Rabu, 22 Januari 2020

BID’AH TEOLOGIS


—Saiful Islam—

“Menghidupkan Sunnah Nabi, berarti menghidupkan ajaran dan tuntunan Qur’an…”

Seorang kawan share sebuah tulisan yang berjudul MENGHIDUPKAN SUNNAH NABI. Pendapat dari beberapa nama ulama besar dan terkenal, dikutip di sana. Intinya adalah dengan berdasar QS.3:31, ingin menyampaikan bahwa semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi itu wajib diikuti. Jika seseorang benar-benar mencintai Allah. Marilah kita kutip dulu ayatnya.

QS. Ali Imran[3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): "JIKA KALIAN (BENAR-BENAR) MENCINTAI ALLAH, IKUTILAH AKU. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

OK. Kalau yang dimaksud adalah semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah yang berupa Sunnah (praktik aktual), kita memang wajib mengikuti dan mentaati secara totalitas. Seratus persen. Sami’naa wa atho’naa. Sebab mengikuti Rasul, berarti mengikuti Qur’an. Sehingga yang dimaksud ayat, “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku,” itu berarti mengikuti Qur’an. Atau mengikuti Rasulullah. Bukan ujug-ujug mengikuti Hadis.

Yeng jelas, dan yang pasti, adalah pada saat Rasulullah hidup dengan para Sahabatnya di awal abad 7 Masehi (abad1 Hijrah), itu Hadis-Hadis itu tidak ada. Sehingga tidak mungkin yang dimaksud QS.3:31, itu mengikuti Hadis-Hadis. Pasti yang dimaksud bukan mengikuti Hadis-Hadis. Kita bisa jadi mengikuti Hadis-Hadis, tetapi setelah proses kritik historis, kritik sanad, kritik matan, dan kritik Ma’anil Hadis.

Sebaiknya jangan menyebar Hadis, kalau tidak paham how to deal with Hadith sebagaimana dibahas dalam Ulumul Hadis. Kita butuh paling tidak empat tahun untuk belajar Ulumul Hadis di kampus. Itu pun belum tentu paham. Kalau cuma mengutip Hadis riwayat A, riwayat B, riwayat C, itu memang gampang. Tetapi cara menyikapinya, itu yang tidak gampang. Umat Islam ruwet sendiri, tukarang sendiri, tidak rukun, tidak akur, tampaknya memang gampangan menyebar Hadis sesuati dengan kepentingan kelompoknya, tetapi tidak paham cara menyikapi Hadis itu sendiri.

Perhatikan ayat QS.3:31 itu sekali lagi. “Kalau kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” Kita mencintai Allah, itu harus berdasar pengetahuan tentang Allah yang benar. Dari mana pengetahuan yang benar tentang Allah? Tentu saja, kalau kita mengaku Islam, pengetahuan tentang Allah yang benar, itu hanya dan hanya berasal dari Rasulullah. Karena Rasulullah pasti dan pasti, pengetahuan tentang Allah beliau SAW, itu merujuk Qur’an. Rasul tidak pernah ngarang-ngarang tentang Allah.

Dengan kata lain, cinta kepada Allah, itu dasarnya adalah pengetahuan yang benar tentang Allah. Pengetahuan tentang Allah tersebut, hanya bersumber dari Qur’an. Ketika proses pewahyuan, sumber informasi tentang Allah, itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Kini, beliau sudah wafat. Tetapi Qur’an sudah komplit. Maka kalau kita ingin tahu informasi yang benar tentang Allah, harus dan wajib merujuknya hanya kepada Qur’an. Ini yang pasti 100 persen benarnya. Bukan merujuk selain Qur’an.

Berbicara tentang Allah, tanpa merujuk Qur’an, itu cenderung salah dan mengada-ada tentang Allah. Saya sebut bid’ah teologis. Di kalangan masyarakat awam, ini banyak terjadi. Misalnya yang sudah pernah saya ceritakan, tentang Allah bisa saja menjadi kucing karena Dia Maha Kuasa. Di kalangan sarjana, pun saya tidak menjamin tidak ada yang kepeleset. Yaitu mengutip Hadis-Hadis tentang teologis yang ternyata tidak ada cantolan Qur’annya. Seperti cerita Imam Mahdi.

Menurut saya, supaya akidah kita selamat, supaya teologis kita benar, rujukan satu-satunya sebagai umat Islam tentang keimaman ini adalah Qur’an. Titik! Rujukan-rujukan selain Qur’an, itu sangat rawan sekali salah. Dan kesalahan dalam ranah teologis ini, menurut saya bisa fatal sekali akibatnya. Jadi ekstra hati-hati dengan mencari rujukan primernya terlebih dahulu, Qur’an, menurut saya adalah langkah yang paling tepat.

Jangankan merujuk Qur’an. Merujuk literatur Hadis saja, itu ulama Hadis dan ulama Ushul, sudah berbeda tentang mengartikan Hadis. Kalau ulama Ushul, itu tidak semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi wajib diikuti. Yang wajib diikuti hanyalah yang terkait dengan hukum-hukum tasyri’ atau syariat saja. Karenanya ada Hadis Tasyri’ dan ada Hadis Ghayr Tasyri’.

Memang tidak mungkin semua Hadis yang disandarkan kepada Nabi, itu wajib diikuti. Dan semua yang baru (modern) yang belum ada pada zaman Nabi, dianggap bid’ah. Tentu tidak seperti itu. Mustahil punya istri orang Jawa atau Madura misalnya, dianggap bid’ah dengan alasan istri Nabi adalah orang Arab. Nanti HP, laptop, sepeda ontel, sepeda motor, mobil, pesawat, jam tangan, batik, celana jeans, kaos oblong, buku-buku, internet, AI, bakso, gado-gado, pecel, penyetan, bisa bid’ah semua.

Jadi yang dimaksud, “Ikutilah aku,” pada QS.3:31, itu adalah ikutilah Rasulullah. Yakni ikutilah pribadi Muhammad yang ucapannnya, perbuatannya, ketetapan, prinsip-prinsipnya, hukum-hukumnya, dan seterusnya, yang selalu bersandar kepada Qur’an. Rasul yang menyampaikan Qur’an, dan atau Sunnah-Sunnah beliau yang selalu terinspirasi oleh Qur’an. Dan informasi Sunnah-Sunnah Rasul itu, sudah tergambar jelas pada ayat-ayat Qur’an.

Lebih jelas bahwa yang dimaksud “ikutilah aku,” itu adalah ikuti dan taati Rasulullah, disebutkan dalam ayat selanjutnya. Berikut ini.

QS. Ali Imran[3]: 32
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah (Muhammad): "TAATILAH ALLAH DAN RASUL-NYA. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Jadi, taatilah Allah, itu ya taatilah Allah berdasar informasi dalam Qur’an. Taatilah Rasul-Nya, maksudnya taatilah Nabi Muhammad yang selalu memutuskan perkara di antara manusia berdasar Qur’an. Terutama, mentaati Rasul, itu mengimani apa yang menjadi dasar segala ucapan, perbuatan, ketetapan, dan hukum beliau, yakni Qur’an. Sehingga taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, itu sejatinya adalah taatilah Qur’an. Pasti salahnya kalau taat kepada Rasul-Nya, langsung ujug-ujug diwajibkan taat kepada Hadis-Hadis.

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia,” QS.68:4. Nabi Muhammad memiliki budi pekerti yang agung, itu betul sekali. Benar banget. Baik sebelum menjadi Rasul, lebih-lebih setelah jadi Rasul. Dan QS.68:4, ini titik tekannya adalah setelah Nabi menjadi Rasul. Perhatikan ayat sebelumnya QS.68:2, “Dengan karunia Tuhanmu (Al-Qur’an), engkau bukanlah orang gila.” Nabi memang dituduh oleh para kafirin sebagai orang gila, itu ya karena beliau SAW menyampaikan Qur’an itu.

Rasulullah, itu memang memiliki akhlak yang sangat mulia. Terpuji. Tinggi. Berbudi pekerti luhur. Karenanya dijadikan contoh dan teladan bagi kita umatnya. “Sungguh telah ada pada Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian…,” QS.33:21.
Dan semua akhlak Rasulullah SAW yang sangat mulia, tinggi dan agung, itu telah diabadikan oleh Allah di dalam Qur’an. Seperti kasih sayang, cinta, mengutamakan orang lain, memberi, berkorban, kesatria, saling menasehati dan saling menolong dalam kebaikan, efisiensi waktu, sabar, ikhlas, rendah hati, tawakkal, berani, pantang menyerah, menghormati sesama, rukun, bersatu, service excellent, pantag zhalim, pantang meminta-minta, pantang pengecut, pantang gampang marah, pantang egois, pantang tamak, rakus, sombong, dan seterusnya.

Silakan rujuk ajaran doktrin yang luar biasa itu, semuanya telah ada di dalam Qur’an. Sehingga kalau kita benar-benar meneladani Sunnah Nabi SAW, mengikuti Nabi, mentaati, dan mencintai beliau Rasulullah SAW, marilah dengan sekuat tenaga menjadikan Qur’an sebagai prinsip totalitas dalam kehidupan kita. Jangan mengikuti jalan-jalan lain selain Qur’an. Karena sangat bisa menyesatkan kita dari jalan-Nya, sambil menyangka dapat hidayah. Padahal bukan. Dan bisa mencerai-beraikan umat Islam itu sendiri.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...