~ Saiful Islam ~
“Info Allah kepada Nabi SAW, itu tidak
selalu berupa ayat-ayat qowliyah (wahyu teologis Jibril). Tetapi bisa juga
berupa ayat-ayat kawniyah, realitas…”
Berikut ini adalah argumen kedua Profesor
Azami yang menyimpulkan bahwa Sunnah/Hadis Nabi adalah wahyu yang berdiri
sendiri selain Qur’an.
QS. Al-Tahrim[66]: 3
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ
إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ
عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ
هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
Dan ingatlah ketika Nabi
membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu
peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan
Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan
menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad)
memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya:
"Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab:
"Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal."
Ayat ini menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW berbicara hal yang rahasia kepada sejumlah istri-istrinya.
Tetapi istri yang diajak bicara itu mengira bahwa hal itu bukan rahasia, atau
paling tidak, tidak ada salahnya kalau diceritakan kepada orang lain. Dan
begitulah ia menceritakannya kepada orang lain. Kemudian Allah memberitahu Nabi
tentang hal itu. Nabi juga diberitahu kalimat-kalimat yang dibocorkan. Ketika
istri tadi ditegur Nabi, ia bertanya, “Siapakah yang memberitahukan hal itu
kepadamu?” Nabi menjawab, “Allah-lah yang memberitahukan hal itu kepadaku.”
Kejadian ini menunjukkan bahwa
Allah memberitahu Nabi tentang pembicaraan rahasia yang dibocorkan oleh
sebagian istrinya. Padahal al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan apa yang
diceritakan Nabi kepada istrinya, sebagaimana juga tidak menjelaskan apa yang
dibocorkan oleh istrinya itu. Bayangkan, apakah ada ayat yang tertinggal sehingga
tidak termaktub dalam al-Qur’an, atau Nabi diberitahu melalui wahyu yang tidak
tertulis. Apabila kita mengatakan ada ayat al-Qur’an yang tertinggal, maka ini
bertentangan dengan maksud ayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
dipelihara oleh Allah.
QS. Al-Hijr[15]: 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Kalau begitu, Nabi mesti diberitahu
melalui wahyu yang tidak tertulis.
*****
Baiklah. Berikut tanggapan saya.
Pertama. Kalau sebuah
info, itu tidak ada dalam Qur’an, maka tidak perlu menyimpulkan bahwa info
tersebut adalah wahyu. Karena memang tidak ada. Tidak perlu juga menyimpulkan
bahwa info tersebut adalah wahyu teologis lain selain Qur’an.
Juga merupakan hak Allah mau
mengutip seluruh perjalanan hidup Nabi dalam Qur’an, atau hanya sebagian saja.
Tidak ada keharusan bagi Allah untuk mengutip semua kisah hidup Nabi. Jadi,
kalau rahasia itu dan pembocorannya tidak diceritakan dalam Qur’an, itu tidak
berarti lantas Qur’an dianggap tidak komplit. Atau diduga-duga sendiri bahwa
Nabi mendapatkan wahyu teologis Jibril lain selain Qur’an.
Dibaca dulu tulisan sebelumnya
WAHYU KEPADA NABI. Di situ saya sudah menulis bahwa secara bahasa, sebenarnya
tidak ada yang istimewa dengan wahyu. Wahyu itu hanyalah tanda-tanda yang
mengandung pesan. Barulah secara teologis, wahyu itu menjadi istimewa. Yaitu
pesan Tuhan kepada seseorang yang Dia pilih (al-mushtofa) melalui media
tertentu. Dan wahyu kepada Nabi SAW itu hanya langsung kepada jiwa (hati/kalbu/psikis)
Nabi yang dibawa oleh Jibril.
Tinjau pula tulisan sebelumnya WAHYU
TAK SELALU ONLINE. Proses pewahyuan kepada Nabi, itu terjadi secara gradual.
Historis, periodik selama kurang lebih 23 tahun. Nabi itu kadang mendapat
wahyu, kadang tidak. Wahyu itu kadang nyambung, kadang terputus. Tak
selalu online.
Kedua. Pada QS.66:3
di atas, tidak ada petunjuk bahwa ada wahyu tak tertulis. Tidak ada keterangan
bahwa ada wahyu teologis lain selain Qur’an. Tidak ada juga penegasan bahwa
Sunnah Nabi adalah wahyu teologis lain selain Qur’an. Jadi secara tekstual,
tidak ada pernyataan Qur’an bahwa ada wahyu teologis yang tak tertulis. Tidak
ada keterangan ada wahyu teologis yang berdiri sendiri yang semisal atau setara
wahyu Qur’an.
QS.66:3 di atas, itu bercerita
bahwa Nabi pernah menginfokan berita rahasia kepada salah seorang istrinya
(Hafshah). Ternyata info dari Nabi tersebut dibocorkan kepada istrinya yang
lain (Aisyah). Allah menampakkan/memperlihatkan (azhharohulloohu)
peristiwa pembocoran itu kepada Nabi. Kemudian istri yang membocorkan rahasia
itu bertanya kepada Nabi, siapa yang menginfokan pembocoran rahasia itu kepada
beliau SAW. Lantas di jawab oleh Nabi, bahwa yang menginfokan adalah Allah.
Penting di sini untuk memahami
penggalan kalimat dalam QS.66:3 itu: azhharohulloohu ‘alayh (Allah
memperlihatkan atau menampakkannya kepada Nabi). Dari kata zhahara dalam
Lisan al-‘Arab, artinya adalah lawan kata yang tersembunyi (al-zhahr
khilaaf al-baathin). Jika dibuat muta’aadi (kata kerja yang
membutuhkan objek) menjadi azhharo, berarti al-iththilaa’
(menampakkan atau memperlihatkan).
Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an, kata yuzhhiru pada QS.72:26, itu diartikan
dengan athla’a (memperlihatkan/menampakkan). “Dia (Allah) Mengetahui
yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan (yuzhhiru) kepada siapa pun tentang
yang gaib itu.” Sedangkan Al-Munawwir mengartikan azhharo
al-syay’ dengan memperlihatkan dan melahirkan.
Selain itu, dalam QS.66:3 itu, ada
kata nabba’a. Di dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, al-naba’
khobar dzu faaidah ‘azhiimah yahshul bih ‘ilm aw gholabat zhann. Yakni al-naba’
adalah berita yang sangat bermanfaat yang menghasilkan pengetahuan (ilmu) atau
dugaan kuat. Berita biasa yang tidak memenuhi tiga syarat tersebut, tidak layak
disebut al-naba’.
Pembocoran rahasia itu, menggunakan
redaksi naba’ (falammaa nabba’at bih). Nabi mengkonfirmasikan
pembocoran itu kepada istrinya (Hafshah) tersebut, juga menggunakan naba’
(falammaa nabba’ahaa bih). Kemudian Nabi ditanya, siapa yang menginfokan
pembocoran itu, juga menggunakan redaksi naba’ (man anba’ak?).
Lantas, Nabi menjawab bahwa yang menginfokan pembocoran rahasia itu adalah
Allah. Di sini Nabi pun menggunakan redaksi naba’ (nabba’aniy
al-‘Aliim).
Memang betul yang memberi
pengetahuan pembocoran itu kepada Nabi adalah Allah. Dengan menggunakan redaksi
nabba’aniy al-‘Aliim itu. Tetapi ingat. Sebelum redaksi nabba’aniy
al-‘Aliim, itu sebelumnya sudah ada redaksi wa azhharohulloohu ‘alayh.
Yakni Allah telah memperlihatkan peristiwa pembocoran itu kepada Nabi. Allah
telah menampakkannya.
Nah, Allah menampakkannya itu,
tidak berarti Nabi pasif. Tidak berarti Allah memperlihatkan pembocoran itu
melalui wahyu teologis melalui Jibril. Tidak. Tetapi Allah memperlihatkan
peristiwa pembocoran itu langsung kepada Nabi melalui peristiwanya itu sendiri.
