Jumat, 24 Januari 2020

SATU: QUR’AN & RASUL


—Saiful Islam*—

“Allah, Qur’an, dan Rasul, itu sejatinya satu. Dan saling terkait. Tidak bisa lepas antara satu dan yang lainnya…”

Dari QS.4:105, kita menjadi paham. Bahwa Rasulullah itu menghukumi perkara-perkara umatnya dengan al-Qur’an. Teks Qur’an inilah satu-satunya wahyu teologis yang diterima Rasulullah. Tidak ada wahyu teologis lain selain Qur’an. Bahkan Rasulullah sendiri, itu diperintah untuk mengikuti Qur’an (QS.45:18). Dan umatnya pun juga diperintah mengikuti Qur’an itu juga (QS.6:155).

Karenanya, beliau SAW dijuluki sebagai Rasul—penyampai pesan Tuhan. Sebelum menerima pesan Tuhan, itu beliau adalah Muhammad. Bukan Rasulullah. Ketika masih Muhammad, tampaknya mayoritas masyarakat Mekah menyukai Muhammad. Barulah ketika beliau menyampaikan Qur’an, karena memang diperintah Tuhan untuk menyampaikannya, terjadi ketegangan dan pertentangan yang serius. Beliau SAW dituduh sebagai dukun, penyihir, gila, sampai mau dibunuh, itu ya karena Muhammad telah menjadi Rasulullah—menyampaikan Qur’an.

Sehingga ketika Muhammad telah menjadi Rasulullah, Qur’an-lah yang menjadi segala sumber inspirasi beliau. Di dalam bersikap, bertindak, sampai memutuskan persoalan masyarakat. Qur’an dengan Rasulullah, itu satu. Sampai-sampai disebut sendiri oleh QS.69:40 bahwa Qur’an itu adalah perkataan Rasulullah. Innahuu laqawl Rosuul kariim. Qur’an bukan perkataan Muhammad. Tetapi Qur’an adalah sabda utusan Allah SAW. Sabda Rasulullah. Karena Qur’an sejatinya adalah firman Allah.

Kenapa QS.4:80 menyebut bahwa orang yang taat kepada Rasul, itu otomatis taat kepada Allah? Karena ya Qur’an dan Rasul itu sejatinya satu. Qur’an adalah firman Allah. Sedangkan Rasul adalah hanya penyampai firman Allah. Sehingga taat kepada Rasul, itu sejatinya taat kepada firman Allah. Dan taat kepada firman Allah, itu sejatinya adalah taat kepada Allah.

Begitu juga. Kenapa QS.3:31 menyebutkan bahwa orang yang mengaku benar-benar mencintai Allah, maka caranya adalah harus mengikuti Rasul? Lagi-lagi karena Rasul, itu hanya penyampai firman Allah. Orang yang mencintai Allah, otomatis ia akan mengikuti dan mentaati ‘perkataan-Nya’. Sedangkan ‘perkataan-Nya’ sendiri, itu ia tidak berbicara langsung. Tetapi melalui Rasul. Maka menjadi logis, untuk bisa mentaati ‘perkataan-Nya’ itu, seseorang wajib dan harus hanya mengikuti Rasulullah.

Sekali lagi, Allah, Qur’an, dan Rasul, itu sejatinya satu. Dan saling terkait. Tidak bisa lepas antara satu dan yang lainnya. Kalau sudah disebut Rasul, pasti ada kaitannya dengan Allah dan firman-Nya (Qur’an). Jika disebut Allah, pasti terkait Qur’an dan Rasul (utusan-Nya). Dan kalau disebut Qur’an, pasti itu adalah firman Allah yang disampaikan oleh Rasul. Maka jangan sampai ketika menyebut Rasul, seperti qoola Rosuulullah, qoolan Nabiy dan seterusnya, kemudian lepas dari Qur’an. Dan tiba-tiba melenceng kepada Hadis-Hadis. Atau kepada sumber-sumber yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab.

Dari ayat-ayat Qur’an, kita bisa menemukan contoh kesatuan antara Allah, Qur’an, dan Rasul itu. Misalnya sebagai berikut.

QS. Al-Nur[24]: 48 & 51
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
48. Dan apabila mereka dipanggil kepada ALLAH DAN RASUL-NYA, AGAR RASUL MENGHUKUMI (MENGADILI) DI ANTARA MEREKA, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
51. Sesungguhnya jawaban oran-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada ALLAH DAN RASUL-NYA AGAR RASUL MENGHUKUMI (MENGADILI) DI ANTARA MEREKA ialah ucapan: “Sami’naa wa atho’naa, kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Di awal-awal kedua ayat di atas, itu sama. Yakni dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya (redaksinya: dipanggil kepada Rasul-Nya, bukan kepada Muhammad). Jadi dipanggil kepada dua fariabel. Allah (misalnya X) dan rasul-Nya (misalnya Y). Tetapi kemudian lanjutan ayatnya: AGAR RASUL MENGHUKUMI… Tiba-tiba berubah menjadi satu fariabel saja. Yakni Y. Ditunjukkan dengan kata kerja tunggal (Ia atau He), liyahkuma (dhomir huwa). Itu bukti bahwa Allah, Qur’an, dan Rasul-Nya sejatinya adalah satu. Kalau bisa beda dan bisa lepas masing-masing, pastinya redaksinya akan begini: AGAR ALLAH DAN RASUL MENGHUKUMI.

Sehingga kalimat “Sami’naa wa atho’naa, kami mendengar dan kami patuh,” itu sejatinya adalah kepatuhan kepada Qur’an. Ya, sejatinya kita mengucapkan “Sami’naa wa atho’naa,” itu ketika disodorkan Qur’an kepada kita. Tetapi kalau disodorkan Hadis-Hadis? Atau sumber-sumber lain yang mengatasnamakan Islam? Itu kita harus menjawab, “Sami’naa wa sawfa nanqud, kami dengar dan kami akan kritik dulu! Terutama akan kami kritik dengan Qur’an!! Kalau sesuai dengan Qur’an, akan kami taati. Kalau bertentangan dengan Qur’an, akan kami ‘letakkan’ atau ingkari!!!”

Begitu juga ayat yang sering saya kutip di beberapa tempat, QS.8:24 berikut ini.

QS. Al-Anfal[8]: 24
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman. SAMBUTLAH SERUAN ALLAH DAN SERUAN RASUL APABILA RASUL MENYERU KALIAN KEPADA SESUATU (QUR’AN) YANG MENGHIDUPKAN KALIAN. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan sesungguhnya hanya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan.

Jadi kalimat di awal-awal pada ayat di atas, itu dua fariabel: seruan Allah (X) dan seruan Rasul (Y). Tetapi kemudian melebur cukup disebut satu fariabel Y saja, yakni Rasul. Tergambar dalam kalimat: “APABILA RASUL MENYERU KALIAN KEPADA SESUATU (QUR’AN) YANG MENGHIDUPKAN KALIAN.” Lebih-lebih kemudian bermuara kepada Qur’an itu sendiri, yang ditunjukkan oleh kalimat: “SESUATU YANG MENGHIDUPKAN KALIAN (QUR’AN).” Yang dimaksud ‘sesuatu yang menghidupkan kalian,’ itu memang adalah Qur’an.

Kata da’aa pada da’aakum, itu mufrad. Subjek tunggal. Bukan tatsniyah (dua subjek).

Maka tidak benar kalau diartikan begini: seruan Allah adalah Qur’an, dan seruan Rasul adalah Hadis. Tidak begitu. Sekali lagi, seruan Allah dan seruan Rasul, itu sejatinya adalah satu hal saja. Yakni Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...