Rabu, 15 Januari 2020

DESAKRALISASI HADIS


—Saiful Islam—

“Hadis-Hadis, itu memang karya penulis Hadis biasa, yang tidak pernah dijaga, dipelihara, dan dikawal langsung oleh Nabi. Apalagi dipelihara oleh Allah…”

Mari kita tinjau lagi pernyataan ini: “Begitu pun dengan Hadis Rasulullah, sebagai konfirmator tunggal yang ma’shum.”

Sudah umum di masyarakat Muslim, bahwa Rasulullah itu ma’shum. Kata ini juga umum diartikan sebagai terpelihara dari salah dan dosa.

Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, secara bahasa, al-‘ashm itu berarti menahan dirinya dari sesuatu (al-imsaak). Dari kata itu kemudian muncul kata tamassak yang berarti memegang. Kata memegang ini, bisa berarti mengendalikan, menguasai, mengontrol, menjaga, memelihara, melindungi, dan semisalnya.

Di dalam Qur’an, ada beberapa derivasi kata dari kata ‘ashoma itu. Di antaranya adalah QS.5:67, QS.11:43, dan QS.33:17 berikut ini.

QS. Al-Maidah[5]: 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul. Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. ALLAH MEMELIHARA KAMU DARI (GANGGUAN) MANUSIA. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

QS. Hud[11]: 43
قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat MEMELIHARAKU dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

QS. Al-Ahzab[33]: 17
قُلْ مَنْ ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً ۚ وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Katakanlah: "Siapakah yang dapat MELINDUNGI kamu dari Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.

Nabi Muhammad itu memang ma’shum. Dalam arti dipelihara oleh Allah sehingga beliau tidak mungkin salah menyampaikan Qur’an. Tidak pernah ada satu ayat pun yang dilupakan Nabi. Tidak pernah satu ayat pun yang belum disampaikan Nabi kepada umat manusia.

Artinya, dalam kapasitas beliau sebagai utusan Allah (Rasul Allah), beliau tidak pernah dan tidak akan pernah salah, lupa, dan lain semisalnya. Tidak akan pernah. Intinya, semua yang terkait dengan risalah, Nabi tidak akan pernah salah. Soal-soal syariat, akidah, ibadah-ibadah ritual, mustahil Nabi salah dan lupa.

Tetapi sebagai manusia biasa, bisa jadi beliau SAW keliru. Karenanya langsung ditegur oleh Allah (QS.80: 1-12; QS.66:1-2). Maka yang sudah jelas-jelas Sunnah Nabi sekali pun, kita mesti harus pilah-pilih. Mana yang memang terkait risalah. Dan mana yang urusan-urusan dunia biasa.

Nabi memang ma’shum. Dalam arti dipelihara oleh Allah sehingga tidak ada yang bisa membunuh Nabi. Terutama selama dalam proses pewahyuan Qur’an. Atau selama dalam misi penyampaian pesan Tuhan itu kepada umat manusia. Nabi tidak bekerja sendiri untuk misi yang luar biasa itu. Ada peran Allah di situ. Juga ada pihak lain. Sejarah menunjukkan, memang Nabi tidak terbunuh dalam peperangan. Sebaliknya, Nabi menang. Sudah sejak abad pertama Hijrah itu. Sehingga Qur’an ini sampai kepada kita, yang hidup di abad 15 H ini.

Nabi memang ma’shum. Dalam arti tidak akan pernah membantah Allah. Semua larangan Qur’an, pasti beliau tidak akan pernah lakukan. Semua perintah Qur’an, pasti beliau lakukan. Semua sifat-sifat baik yang digambarkan oleh Qur’an, pasti sudah beliau praktikkan dan contohkan untuk para Sahabatnya, dan kita umatnya.

Jadi untuk hal-hal di atas, tidak diragukan lagi. Bahwa Nabi itu memang ma’shum. Dijaga dan dipelihara oleh Allah.

Tetapi ingat, yang ma’shum itu Nabi. Yang ma’shum itu Rasulullah. Bukan Hadis-Hadis. Hadis-Hadis yang disandarkan kepada Nabi, itu memang tidak ma’shum. Dalam arti dipelihara dan dijaga oleh Allah. Hadis-Hadis, itu tidak dijaga dan tidak dipelihara oleh Allah. Jangankan oleh Allah. Nabi sendiri saja, itu tidak menjaga dan tidak memelihara Hadis-Hadis. Malah beliau melarang menulis Hadis. “Jangan menulis dariku selain Qur’an. Siapa yang terlanjur menulisnya, hapuslah.”

Mustahil Hadis-Hadis itu ma’shum. Hadis-Hadis itu karya penulis Hadis, layaknya penulis-penulis biasa. Bukan karya Nabi. Tidak dikawal oleh Nabi. Tidak dijaga oleh Nabi. Tidak pula dipelihara oleh Nabi. Hadis-Hadis hanyalah berita atau cerita yang disandarkan kepada Nabi. Yang harus diuji, diperiksa, dikiritisi, dan dianalisa terlebih dahulu terkait otentitasnya. Tidak boleh ujug-ujug, potong kompas, shortcut, digunakan sebagai hujjah dalam beragama Islam.

Apalagi, Hadis-Hadis itu baru ditulis setelah ratusan tahun lamanya dari sumber utama: Nabi Muhammad.

Hadis dikatakan sebagai konfirmator tunggal yang ma’shum, jelas sekali salahnya. Parah malah. Fatal sekali! Konfirmator tunggal yang ma’shum, itu Qur’an! Bukan Hadis!! Kalau dikatakan Hadis sebagai konfirmator Qur’an, itu sama saja menempatkan Hadis di atas Qur’an. Wah!!! Hadis-Hadis harus dikoreksi, dicek, diperiksa, dan diuji dengan Qur’an. Lihat. Betapa Umat Islam sering terbalik. Qur’an malah mau dikoreksi dengan Hadis. Alamak!!!

Hadis-Hadis, itu memang tidak sakral. Tidak pernah ada Hadis-Hadis itu suci. Hadis tidak keramat. Hadis-Hadis, itu hanya karya tulis biasa. Sebagaimana karya-karya tulis yang lain. Tidak dipelihara Allah. Tidak dijaga dan dikawal Nabi. Hadis-Hadis ada yang mungkin benar. Ada juga Hadis-Hadis yang mungkin salah. Jadi, kalau ditemukan Hadis-Hadis yang salah, kemudian lantas diingkari, ya memang harus begitu. Hadis-Hadis yang salah, meskipun disandarkan kepada Nabi, itu memang harus ‘diletakkan’.

Hadis-Hadis diyakini ma’shum, itu sama dengan keyakinan kawan saya yang pastur, Klaus yang mengatakan begini: “Bible itu memang bukan firman Tuhan. Sebab firman Tuhan sudah menjadi daging: Yesus. Bible itu memang karya penulis Bible. Yang ditulis belakangan. Akan tetapi para penulis Bible itu, diinspirasi oleh Roh Kudus (melalui wahyu teologis).”

Hadis-Hadis diyakini sebagai sesuatu yang sakral atau suci, jelas salahnya. Sangat berbahaya bagi Umat Islam secara akidah. Sekali lagi, tidak ada rujukan-rujukan doktrin Islam yang ma’shum, sakral, dan suci, itu selain Qur’an.

Jadi tampaknya, salah kaprah Hadis ma’shum, ini berawal dari kerancuan salah kaprah mengidentikkan Hadis dengan Sunnah. Yang dilakukan oleh mayoritas Ulama Hadis. Agaknya sejak Imam Syafi’i (w. 204 H). Karena beliau lah yang pertama kali menulis Ulumul Hadis dalam kitab al-Risalah. Puncak salah kaprah itu, adalah ini: Hadis-Hadis dikira wahyu teologis mandiri selain Qur’an yang turun kepada Nabi.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...