—Saiful Islam—
“Menghidupkan Sunnah Nabi, berarti
menghidupkan ajaran dan tuntunan Qur’an…”
Seorang kawan share sebuah
tulisan yang berjudul MENGHIDUPKAN SUNNAH NABI. Pendapat dari beberapa nama
ulama besar dan terkenal, dikutip di sana. Intinya adalah dengan berdasar
QS.3:31, ingin menyampaikan bahwa semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi
itu wajib diikuti. Jika seseorang benar-benar mencintai Allah. Marilah kita
kutip dulu ayatnya.
QS. Ali Imran[3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): "JIKA
KALIAN (BENAR-BENAR) MENCINTAI ALLAH, IKUTILAH AKU. Niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
OK. Kalau yang dimaksud adalah
semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah yang berupa Sunnah (praktik
aktual), kita memang wajib mengikuti dan mentaati secara totalitas. Seratus persen.
Sami’naa wa atho’naa. Sebab mengikuti Rasul, berarti mengikuti Qur’an.
Sehingga yang dimaksud ayat, “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku,” itu
berarti mengikuti Qur’an. Atau mengikuti Rasulullah. Bukan ujug-ujug mengikuti
Hadis.
Yeng jelas, dan yang pasti, adalah
pada saat Rasulullah hidup dengan para Sahabatnya di awal abad 7 Masehi (abad1
Hijrah), itu Hadis-Hadis itu tidak ada. Sehingga tidak mungkin yang dimaksud
QS.3:31, itu mengikuti Hadis-Hadis. Pasti yang dimaksud bukan mengikuti
Hadis-Hadis. Kita bisa jadi mengikuti Hadis-Hadis, tetapi setelah proses kritik
historis, kritik sanad, kritik matan, dan kritik Ma’anil Hadis.
Sebaiknya jangan menyebar Hadis,
kalau tidak paham how to deal with Hadith sebagaimana dibahas dalam
Ulumul Hadis. Kita butuh paling tidak empat tahun untuk belajar Ulumul Hadis di
kampus. Itu pun belum tentu paham. Kalau cuma mengutip Hadis riwayat A, riwayat
B, riwayat C, itu memang gampang. Tetapi cara menyikapinya, itu yang tidak
gampang. Umat Islam ruwet sendiri, tukarang sendiri, tidak rukun, tidak akur,
tampaknya memang gampangan menyebar Hadis sesuati dengan kepentingan
kelompoknya, tetapi tidak paham cara menyikapi Hadis itu sendiri.
Perhatikan ayat QS.3:31 itu sekali
lagi. “Kalau kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” Kita mencintai Allah,
itu harus berdasar pengetahuan tentang Allah yang benar. Dari mana pengetahuan
yang benar tentang Allah? Tentu saja, kalau kita mengaku Islam, pengetahuan
tentang Allah yang benar, itu hanya dan hanya berasal dari Rasulullah. Karena
Rasulullah pasti dan pasti, pengetahuan tentang Allah beliau SAW, itu merujuk
Qur’an. Rasul tidak pernah ngarang-ngarang tentang Allah.
Dengan kata lain, cinta kepada
Allah, itu dasarnya adalah pengetahuan yang benar tentang Allah. Pengetahuan
tentang Allah tersebut, hanya bersumber dari Qur’an. Ketika proses pewahyuan,
sumber informasi tentang Allah, itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Kini,
beliau sudah wafat. Tetapi Qur’an sudah komplit. Maka kalau kita ingin tahu
informasi yang benar tentang Allah, harus dan wajib merujuknya hanya kepada Qur’an.
Ini yang pasti 100 persen benarnya. Bukan merujuk selain Qur’an.
Berbicara tentang Allah, tanpa
merujuk Qur’an, itu cenderung salah dan mengada-ada tentang Allah. Saya sebut
bid’ah teologis. Di kalangan masyarakat awam, ini banyak terjadi. Misalnya yang
sudah pernah saya ceritakan, tentang Allah bisa saja menjadi kucing karena Dia
Maha Kuasa. Di kalangan sarjana, pun saya tidak menjamin tidak ada yang
kepeleset. Yaitu mengutip Hadis-Hadis tentang teologis yang ternyata tidak ada
cantolan Qur’annya. Seperti cerita Imam Mahdi.
Menurut saya, supaya akidah kita selamat,
supaya teologis kita benar, rujukan satu-satunya sebagai umat Islam tentang
keimaman ini adalah Qur’an. Titik! Rujukan-rujukan selain Qur’an, itu sangat
rawan sekali salah. Dan kesalahan dalam ranah teologis ini, menurut saya bisa
fatal sekali akibatnya. Jadi ekstra hati-hati dengan mencari rujukan primernya
terlebih dahulu, Qur’an, menurut saya adalah langkah yang paling tepat.
