Rabu, 01 Januari 2020

KRITIK MATAN HADIS WAHYU


~ Saiful Islam ~

“Secara fakta historis, kronologis, dan geografis, saya mencium bau tendensius pada Hadis wahyu itu…”

Pertama. Jika saya coba menerapkan kaidah al-jam’ wa al-tawfiq (menggabungkan atau mengkompromikan) maka hasilnya seperti tulisan sebelumnya YANG SEMISAL AL-QUR’AN. Saya termasuk yang tidak percaya bahwa ada Hadis yang bisa menasikh (menghapus hukum) Qur’an. Jangankan yang menasikh. Hadis yang membatasi keumuman dan kekhususan Qur’an saja, saya sulit menerima.

Lantas ada yang mempermasalahkan. Karena redaksi pengharaman Qur’an terhadap makanan, "TIDAK aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, KECUALI kalau makanan itu bangkai…” (QS.6:145). Atau redaksi QS.5:1 yang menyebut bahwa semua binatang ternak itu ASALNYA HALAL dimakan, KECUALI yang akan dibacakan pada QS.5 ayat 3.

Menurutnya, Hadis riwayat Imam Ahmad dan Baihaqiy ini menasakh (menghapus) hukum ayat di atas. Yaitu Hadis: “Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa.” Atau Hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”

Tentu, itu tidak benar. Menurut saya, prinsip Qur’an bahwa makanan yang boleh dimakan itu adalah yang halal, baik, dan tidak berlebihan (QS.5:87-88 dan QS.2:168), itu sudah cukup untuk menentukan boleh tidaknya ikan-ikan di laut itu dimakan. Meski ikan laut, kalau tidak baik bagi kesehatan menurut Sains, maka haram dimakan. Misalnya daging dan sirip ikan hiu dan ikan jenis orange roughy. Atau jika dimakan menyebabkan kepunahan, seperti tuna jenis hon-maguro. Bisa jadi, lantas tidak boleh dimakan. Karena termasuk mengkonsumsi berlebih-lebihan.

Bangkai yang disebut Qur’an, itu maksudnya busuknya itu. Bukan matinya. Jadi meskipun ikan mujaer, lele, kakap, kerapu, dan ikan gabus misalnya, kalau busuk, maka hukumnya menjadi haram dimakan. Begitu juga darah. Haramnya itu karena kotor. Menjijikkan. Rijs atau fisq, kalau istilah Qur’an (QS.6:145). Tidak baik atau mencelakakan bagi manusia. Baik secara fisik maupun psikis.

Begitu juga soal darah. Tidak benar kalau Hadis tersebut menasakh. Yang dimaksud QS.6:145 adalah darah yang mengalir. Sekali lagi, yang mengalir. Tentu saja, hati dan limpa, tidak termasuk yang haram itu. Karena tidak ada yang mengalir. Artinya, hanya dengan QS.6:145 saja, itu pun kita sudah bisa menentukan halalnya hati dan limpa sapi dan kambing, misalnya. Lalu bagaimana darah yang awalnya mengalir, kemudian digoreng sehingga membeku menjadi ‘dede’ (kata orang Tangkong, Banyuwangi)? Menurut saya, Haram. Karena aslinya dede itu adalah darah yang mengalir.

Okelah. Itu yang pertama.

Kedua. Saya akan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Baik versi Imam Ahmad maupun Abu Dawud, terdapat redaksi, “Ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang di tempat duduknya..” Saya mengendus, ini adalah Hadis untuk menyerang kelompok yang dilabel ‘munkir al-Sunnah’ atau ‘inkar al-Sunnah’. Dengan kata lain, Hadis tersebut, itu semacam Hadis tandingan.

Gambaran di atas tampak lebih jelas pada Hadis Ibnu Majah. Tepatnya pada kalimat: “Diceritakan kepada laki-laki itu sebuah Hadis dariku, namun ia berkata; 'antara kami dan kalian adalah kitabullah (Qur’an)…” Laki-laki yang diceritakan di sini, tampaknya menolak semua Hadis-Hadis Nabi dan hanya berpegangan dengan Qur’an saja.

Lalu dibuatlah Hadis tersebut agar, secara umum, bisa mempengaruhi orang-orang agar tidak hanya berpegang pada Qur’an saja. Supaya tidak memutuskan hukum hanya berlandaskan ayat Qur’an saja. Tapi juga dengan Hadis-Hadis. Atau paling tidak mempertimbangkan informasi di dalam Hadis-Hadis.

Sehingga yang menentang kelompok ‘munkir al-Sunnah’ itu, dikenal dengan nama ‘naashir al-Sunnah’. Yakni penolong Sunnah Nabi. Menurut saya, ujug-ujug menolak seluruh Hadis, itu tidak benar. Tapi sebaliknya. Saya juga tidak sependapat ada kelompok yang malabel dirinya ‘naashir al-Sunnah’. Bagi saya, Imam al-Syafi’i, itu bukan naashir al-Sunnah. Tapi bisa jadi naashir al-Hadis.

Karena Hadis dan Sunnah, itu berbeda. Kalau Sunnah, itu apa-apa yang disandarkan kepada Nabi saat beliau masih hidup. Sedangkan Hadis, itu sudah berita. Yakni berita tentang Sunnah itu sendiri. Sehingga untuk menelusuri Sunnah Nabi, salah satunya melalui Hadis-Hadis sahih. Lebih detailnya, insya Allah di belakang.

Menurut Sejarah, sejak awal masa Abbasiyah (750 – 1258 M), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak Sunnah Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka kemudian dilabel sebagai kelompok munkir al-Sunnah itu.

Bahkan Imam Syafi’i (w. 204 H/ 820 M) sendiri dalam kitabnya Al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Profesor Syuhudi Ismail dalam Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (1995), membagi kelompok munkir al-Sunnah menjadi tiga. Yaitu pertama, yang menolak seluruh Sunnah; kedua, menolak Sunnah kecuali memiliki kesamaan dengan petunjuk Qur’an; dan ketiga, menolak semua Sunnah yang berstatus Ahad tetapi menerima yang muttawatir saja.

Di sini saya cuma ingin menunjukkan bahwa, Imam Syafi’i yang wafat pada 204 H, itu pun telah berhadapan dengan kelompok yang dilabel munkir al-Sunnah tersebut. Artinya, secara fakta historis, istilah munkir al-Sunnah, itu sudah dikenal sejak awal abad ke-3 Hijrah tersebut. Sementara Hadis ‘Ada laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang’, itu baru muncul setelahnya. Yakni pertama muncul dalam kitab Imam Ahmad yang wafat 241 H. Jadi Hadis tersebut, semacam Hadis tandingan bagi kelompok munkir al-Sunnah.

Secara fakta historis, Hadis ‘Ada laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang’ itu cukup mencurigakan. Karena pada kitab-kitab Hadis yang lebih dahulu, Hadis tersebut tidak muncul. Imam Abu Hanifah (w. 148 H), Imam Malik (w. 179 H di Madinah), dan Imam Syafi’i (w. 204 H) sendiri tidak meriwayatkan Hadis itu. Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Imam al-Tirmidzi (w. 279 H), dan Imam al-Nasa’i (w. 303 H) juga tidak meriwayatkannya.

Sekali lagi, Hadis ‘Ada laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang’ itu hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H di Baghdad, Iraq), Imam Abu Dawud (w. 275 H di Bashrah, Iraq), dan Imam Ibnu Majah (w. Ibnu Majah (w. 275H di Qazvin, Iran). Sehingga secara kronologis, sangat belakangan. Dan secara geografis, cukup jauh dengan sumber Sejarah, yaitu Nabi yang wafat di Madinah tahun 13 H.

Sekali lagi, ujug-ujug menolak semua Hadis, menurut saya itu berlebihan. Tendensius. Tetapi sebaliknya. Mengatakan Sunnah Nabi adalah wahyu, juga berlebihan. Apalagi mengatakan Hadis-Hadis Nabi adalah wahyu atau penulisnya terinspirasi oleh wahyu, menurut saya, tak kalah tendensiusnya. Sebaiknya, jadilah moderat (ummatan wasathan). Yang meletakkan Qur’an dan Hadis pada posisinya masing-masing.

Yaitu Qur’an sebagai rujukan doktrin Islam yang pertama dan utama. Dan Hadis-Hadis sahih, sebagai rujukan doktrin Islam yang nomor dua, satu tingkat di bawah Qur’an. Qur’an yang qath’iy (pasti keluar dari mulut Rasulullah), dan Hadis-Hadis yang zhanniy (diduga dari Rasulullah).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...