Kamis, 23 Januari 2020

QUR’AN SABDA RASULULLAH


—Saiful Islam*—

“Hadis-Hadis dianggap wahyu teologis mandiri selain Qur’an, itu penyakit intelektual dan spiritual. Sangat berbahaya dalam beragama Islam umat…”

Rasulullah, itu adalah sosok yang selalu berdasar pada Qur’an. Rasulullah, itu seseorang yang selalu berpijak, berpatokan, dan berlandaskan Qur’an—satu-satunya firman Tuhan yang diwahyukan kepadanya. Action plan Rasulullah, itu adalah Qur’an. Bahkan sampai action Rasulullah, itu sendiri adalah Qur’an. Makanya ada Hadis, “Akhlak Rasulullah, itu adalah Qur’an.” Dengan ungkapan lain, Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.

Pikiran Rasulullah, itu kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Sikap Rasulullah, itu kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Perbuatan Rasulullah, itu kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Sampai ketetapan dan keputusan Rasulullah, itu kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terpinspirasi oleh Qur’an. Begitu juga, ketika Rasul memutuskan (menghukumi) suatu perkara di masyarakat, itu selalu Qur’an atau terinpirasi oleh Qur’an.

Mustahil Rasulullah memutuskan (menghakimi) perkara itu tidak berdasar Qur’an. Tidak mungkin soal akidah, syariat dan hukum, itu Rasulullah SAW sak karepe dewe. Mustahil. Sebab siapa pun yang menghukumi suatu perkara tidak berdasar wahyu Allah, maka ia adalah kafir, zalim, dan fasik. Seperti ditegaskan oleh QS.5:44-47. Nabi Musa menghukumi dengan Taurat, Nabi Isa dengan Injil. Tak terkecuali Nabi Muhammad. Beliau SAW pun menghukumi selalu dengan Qur’an. Diceritakan pada ayat berikutnya, QS.5:48 berikut.

QS. Al-Maidah[5]: 48
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan KAMI TELAH TURUNKAN KEPADAMU (MUHAMMAD) AL-QUR’AN dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya—yaitu Kitab-Kitab—dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu. MAKA PUTUSKANLAH (HUKUMILAH) PERKARA MEREKA MENURUT APA YANG ALLAH TURUNKAN (AL-QUR’AN) ITU. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya. Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Tidak ada satu pun ayat yang berbunyi misalnya, “Siapa yang menghukumi tidak berdasar Hadis-Hadis, maka ia kafir, zalim, fasik.” Tidak ada!

Selalu Qur’an, ini rasanya perlu saya perjelas. Sebab tak jarang saya mengamati. Ketika disebut Rasululllah dan Nabi—terutama yang terkait dengan hukum—tiba-tiba kita digiring kepada Hadis-Hadis. Kalau nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Hadis tersebut selaras dengan Qur’an, is OK. Sah-sah saja. Itu baru namanya penjelas. Tetapi tetap, tidak boleh berlebihan—terutama hal-hal gaib (metafisik).

Tetapi masalahnya, tidak dicek terlebih cantolan utamanya, Qur’an. Sehingga tampak sekali, Hadis-Hadis itu menjadi berdiri sendiri. Lagi-lagi karena dari awal, Hadis sudah dipastikan dari Rasul. Sampai puncak parahnya Hadis dianggap wahyu teologis mandiri selain Qur’an. Alamak! Hadis-Hadis dianggap wahyu teologis mandiri selain Qur’an, menurut saya, itu penyakit intelektual dan spiritual!! Sangat berbahaya dalam beragama Islam umat!!!

Marilah kita cermati ayat-ayat berikut.

QS. Al-Ahzab[33]: 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, APABILA ALLAH DAN RASUL-NYA TELAH MENETAPKAN SUATU KETETAPAN, AKAN ADA BAGI MEREKA PILIHAN (YANG LAIN) TENTANG URUSAN MEREKA. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Redaksi, “Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,” itu adalah Qur’an itu sendiri. Qur’an, itu memang firman Allah yang diucapkan oleh Rasulullah. Makanya bisa juga disebut, bahwa Qur’an adalah ucapan Rasul (QS.69:40 dan QS.81:19). Itu tidak berarti bahwa yang ditetapkan Allah adalah Qur’an. Yang ditetapkan Rasul adalah Hadis. Tidak begitu.

QS. Al-Nisa’[4]: 61
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Apabila dikatakan kepada mereka, "MARILAH (PATUH) KEPADA APA YANG ALLAH TELAH TURUNKAN DAN KEPADA RASUL," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.

Begitu juga QS.4:61 di atas itu. Sejatinya, patuh kepada “Apa yang Allah telah turunkan dan kepada Rasul,” itu adalah patuh kepada Qur’an. Karena sekali lagi, Rasul selalu menghakimi sesuatu, itu berdasar Qur’an. Beliau SAW selalu dan selalu mengikuti apa yang Allah telah turunkan, yakni Qur’an itu sendiri.

Sebagaimana banyak disalah pahami. Ketika disebut qoola Rosuul, atau qoolan Nabiy, Nabi bersabda, ucapan Nabi, dawuh kanjeng Nabi, perkataan Rasul, adebu pasera Rosul, tiba-tiba dan ujug-ujug yang dikutip ternyata Hadis-Hadis. Sekali lagi saya ingatkan, yang pasti tepat ketika disebut kalimat-kalimat tersebut, mestinya yang dikutip adalah ayat-ayat Qur’an. Sebab tadi, Qur’an memang bisa disebut sebagai perkataan Rasul (qowl Rosuul).

Begitu juga ayat di bawah ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 65
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu. Mereka (pada hakekatnya) tidak beriman HINGGA MEREKA MENJADIKAN KAMU HAKIM TERHADAP PERKARA YANG MEREKA PERSELISIHKAN. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Kalimat, “Hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,” itu artinya menjadikan Rasulullah sebagai hakim—pemutus setiap persoalan umat. Menjadikan Rasulullah hakim, itu artinya Rasulullah yang selalu menghakimi setiap perkara dengan Qur’an. Bukan dengan Hadis-Hadis.

Maka, Qur’an dan Rasulullah itu sejatinya satu. Qur’an dan Sunnah-Sunnah beliau, itu sejatinya dua hal yang padu. Sebaliknya. Qur’an dan Hadis, itu sangat jauh berbeda. Jangankan dengan Qur’an. Dengan Sunnah-Sunnah Nabi pun, Hadis itu berbeda. Memang tidak sama.

Tidak ada hal lain bagi Rasul selain Qur’an, yang menjadi dasar dan landasan beliau dalam menghakimi atau memutuskan perkara-perkara umat. Rasulullah Muhammad SAW hanya selalu menghakimi setiap persoalan umat dengan Qur’an saja, itu semakin diperjelas oleh ayat di bawah ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya KAMI TELAH MENURUNKAN KITAB KEPADAMU DENGAN MEMBAWA KEBENARAN, SUPAYA KAMU MENGADILI (MENGHAKIMI) ANTARA MANUSIA DENGAN APA YANG TELAH ALLAH WAHYUKAN KEPADAMU. Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

Jadi, hukum Rasulullah SAW itu adalah Qur’an. Dan Sunnah-Sunnah beliau yang terinspirasi oleh Qur’an. Qur’an, itu sabda Rasulullah SAW. Karena memang diucapkan oleh Rasulullah. Meskipun Qur’an sejatinya adalah firman Allah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...