Kamis, 16 Januari 2020

BUKAN SOAL IMAN


—Saiful Islam—

“Hadis, itu bukan rukun iman. Menerima dan menolak Hadis, itu tidak ada kaitannya dengan keimanan…”

Sebuah buku Studi Hadis karya seorang doktor yang menulis tentang kehujjahan Hadis. Tampaknya perlu saya beri komentar dalam topik MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS ini. Disebutkan sebagai berikut.

“Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar manusia beriman dan manaati Nabi. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, bila seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, maka konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan menaati Nabi. Dengan demikian, menerima Hadis sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak menerima Hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir karena tidak memenuhi salah satu dari enam rukun iman.”

Menurut Lisan al-‘Arab, al-hujjah itu artinya adalah dasar argumentasi atau pondasi dari sebuah pendapat (al-daliil) dan bukti (al-burhaan).

Sedangkan menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata al-hujjah diartikan sebagai petunjuk yang jelas yang diarahkan kepada sasaran yang dimaksud. Al-hujjah juga berarti sesuatu yang memastikan kebenaran salah satu dari dua hal yang berlawanan.

QS. Al-An’am[6]: 149
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۖ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
Katakanlah: "Allah mempunyai HUJJAH yang jelas lagi kuat. Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.”

QS. Al-Baqarah[2]: 150
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. Agar tidak ada HUJJAH bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

Menjadikan Hadis sebagai hujjah, itu maksudnya adalah menjadikan Hadis tersebut sebagai dasar argumen di dalam berislam di bawah Qur’an. Hadis-Hadis yang sahih memang bisa menjadi landasan beragama seorang Muslim. Hadis adalah sumber hukum Islam nomor dua setelah Qur’an. Karena Hadis-Hadis sahih tersebut memang bisa menjadi upaya menelusuri Sunnah Nabi. Bisa jadi, laporan tentang Nabi di dalam Hadis-Hadis sahih itu masih otentik.

Dalam penelitian Hadis, kehujjahan Hadis itu ditentukan paling belakang. Yaitu setelah sebuah Hadis ditinjau dari berbagai segi. Berawal dari Takhrij Hadis—sebuah Hadis tertentu diriwayatkan oleh siapa saja, di kitab Hadis mana saja. Kemudian dilakukan kritik sanad dengan bantuan Ilmu Jarh wa al-Ta’diil (penilaian pakar terhadap setiap rawi atau periwayatnya). Kemudian dilakukan kritik matan-nya. Serta ditinjau pula dari sudut Ilmu Ma’anil Hadis-nya. Setelah semuanya lolos uji, barulah disimpulkan bahwa Hadis tersebut bisa dijadikan hujjah. Dasar argumentasi.

OK. Pernyataan doktor di atas itu, sebenarnya di awa-awal sudah tepat. Pernyataan ‘Ajjaj al-Khatib, “Bila seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, maka konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan menaati Nabi,” ini juga sudah benar. Kita memang harus sami’naa wa atho’naa kepada Rasulullah.

Yang tidak tepat dan berbahaya menurut saya, justru kesimpulannya: “Dengan demikian, menerima Hadis sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak menerima Hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir karena tidak memenuhi salah satu dari enam rukun iman.” Kesimpulan seperti ini, sangat berlebihan.

Rukun iman, yang sudah sangat terkenal, itu ada enam. Yaitu iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat (hari terakhir), dan takdir baik buruk. Dari keenam rukun iman ini, tidak ada iman kepada Hadis. Adanya iman kepada para Rasul-Nya. Salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW. Yakni iman kepada kerasulan beliau. Bahwa beliau adalah manusia biasa yang mendapat wahyu Qur’an dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia. Titik tekan mengimani para Rasul, itu adalah iman kepada kenabiannya. Iman kepada kerasulannya.

Dengan demikian, menerima dan menolak Hadis, itu tidak ada kaitannya dengan keimanan. Tidak bisa dihubung-hubungkan dengan keimanan seseorang. Artinya, orang yang menolak beberapa Hadis yang dirasa bermasalah, itu tidak bisa dihukumi kafir. Ini bukan wilayah iman atau kafir. “Apabila ia tidak menerima Hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah,” ini jelas kesalahan fatal. Tidak menerima Hadis, tidak bisa dihukumi bahwa seseorang kafir kepada Rasulullah. Tidak menerima Hadis, itu soal lain. Kafir kepada Rasulullah, itu soal lain lagi. Jangan dicampur aduk.

Barulah kalau seseorang tidak menerima kehujjahan Qur’an. Hukumnya adalah kafir. Jangankan seluruhnya yang 30 juz itu. Tidak menerima kehujjahan satu ayat Qur’an saja, hukumnya adalah kafir. Kafir dalam arti menutup diri. Tidak mau menerima Qur’an. Atau tidak mempercayai Qur’an. Baik dari segi jalu periwayatannya, maupun dari segi kontennya. Menolak Qur’an, sama saja menolak Rasul. Menolak Rasul, sama saja menolak Allah. Kafir, jelas sekali. Tetapi beda masalahnya untuk menerima atau menolak Hadis. Menolak Hadis, itu tidak sama dengan menolak Rasulullah.

QS. Al-Furqan[25]: 4
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ ۖ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا
Dan orang-orang kafir berkata: "Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad. Dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.

Ditinjau dari jalur periwayatannya, Hadis itu statusnya adalah zhanniy. Selamanya. Sesahih-sahihnya Hadis, itu tetap tidak bisa statusnya menjadi pasti (qath’iy). Hadis, itu hanya diduga berasal dari Rasulullah. Tidak bisa pastikan bahwa Hadis itu sudah pasti dari Rasulullah. Tidak bisa. Sementara keimanan, itu urusan pasti. Tidak boleh keimanan kita pondasinya adalah sesuatu yang zhanniy. Pondasi keimanan kita harus berdasar sesuatu yang pasti. Yakni Qur’an.

Sekali lagi, menerima atau menolak Hadis, itu urusan metodologi. Urusan epistimologi. Masalah how to deal with Hadith. Sementara soal menerima atau menolak Rasulullah, itu soal keyakinan. Soal akidah. Jadi memang beda. Dan tolong jangan dicampur aduk, sehingga membingungkan dan merancukan umat.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...