Jangankan merujuk Qur’an. Merujuk
literatur Hadis saja, itu ulama Hadis dan ulama Ushul, sudah berbeda tentang
mengartikan Hadis. Kalau ulama Ushul, itu tidak semua ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi wajib diikuti. Yang wajib diikuti hanyalah yang terkait dengan
hukum-hukum tasyri’ atau syariat saja. Karenanya ada Hadis Tasyri’ dan ada
Hadis Ghayr Tasyri’.
Memang tidak mungkin semua Hadis
yang disandarkan kepada Nabi, itu wajib diikuti. Dan semua yang baru (modern)
yang belum ada pada zaman Nabi, dianggap bid’ah. Tentu tidak seperti itu.
Mustahil punya istri orang Jawa atau Madura misalnya, dianggap bid’ah dengan
alasan istri Nabi adalah orang Arab. Nanti HP, laptop, sepeda ontel, sepeda
motor, mobil, pesawat, jam tangan, batik, celana jeans, kaos oblong, buku-buku,
internet, AI, bakso, gado-gado, pecel, penyetan, bisa bid’ah semua.
Jadi yang dimaksud, “Ikutilah aku,”
pada QS.3:31, itu adalah ikutilah Rasulullah. Yakni ikutilah pribadi Muhammad
yang ucapannnya, perbuatannya, ketetapan, prinsip-prinsipnya, hukum-hukumnya,
dan seterusnya, yang selalu bersandar kepada Qur’an. Rasul yang menyampaikan
Qur’an, dan atau Sunnah-Sunnah beliau yang selalu terinspirasi oleh Qur’an. Dan
informasi Sunnah-Sunnah Rasul itu, sudah tergambar jelas pada ayat-ayat Qur’an.
Lebih jelas bahwa yang dimaksud “ikutilah
aku,” itu adalah ikuti dan taati Rasulullah, disebutkan dalam ayat selanjutnya.
Berikut ini.
QS. Ali Imran[3]: 32
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ
وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْكَافِرِينَ
Katakanlah (Muhammad): "TAATILAH
ALLAH DAN RASUL-NYA. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir".
Jadi, taatilah Allah, itu ya
taatilah Allah berdasar informasi dalam Qur’an. Taatilah Rasul-Nya, maksudnya
taatilah Nabi Muhammad yang selalu memutuskan perkara di antara manusia
berdasar Qur’an. Terutama, mentaati Rasul, itu mengimani apa yang menjadi dasar
segala ucapan, perbuatan, ketetapan, dan hukum beliau, yakni Qur’an. Sehingga
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, itu sejatinya adalah taatilah Qur’an.
Pasti salahnya kalau taat kepada Rasul-Nya, langsung ujug-ujug diwajibkan taat
kepada Hadis-Hadis.
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar memiliki akhlak yang mulia,” QS.68:4. Nabi Muhammad memiliki
budi pekerti yang agung, itu betul sekali. Benar banget. Baik sebelum menjadi
Rasul, lebih-lebih setelah jadi Rasul. Dan QS.68:4, ini titik tekannya adalah
setelah Nabi menjadi Rasul. Perhatikan ayat sebelumnya QS.68:2, “Dengan karunia
Tuhanmu (Al-Qur’an), engkau bukanlah orang gila.” Nabi memang dituduh oleh para
kafirin sebagai orang gila, itu ya karena beliau SAW menyampaikan Qur’an itu.
Rasulullah, itu memang memiliki
akhlak yang sangat mulia. Terpuji. Tinggi. Berbudi pekerti luhur. Karenanya dijadikan
contoh dan teladan bagi kita umatnya. “Sungguh telah ada pada Rasulullah itu
teladan yang baik bagi kalian…,” QS.33:21.
Dan semua akhlak Rasulullah SAW yang
sangat mulia, tinggi dan agung, itu telah diabadikan oleh Allah di dalam Qur’an.
Seperti kasih sayang, cinta, mengutamakan orang lain, memberi, berkorban,
kesatria, saling menasehati dan saling menolong dalam kebaikan, efisiensi
waktu, sabar, ikhlas, rendah hati, tawakkal, berani, pantang menyerah,
menghormati sesama, rukun, bersatu, service excellent, pantag zhalim,
pantang meminta-minta, pantang pengecut, pantang gampang marah, pantang egois,
pantang tamak, rakus, sombong, dan seterusnya.
Silakan rujuk ajaran doktrin yang
luar biasa itu, semuanya telah ada di dalam Qur’an. Sehingga kalau kita
benar-benar meneladani Sunnah Nabi SAW, mengikuti Nabi, mentaati, dan mencintai
beliau Rasulullah SAW, marilah dengan sekuat tenaga menjadikan Qur’an sebagai
prinsip totalitas dalam kehidupan kita. Jangan mengikuti jalan-jalan lain
selain Qur’an. Karena sangat bisa menyesatkan kita dari jalan-Nya, sambil
menyangka dapat hidayah. Padahal bukan. Dan bisa mencerai-beraikan umat Islam
itu sendiri.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar