—Saiful Islam—
“Hadis, itu bukan rukun iman. Menerima
dan menolak Hadis, itu tidak ada kaitannya dengan keimanan…”
Sebuah buku Studi Hadis karya
seorang doktor yang menulis tentang kehujjahan Hadis. Tampaknya perlu saya beri
komentar dalam topik MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS ini. Disebutkan sebagai berikut.
“Beriman kepada Rasulullah
merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim.
Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar manusia beriman dan
manaati Nabi. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, bila seseorang mengaku beriman kepada
Rasulullah, maka konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang
darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk
menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia. Allah juga memerintahkan untuk
beriman dan menaati Nabi. Dengan demikian, menerima Hadis sebagai hujjah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak
menerima Hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia tidak beriman kepada
Rasulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir karena tidak
memenuhi salah satu dari enam rukun iman.”
Menurut Lisan al-‘Arab,
al-hujjah itu artinya adalah dasar argumentasi atau pondasi dari sebuah
pendapat (al-daliil) dan bukti (al-burhaan).
Sedangkan menurut Al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an, kata al-hujjah diartikan sebagai petunjuk yang
jelas yang diarahkan kepada sasaran yang dimaksud. Al-hujjah juga
berarti sesuatu yang memastikan kebenaran salah satu dari dua hal yang
berlawanan.
QS. Al-An’am[6]: 149
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ
الْبَالِغَةُ ۖ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
Katakanlah: "Allah mempunyai HUJJAH
yang jelas lagi kuat. Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk
kepada kamu semuanya.”
QS. Al-Baqarah[2]: 150
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا
الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ
نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar),
maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. Agar tidak ada HUJJAH bagi
manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Kusempurnakan
nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Menjadikan Hadis sebagai hujjah,
itu maksudnya adalah menjadikan Hadis tersebut sebagai dasar argumen di dalam
berislam di bawah Qur’an. Hadis-Hadis yang sahih memang bisa menjadi landasan
beragama seorang Muslim. Hadis adalah sumber hukum Islam nomor dua setelah
Qur’an. Karena Hadis-Hadis sahih tersebut memang bisa menjadi upaya menelusuri
Sunnah Nabi. Bisa jadi, laporan tentang Nabi di dalam Hadis-Hadis sahih itu
masih otentik.
Dalam penelitian Hadis, kehujjahan
Hadis itu ditentukan paling belakang. Yaitu setelah sebuah Hadis ditinjau dari
berbagai segi. Berawal dari Takhrij Hadis—sebuah Hadis tertentu diriwayatkan
oleh siapa saja, di kitab Hadis mana saja. Kemudian dilakukan kritik sanad
dengan bantuan Ilmu Jarh wa al-Ta’diil (penilaian pakar terhadap setiap
rawi atau periwayatnya). Kemudian dilakukan kritik matan-nya. Serta
ditinjau pula dari sudut Ilmu Ma’anil Hadis-nya. Setelah semuanya lolos uji,
barulah disimpulkan bahwa Hadis tersebut bisa dijadikan hujjah. Dasar
argumentasi.
OK. Pernyataan doktor di atas itu,
sebenarnya di awa-awal sudah tepat. Pernyataan ‘Ajjaj al-Khatib, “Bila
seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, maka konsekuensi logisnya menerima
segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena
Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia.
Allah juga memerintahkan untuk beriman dan menaati Nabi,” ini juga sudah benar.
Kita memang harus sami’naa wa atho’naa kepada Rasulullah.
Yang tidak tepat dan berbahaya menurut
saya, justru kesimpulannya: “Dengan demikian, menerima Hadis sebagai hujjah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak
menerima Hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia tidak beriman kepada
Rasulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir karena tidak
memenuhi salah satu dari enam rukun iman.” Kesimpulan seperti ini, sangat
berlebihan.
Rukun iman, yang sudah sangat
terkenal, itu ada enam. Yaitu iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari kiamat (hari terakhir), dan takdir baik buruk. Dari keenam
rukun iman ini, tidak ada iman kepada Hadis. Adanya iman kepada para Rasul-Nya.
Salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW. Yakni iman kepada kerasulan beliau.
Bahwa beliau adalah manusia biasa yang mendapat wahyu Qur’an dari Allah untuk
disampaikan kepada umat manusia. Titik tekan mengimani para Rasul, itu adalah
iman kepada kenabiannya. Iman kepada kerasulannya.
Dengan demikian, menerima dan
menolak Hadis, itu tidak ada kaitannya dengan keimanan. Tidak bisa
dihubung-hubungkan dengan keimanan seseorang. Artinya, orang yang menolak
beberapa Hadis yang dirasa bermasalah, itu tidak bisa dihukumi kafir. Ini bukan
wilayah iman atau kafir. “Apabila ia tidak menerima Hadis sebagai hujjah, maka
sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah,” ini jelas kesalahan fatal.
Tidak menerima Hadis, tidak bisa dihukumi bahwa seseorang kafir kepada
Rasulullah. Tidak menerima Hadis, itu soal lain. Kafir kepada Rasulullah, itu
soal lain lagi. Jangan dicampur aduk.
Barulah kalau seseorang tidak
menerima kehujjahan Qur’an. Hukumnya adalah kafir. Jangankan seluruhnya yang 30
juz itu. Tidak menerima kehujjahan satu ayat Qur’an saja, hukumnya adalah
kafir. Kafir dalam arti menutup diri. Tidak mau menerima Qur’an. Atau tidak
mempercayai Qur’an. Baik dari segi jalu periwayatannya, maupun dari segi
kontennya. Menolak Qur’an, sama saja menolak Rasul. Menolak Rasul, sama saja
menolak Allah. Kafir, jelas sekali. Tetapi beda masalahnya untuk menerima atau
menolak Hadis. Menolak Hadis, itu tidak sama dengan menolak Rasulullah.
QS. Al-Furqan[25]: 4
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا
إِنْ هَٰذَا إِلَّا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ ۖ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا
Dan orang-orang kafir berkata:
"Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh
Muhammad. Dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” Maka sesungguhnya mereka telah
berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.
Ditinjau dari jalur periwayatannya,
Hadis itu statusnya adalah zhanniy. Selamanya. Sesahih-sahihnya Hadis,
itu tetap tidak bisa statusnya menjadi pasti (qath’iy). Hadis, itu hanya
diduga berasal dari Rasulullah. Tidak bisa pastikan bahwa Hadis itu sudah pasti
dari Rasulullah. Tidak bisa. Sementara keimanan, itu urusan pasti. Tidak boleh
keimanan kita pondasinya adalah sesuatu yang zhanniy. Pondasi keimanan
kita harus berdasar sesuatu yang pasti. Yakni Qur’an.
Sekali lagi, menerima atau menolak
Hadis, itu urusan metodologi. Urusan epistimologi. Masalah how to deal with
Hadith. Sementara soal menerima atau menolak Rasulullah, itu soal
keyakinan. Soal akidah. Jadi memang beda. Dan tolong jangan dicampur aduk,
sehingga membingungkan dan merancukan umat.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar