~ Saiful Islam ~
“Secara fakta historis, kronologis,
dan geografis, saya mencium bau tendensius pada Hadis wahyu itu…”
Pertama. Jika saya
coba menerapkan kaidah al-jam’ wa al-tawfiq (menggabungkan atau
mengkompromikan) maka hasilnya seperti tulisan sebelumnya YANG SEMISAL AL-QUR’AN.
Saya termasuk yang tidak percaya bahwa ada Hadis yang bisa menasikh
(menghapus hukum) Qur’an. Jangankan yang menasikh. Hadis yang membatasi
keumuman dan kekhususan Qur’an saja, saya sulit menerima.
Lantas ada yang mempermasalahkan. Karena
redaksi pengharaman Qur’an terhadap makanan, "TIDAK aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, KECUALI kalau makanan itu bangkai…” (QS.6:145). Atau redaksi
QS.5:1 yang menyebut bahwa semua binatang ternak itu ASALNYA HALAL dimakan, KECUALI
yang akan dibacakan pada QS.5 ayat 3.
Menurutnya, Hadis riwayat Imam
Ahmad dan Baihaqiy ini menasakh (menghapus) hukum ayat di atas. Yaitu Hadis:
“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu
adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa.” Atau
Hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: “Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya.”
Tentu, itu tidak benar. Menurut
saya, prinsip Qur’an bahwa makanan yang boleh dimakan itu adalah yang halal,
baik, dan tidak berlebihan (QS.5:87-88 dan QS.2:168), itu sudah cukup untuk
menentukan boleh tidaknya ikan-ikan di laut itu dimakan. Meski ikan laut, kalau
tidak baik bagi kesehatan menurut Sains, maka haram dimakan. Misalnya daging
dan sirip ikan hiu dan ikan jenis orange roughy. Atau jika dimakan menyebabkan kepunahan,
seperti tuna jenis hon-maguro. Bisa jadi, lantas tidak boleh dimakan. Karena termasuk
mengkonsumsi berlebih-lebihan.
Bangkai yang disebut Qur’an, itu
maksudnya busuknya itu. Bukan matinya. Jadi meskipun ikan mujaer, lele, kakap,
kerapu, dan ikan gabus misalnya, kalau busuk, maka hukumnya menjadi haram
dimakan. Begitu juga darah. Haramnya itu karena kotor. Menjijikkan. Rijs atau
fisq, kalau istilah Qur’an (QS.6:145). Tidak baik atau mencelakakan bagi
manusia. Baik secara fisik maupun psikis.
Begitu juga soal darah. Tidak benar
kalau Hadis tersebut menasakh. Yang dimaksud QS.6:145 adalah darah yang
mengalir. Sekali lagi, yang mengalir. Tentu saja, hati dan limpa, tidak
termasuk yang haram itu. Karena tidak ada yang mengalir. Artinya, hanya dengan
QS.6:145 saja, itu pun kita sudah bisa menentukan halalnya hati dan limpa sapi
dan kambing, misalnya. Lalu bagaimana darah yang awalnya mengalir, kemudian
digoreng sehingga membeku menjadi ‘dede’ (kata orang Tangkong, Banyuwangi)?
Menurut saya, Haram. Karena aslinya dede itu adalah darah yang mengalir.
Okelah. Itu yang pertama.
Kedua. Saya akan
melihat dari sudut pandang yang berbeda. Baik versi Imam Ahmad maupun Abu
Dawud, terdapat redaksi, “Ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan
kenyang di tempat duduknya..” Saya mengendus, ini adalah Hadis untuk
menyerang kelompok yang dilabel ‘munkir al-Sunnah’ atau ‘inkar
al-Sunnah’. Dengan kata lain, Hadis tersebut, itu semacam Hadis tandingan.
Gambaran di atas tampak lebih jelas
pada Hadis Ibnu Majah. Tepatnya pada kalimat: “Diceritakan kepada laki-laki
itu sebuah Hadis dariku, namun ia berkata; 'antara kami dan kalian adalah
kitabullah (Qur’an)…” Laki-laki yang diceritakan di sini, tampaknya menolak
semua Hadis-Hadis Nabi dan hanya berpegangan dengan Qur’an saja.
Lalu dibuatlah Hadis tersebut agar,
secara umum, bisa mempengaruhi orang-orang agar tidak hanya berpegang pada Qur’an
saja. Supaya tidak memutuskan hukum hanya berlandaskan ayat Qur’an saja. Tapi
juga dengan Hadis-Hadis. Atau paling tidak mempertimbangkan informasi di dalam
Hadis-Hadis.
Sehingga yang menentang kelompok ‘munkir
al-Sunnah’ itu, dikenal dengan nama ‘naashir al-Sunnah’. Yakni
penolong Sunnah Nabi. Menurut saya, ujug-ujug menolak seluruh Hadis, itu tidak
benar. Tapi sebaliknya. Saya juga tidak sependapat ada kelompok yang malabel
dirinya ‘naashir al-Sunnah’. Bagi saya, Imam al-Syafi’i, itu bukan naashir
al-Sunnah. Tapi bisa jadi naashir al-Hadis.
Karena Hadis dan Sunnah, itu
berbeda. Kalau Sunnah, itu apa-apa yang disandarkan kepada Nabi saat beliau
masih hidup. Sedangkan Hadis, itu sudah berita. Yakni berita tentang Sunnah itu
sendiri. Sehingga untuk menelusuri Sunnah Nabi, salah satunya melalui
Hadis-Hadis sahih. Lebih detailnya, insya Allah di belakang.
Menurut Sejarah, sejak awal masa
Abbasiyah (750 – 1258 M), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang
menolak Sunnah Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka kemudian
dilabel sebagai kelompok munkir al-Sunnah itu.
Bahkan Imam Syafi’i (w. 204 H/ 820
M) sendiri dalam kitabnya Al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Profesor
Syuhudi Ismail dalam Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya
(1995), membagi kelompok munkir al-Sunnah menjadi tiga. Yaitu pertama,
yang menolak seluruh Sunnah; kedua, menolak Sunnah kecuali memiliki kesamaan
dengan petunjuk Qur’an; dan ketiga, menolak semua Sunnah yang berstatus Ahad
tetapi menerima yang muttawatir saja.
Di sini saya cuma ingin menunjukkan
bahwa, Imam Syafi’i yang wafat pada 204 H, itu pun telah berhadapan dengan
kelompok yang dilabel munkir al-Sunnah tersebut. Artinya, secara fakta
historis, istilah munkir al-Sunnah, itu sudah dikenal sejak awal abad ke-3
Hijrah tersebut. Sementara Hadis ‘Ada laki-laki yang duduk dalam keadaan
kenyang’, itu baru muncul setelahnya. Yakni pertama muncul dalam kitab Imam
Ahmad yang wafat 241 H. Jadi Hadis tersebut, semacam Hadis tandingan bagi
kelompok munkir al-Sunnah.
Secara fakta historis, Hadis ‘Ada
laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang’ itu cukup mencurigakan. Karena pada
kitab-kitab Hadis yang lebih dahulu, Hadis tersebut tidak muncul. Imam Abu
Hanifah (w. 148 H), Imam Malik (w. 179 H di Madinah), dan Imam Syafi’i (w. 204
H) sendiri tidak meriwayatkan Hadis itu. Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim
(w. 261 H), Imam al-Tirmidzi (w. 279 H), dan Imam al-Nasa’i (w. 303 H) juga
tidak meriwayatkannya.
Sekali lagi, Hadis ‘Ada
laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang’ itu hanya diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H di Baghdad, Iraq), Imam Abu Dawud (w. 275 H di
Bashrah, Iraq), dan Imam Ibnu Majah (w. Ibnu Majah (w. 275H di Qazvin, Iran). Sehingga
secara kronologis, sangat belakangan. Dan secara geografis, cukup jauh dengan
sumber Sejarah, yaitu Nabi yang wafat di Madinah tahun 13 H.
Sekali lagi, ujug-ujug
menolak semua Hadis, menurut saya itu berlebihan. Tendensius. Tetapi sebaliknya.
Mengatakan Sunnah Nabi adalah wahyu, juga berlebihan. Apalagi mengatakan
Hadis-Hadis Nabi adalah wahyu atau penulisnya terinspirasi oleh wahyu, menurut
saya, tak kalah tendensiusnya. Sebaiknya, jadilah moderat (ummatan wasathan). Yang
meletakkan Qur’an dan Hadis pada posisinya masing-masing.
Yaitu Qur’an sebagai rujukan
doktrin Islam yang pertama dan utama. Dan Hadis-Hadis sahih, sebagai rujukan
doktrin Islam yang nomor dua, satu tingkat di bawah Qur’an. Qur’an yang qath’iy
(pasti keluar dari mulut Rasulullah), dan Hadis-Hadis yang zhanniy
(diduga dari Rasulullah).
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar