Rabu, 29 Januari 2020

HANYA PENYAMPAI QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Tidak pernah Nabi semau gue dalam urusan syariat Islam…”

Kedudukan Sunnah dalam Islam yang sebagai penjelas Qur’an, sudah. Sekarang yang kedua, sebagai legislator. Benarkah Hadis bisa membuat syariat Islam sendiri selain Qur’an? Atau bisakah Hadis menjadi bayaan al-tasyri’, yakni Hadis bisa dan boleh membuat syariat mandiri selain Qur’an?

Saya kutipkan dulu argumentasi pihak-pihak yang menjawab boleh. Bahwa Nabi bisa membuat syariat Islam sendiri selain Qur’an. Nanti saya komentari di belakang. Berikut argumen pertama.

QS. Al-A’raf[7]: 157 – 158
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang MENYURUH MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK (MA'RUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan.” Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur’an) dan ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat petunjuk.”

Argumen kedua, menyatakan begini: Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Qur’an. Contohnya Hadis riwayat Bukhari: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.” Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibunya.

*****
Tanggapan argumen pertama.

Baiklah. Kalau saya menjawab pertanyaan di atas, maka jawaban saya adalah tidak boleh dan tidak bisa. Hadis-Hadis tidak boleh berdiri sendiri sebagai syariat Islam. Karena tidak mungkin Nabi membuat-buat syariat sendiri selain Qur’an. Yang namanya syariat Islam, itu kalau bukan Qur’an itu sendiri, ya Nabi terinspirasi oleh Qur’an. Hanya dua itu. Intinya, Nabi saja, itu selalu dan selalu mengikuti syariat Qur’an. Nabi tidak pernah semau gue membuat syariat Islam. Apalagi Hadis yang tidak pasti berasal dari Nabi.

Bolehlah menggunakan Hadis-Hadis, tetapi kalau mengatas namakan syariat Islam, Hadis-Hadis itu harus dan wajib ada cantolan Qur’annya. Terutama soal akidah dan hukum Islam. Ini sudah saya jelaskan panjang lebar pada tulisan sebelumnya, terutama SYARIAT ADALAH QUR’AN dan AYAT PENJELAS AYAT. Lengkap dengan dalil-dalilnya. Silakan ditinjau kembali.

Kalimat pada QS.7:157: “MENYURUH MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK (MA'RUUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK,” itu bukan berarti Nabi sak karepe dewe membuat syariat Islam.

Perintah Nabi atau halalnya mengerjakan segala yang baik dan perbaikan, dan larangan Nabi atau haramnya mengerjakan segala yang buruk, keji, kriminal, jahat, itu selalu berdasar Qur’an. Memang redaksi Qur’an dibuat umum begitu. Justru memang supaya Qur’an itu menjadi patokan dan prinsip umat manusia (Muslimin khususnya) kapan pun dan di mana pun. Qur’an menjadi shoolih li kull zamaan wa makaan. Justru prinsip bahwa segala kekejian, keburukan, dan krimininalitas yang merugikan itu haram, dan segala yang baik dan bermanfaat itu halal, menjadi berkah bagi Kaum Mukminin.

Jangan seperti seorang yang mengaku dirinya ustadz di sebuah lingkungan pendidikan yang menjual sabu-sabu kepada para muridnya. Ditangkap oleh polisi dan ditanya, mengapa sudah dipanggil ustadz kok malah jual sabu-sabu. Ia menjawab, bahwa sabu-sabu itu halal. Karena sabu-sabu tidak ada dalilnya dalam Qur’an. Tentu ini kesalahan fatal. Memperkosa ayat untuk kepentingan materialistis. Penyalah gunaan sabu-sabu dan narkotika lainnya, itu haram. Kita bisa menentukan keharamannya. Dalilnya bisa menggunakan QS.7:157 itu. Penyalah gunaan sabu-sabu dan narkotika, itu termasuk al-munkar atau al-khobaa’its. Apalagi sampai menjual. Kriminal.

Begitu juga soal konsumsi, Qur’an memang cukup konsumsilah yang halal dan baik. Harus dua-duanya: ya halal ya baik. Tidak boleh salah satu. Memang umum. Selain yang disebutkan spesifik, seperti darah mengalir, babi, kotor dan menjijikkan (rijz) dan seterusnya. Tetapi kalau dilanggar, akibatnya bisa seperti kasus virus Corona (2019-nCoV) yang melanda Wuhan, Cina saat ini. Kabarnya berasal dari kelelawar dan ular. Sudah tahu ular dan kelelawar kok dimakan. Rakus itu namanya.

Apalagi di awal-awal QS.7:57, ada redaksi “yang mengikuti Rasul”. Jadi Rasul, yakni Rasulullah. Ingat, Rasulullah itu selalu terkait dengan risalah (firman Tuhan). Lebih gamblangnya baca lagi tulisan sebelumnya RASUL PUN MENGIKUTI QUR’AN dan SANG UTUSAN TUHAN. Semakin gamblang oleh redaksi pada QS.7:58-nya: “Dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur’an) dan ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat petunjuk.”

Tanggapan argumen kedua.

Secara spesifik, Al-Qur’an memang tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibunya. Sekali lagi, itu secara spesifik. Khusus. Tetapi ingat. Larangan menikahi dua orang bersaudara, itu ada ayat Qur’annya. QS.4:23 berikut ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahiya. (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); DAN (DIHARAMKAN) MENGHIMPUNKAN (DALAM PERNIKAHAN) DUA PEREMPUAN YANG BERSAUDARA, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jadi kalau benar bahwa Hadis riwayat Bukhari di atas itu dari Nabi, maka itu tidak berarti Nabi telah membuat syariat sendiri yang lepas dari Qur’an. Seorang perempuan dan bibinya, itu termasuk dua bersaudara. Maka jika benar pengharaman itu, itu artinya pengharaman tersebut berdasar telah Qur’an. Pengharaman spesifik pada Hadis itu, sudah berdasar Qur’an QS.4:23 tersebut.

Dengan begitu, tidak benar ungkapan bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan keharaman itu. Al-Qur’an sudah menjelaskan. Keharaman dua bersaudara itu, bentuknya lantas bisa jadi meluas. Karena memperhatikan dan mempertimbangkan akibat-akibat buruk yang menyertainya. Dan kita memang diperintah untuk berhati-hati. Merujuk Qur’an, dengan segenap ilmu dan akal kecerdasan, sekaligus niat baik, sikap hati-hati dan kewaspadaan yang tinggi.

QS. Al-Maidah[5]: 92 & 99
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan BERHATI-HATILAH. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya KEWAJIBAN Rasul Kami, HANYALAH MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN) dengan terang.

مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
KEWAJIBAN RASUL TIDAK LAIN HANYALAH MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN), dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.

Sehingga tidak benar juga, ungkapan bahwa Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Qur’an. Setiap menetapkan hukum (syariat Islam), Rasulullah selalu berdasar pada ketentuan-ketentuan Qur’an. Rasulullah tidak pernah menjadi legislator syariat Islam tanpa berdasar Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...