Jadi Nabi menyaksikan dengan panca indra beliau sendiri, saat istrinya
(Hafshah) itu sedang membocorkan rahasia tersebut kepada istri Nabi yang lain.
Dan tampaknya istrinya itu tidak mengetahui Nabi menyaksikannya.
Atau Nabi mengetahui pemborocan
rahasia tersebut melalui sebab akibat yang biasa terjadi. Jadi misal seseorang
laki-laki R mempunyai istri A dan B. Laki-laki R ini menceritakan sebuah
rahasia hanya kepada A. Tiba-tiba B tahu persis detail rahasia itu. Pastilah si
laki-laki R ini dengan pasti menyimpulkan. Bahwa yang membocorkan rahasia itu,
pasti si A. Kemudian istri A tanya: “Siapa yang memberi tahu Anda bahwa saya
yang membocorkannya?” Laki-laki R itu pun lantas menjawab, “Yang memberi tahuku
adalah Yang Maha Tahu (Allah).”
Jadi, pengetahuan Nabi, itu berasal
dari ayat-ayat kawniyah. Kesimpulan beliau SAW bahwa yang menginfokan
adalah Allah, itu berdasar data-data dan fakta-fakta sebelumnya. Persis seorang
detektif yang menyimpulkan sesuatu berdasar fakta-fakta terdahulu yang sesuai
dengan kausalitas. Meskipun Nabi menyatakan bahwa yang menginfokan adalah
Allah, tidak berarti telah ada wahyu sebelumnya secara teologis. Analoginya,
seperti ayat berikut.
QS. Al-Maidah[5]: 4
سْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ
لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu:
"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan
bagimu yang baik-baik DAN (BURUAN YANG DITANGKAP) OLEH ANJING (HEWAN BUAS) YANG
TELAH KAMU AJAR DENGAN MELATIHNYA UNTUK BERBURU. KAMU MENGAJARNYA MENURUT APA
YANG TELAH DIAJARKAN ALLAH KEPADAMU. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu. Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.
Perhatikan kalimat QS.5:4 di atas: KAMU
MENGAJARNYA MENURUT APA YANG TELAH DIAJARKAN ALLAH KEPADAMU. Mereka bisa
melatih anjing untuk berburu diajari atau diberi info oleh siapa? Jelas,
jawabannya adalah oleh Allah. Ya, Allah lah yang memberi info kepada mereka
teknis melatih anjing secara profesional itu.
Apakah deskripsi pengajaran Allah
terkait teknis melatih anjing itu, secara detail ada ayat Qur’annya? Tentu,
TIDAK ADA! Allah memang yang mengajar mereka teknis melatih anjing secara
profesional itu. Tetapi BUKAN melalui wahyu teologis. Melainkan melalui
realitas (ayat kawniyah). Atau melalui Sains dan Teknologi.
Jadi misalnya saya belajar dari
internet cara melatih anjing berburu secara profesional. Sampai mahir. Lantas saya
praktekkan. Sampai si anjing benar-benar canggih dalam berburu.
Kemudian, ada orang bertanya: “Mas.
Siapa yang memberi info Anda melatih anjing itu? Siapa yang mengajari Anda
melatih anjing?” Dengan mantap saya menjawab, “Yang memberi info saya, yang
mengajari saya, adalah Yang Maha Mengetahui.” Itu tidak lantas disimpulkan,
bahwa saya mendapat wahyu teologis melalui Jibril, bukan?!
Jadi ketika Allah memberi info
kepada Nabi, itu tidak selalu melalui wahyu teologis melalui Jibril. Tidak selalu
dengan ayat-ayat qowliyah (Qur’an). Tetapi bisa juga Allah memberi info
kepada beliau SAW, itu melalui ayat-ayat kawniyah (realitas). Sehingga kalau
ada info kepada Nabi, dan teknis detailnya tidak disebut oleh Qur’an, itu tidak
boleh ujug-ujug disimpulkan: ada wahyu tak tertulis. Atau ada wahyu teologis lain
yang berdiri sendiri selain Qur’an.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar