya’ itu, seseorang wajib dan harus hanya mengikuti Rasulullah.
Sekali lagi, Allah, Qur’an, dan
Rasul, itu sejatinya satu. Dan saling terkait. Tidak bisa lepas antara satu dan
yang lainnya. Kalau sudah disebut Rasul, pasti ada kaitannya dengan Allah dan
firman-Nya (Qur’an). Jika disebut Allah, pasti terkait Qur’an dan Rasul
(utusan-Nya). Dan kalau disebut Qur’an, pasti itu adalah firman Allah yang
disampaikan oleh Rasul. Maka jangan sampai ketika menyebut Rasul, seperti qoola
Rosuulullah, qoolan Nabiy dan seterusnya, kemudian lepas dari Qur’an. Dan
tiba-tiba melenceng kepada Hadis-Hadis. Atau kepada sumber-sumber yang tidak
jelas dan tidak bertanggung jawab.
Dari ayat-ayat Qur’an, kita bisa
menemukan contoh kesatuan antara Allah, Qur’an, dan Rasul itu. Misalnya sebagai
berikut.
QS. Al-Nur[24]: 48 & 51
وَإِذَا دُعُوا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
48. Dan apabila mereka dipanggil
kepada ALLAH DAN RASUL-NYA, AGAR RASUL MENGHUKUMI (MENGADILI) DI ANTARA MEREKA,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
51. Sesungguhnya jawaban oran-orang
Mukmin, bila mereka dipanggil kepada ALLAH DAN RASUL-NYA AGAR RASUL MENGHUKUMI
(MENGADILI) DI ANTARA MEREKA ialah ucapan: “Sami’naa wa atho’naa, kami
mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Di awal-awal kedua ayat di atas,
itu sama. Yakni dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya (redaksinya: dipanggil kepada
Rasul-Nya, bukan kepada Muhammad). Jadi dipanggil kepada dua fariabel. Allah
(misalnya X) dan rasul-Nya (misalnya Y). Tetapi kemudian lanjutan ayatnya: AGAR
RASUL MENGHUKUMI… Tiba-tiba berubah menjadi satu fariabel saja. Yakni Y. Ditunjukkan
dengan kata kerja tunggal (Ia atau He), liyahkuma (dhomir huwa).
Itu bukti bahwa Allah, Qur’an, dan Rasul-Nya sejatinya adalah satu. Kalau bisa
beda dan bisa lepas masing-masing, pastinya redaksinya akan begini: AGAR ALLAH
DAN RASUL MENGHUKUMI.
Sehingga kalimat “Sami’naa wa
atho’naa, kami mendengar dan kami patuh,” itu sejatinya adalah kepatuhan
kepada Qur’an. Ya, sejatinya kita mengucapkan “Sami’naa wa atho’naa,” itu
ketika disodorkan Qur’an kepada kita. Tetapi kalau disodorkan Hadis-Hadis? Atau
sumber-sumber lain yang mengatasnamakan Islam? Itu kita harus menjawab, “Sami’naa
wa sawfa nanqud, kami dengar dan kami akan kritik dulu! Terutama akan kami
kritik dengan Qur’an!! Kalau sesuai dengan Qur’an, akan kami taati. Kalau bertentangan
dengan Qur’an, akan kami ‘letakkan’ atau ingkari!!!”
Begitu juga ayat yang sering saya
kutip di beberapa tempat, QS.8:24 berikut ini.
QS. Al-Anfal[8]: 24
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ
الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman. SAMBUTLAH
SERUAN ALLAH DAN SERUAN RASUL APABILA RASUL MENYERU KALIAN KEPADA SESUATU (QUR’AN)
YANG MENGHIDUPKAN KALIAN. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya. Dan sesungguhnya hanya kepada-Nya lah kalian akan
dikumpulkan.
Jadi kalimat di awal-awal pada ayat
di atas, itu dua fariabel: seruan Allah (X) dan seruan Rasul (Y). Tetapi
kemudian melebur cukup disebut satu fariabel Y saja, yakni Rasul. Tergambar
dalam kalimat: “APABILA RASUL MENYERU KALIAN KEPADA SESUATU (QUR’AN) YANG MENGHIDUPKAN
KALIAN.” Lebih-lebih kemudian bermuara kepada Qur’an itu sendiri, yang
ditunjukkan oleh kalimat: “SESUATU YANG MENGHIDUPKAN KALIAN (QUR’AN).” Yang
dimaksud ‘sesuatu yang menghidupkan kalian,’ itu memang adalah Qur’an.
Kata da’aa pada da’aakum,
itu mufrad. Subjek tunggal. Bukan tatsniyah (dua subjek).
Maka tidak benar kalau diartikan
begini: seruan Allah adalah Qur’an, dan seruan Rasul adalah Hadis. Tidak
begitu. Sekali lagi, seruan Allah dan seruan Rasul, itu sejatinya adalah satu
hal saja. Yakni Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar