—Saiful Islam*—
“Tidak pernah Nabi semau gue dalam
urusan syariat Islam…”
Kedudukan Sunnah dalam Islam yang
sebagai penjelas Qur’an, sudah. Sekarang yang kedua, sebagai legislator.
Benarkah Hadis bisa membuat syariat Islam sendiri selain Qur’an? Atau bisakah
Hadis menjadi bayaan al-tasyri’, yakni Hadis bisa dan boleh membuat
syariat mandiri selain Qur’an?
Saya kutipkan dulu argumentasi
pihak-pihak yang menjawab boleh. Bahwa Nabi bisa membuat syariat Islam sendiri
selain Qur’an. Nanti saya komentari di belakang. Berikut argumen pertama.
QS. Al-A’raf[7]: 157 – 158
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ
وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut
rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang MENYURUH MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK
(MA'RUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN
BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK,
dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
Itulah orang-orang yang beruntung.
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي
وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia. Sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua. Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan.”
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur’an) dan
ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat petunjuk.”
Argumen kedua, menyatakan begini:
Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat
itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Qur’an.
Contohnya Hadis riwayat Bukhari: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami
bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.” Al-Qur’an tidak menjelaskan
tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya, baik dari
pihak ayah maupun ibunya.
*****
Tanggapan argumen pertama.
Baiklah. Kalau saya menjawab pertanyaan
di atas, maka jawaban saya adalah tidak boleh dan tidak bisa. Hadis-Hadis tidak
boleh berdiri sendiri sebagai syariat Islam. Karena tidak mungkin Nabi
membuat-buat syariat sendiri selain Qur’an. Yang namanya syariat Islam, itu
kalau bukan Qur’an itu sendiri, ya Nabi terinspirasi oleh Qur’an. Hanya dua
itu. Intinya, Nabi saja, itu selalu dan selalu mengikuti syariat Qur’an. Nabi
tidak pernah semau gue membuat syariat Islam. Apalagi Hadis yang tidak
pasti berasal dari Nabi.
Bolehlah menggunakan Hadis-Hadis,
tetapi kalau mengatas namakan syariat Islam, Hadis-Hadis itu harus dan wajib
ada cantolan Qur’annya. Terutama soal akidah dan hukum Islam. Ini sudah saya
jelaskan panjang lebar pada tulisan sebelumnya, terutama SYARIAT ADALAH QUR’AN
dan AYAT PENJELAS AYAT. Lengkap dengan dalil-dalilnya. Silakan ditinjau
kembali.
Kalimat pada QS.7:157: “MENYURUH
MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK (MA'RUUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN
YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN
BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK,” itu bukan berarti Nabi sak karepe dewe
membuat syariat Islam.
Perintah Nabi atau halalnya
mengerjakan segala yang baik dan perbaikan, dan larangan Nabi atau haramnya
mengerjakan segala yang buruk, keji, kriminal, jahat, itu selalu berdasar
Qur’an. Memang redaksi Qur’an dibuat umum begitu. Justru memang supaya Qur’an
itu menjadi patokan dan prinsip umat manusia (Muslimin khususnya) kapan pun dan
di mana pun. Qur’an menjadi shoolih li kull zamaan wa makaan. Justru
prinsip bahwa segala kekejian, keburukan, dan krimininalitas yang merugikan itu
haram, dan segala yang baik dan bermanfaat itu halal, menjadi berkah bagi Kaum
Mukminin.
Jangan seperti seorang yang mengaku
dirinya ustadz di sebuah lingkungan pendidikan yang menjual sabu-sabu kepada
para muridnya. Ditangkap oleh polisi dan ditanya, mengapa sudah dipanggil
ustadz kok malah jual sabu-sabu. Ia menjawab, bahwa sabu-sabu itu halal. Karena
sabu-sabu tidak ada dalilnya dalam Qur’an. Tentu ini kesalahan fatal.
Memperkosa ayat untuk kepentingan materialistis. Penyalah gunaan sabu-sabu dan
narkotika lainnya, itu haram. Kita bisa menentukan keharamannya. Dalilnya bisa
menggunakan QS.7:157 itu. Penyalah gunaan sabu-sabu dan narkotika, itu termasuk
al-munkar atau al-khobaa’its. Apalagi sampai menjual. Kriminal.
Begitu juga soal konsumsi, Qur’an
memang cukup konsumsilah yang halal dan baik. Harus dua-duanya: ya halal ya
baik. Tidak boleh salah satu. Memang umum. Selain yang disebutkan spesifik,
seperti darah mengalir, babi, kotor dan menjijikkan (rijz) dan
seterusnya. Tetapi kalau dilanggar, akibatnya bisa seperti kasus virus Corona (2019-nCoV)
yang melanda Wuhan, Cina saat ini. Kabarnya berasal dari kelelawar dan ular.
Sudah tahu ular dan kelelawar kok dimakan. Rakus itu namanya.
Apalagi di awal-awal QS.7:57, ada
redaksi “yang mengikuti Rasul”. Jadi Rasul, yakni Rasulullah. Ingat, Rasulullah
itu selalu terkait dengan risalah (firman Tuhan). Lebih gamblangnya baca lagi
tulisan sebelumnya RASUL PUN MENGIKUTI QUR’AN dan SANG UTUSAN TUHAN. Semakin
gamblang oleh redaksi pada QS.7:58-nya: “Dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya
(Al-Qur’an) dan ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat
petunjuk.”
Tanggapan argumen kedua.
Secara spesifik, Al-Qur’an memang
tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan
bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibunya. Sekali lagi, itu secara spesifik. Khusus.
Tetapi ingat. Larangan menikahi dua orang bersaudara, itu ada ayat Qur’annya. QS.4:23
berikut ini.
QS. Al-Nisa’[4]: 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي
فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا
قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (menikahi)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
menikahiya. (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); DAN
(DIHARAMKAN) MENGHIMPUNKAN (DALAM PERNIKAHAN) DUA PEREMPUAN YANG BERSAUDARA,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Jadi kalau benar bahwa Hadis
riwayat Bukhari di atas itu dari Nabi, maka itu tidak berarti Nabi telah
membuat syariat sendiri yang lepas dari Qur’an. Seorang perempuan dan bibinya,
itu termasuk dua bersaudara. Maka jika benar pengharaman itu, itu artinya
pengharaman tersebut berdasar telah Qur’an. Pengharaman spesifik pada Hadis
itu, sudah berdasar Qur’an QS.4:23 tersebut.
Dengan begitu, tidak benar ungkapan
bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan keharaman itu. Al-Qur’an sudah menjelaskan. Keharaman
dua bersaudara itu, bentuknya lantas bisa jadi meluas. Karena memperhatikan dan
mempertimbangkan akibat-akibat buruk yang menyertainya. Dan kita memang
diperintah untuk berhati-hati. Merujuk Qur’an, dengan segenap ilmu dan akal
kecerdasan, sekaligus niat baik, sikap hati-hati dan kewaspadaan yang tinggi.
QS. Al-Maidah[5]: 92 & 99
وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Taatlah kamu kepada Allah dan
taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan BERHATI-HATILAH. Jika kamu berpaling, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya KEWAJIBAN Rasul Kami, HANYALAH MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN)
dengan terang.
مَا عَلَى الرَّسُولِ
إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ
وَمَا تَكْتُمُونَ
KEWAJIBAN RASUL TIDAK LAIN HANYALAH
MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN), dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa
yang kamu sembunyikan.
Sehingga tidak benar juga, ungkapan
bahwa Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul
saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat
Qur’an. Setiap menetapkan hukum (syariat Islam), Rasulullah selalu berdasar
pada ketentuan-ketentuan Qur’an. Rasulullah tidak pernah menjadi legislator
syariat Islam tanpa berdasar Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar