—Saiful Islam*—
“Hadis-Hadis dianggap wahyu
teologis mandiri selain Qur’an, itu penyakit intelektual dan spiritual. Sangat berbahaya
dalam beragama Islam umat…”
Rasulullah, itu adalah sosok yang
selalu berdasar pada Qur’an. Rasulullah, itu seseorang yang selalu berpijak,
berpatokan, dan berlandaskan Qur’an—satu-satunya firman Tuhan yang diwahyukan
kepadanya. Action plan Rasulullah, itu adalah Qur’an. Bahkan sampai action
Rasulullah, itu sendiri adalah Qur’an. Makanya ada Hadis, “Akhlak
Rasulullah, itu adalah Qur’an.” Dengan ungkapan lain, Rasulullah adalah Qur’an
yang berjalan.
Pikiran Rasulullah, itu kalau tidak
Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Sikap Rasulullah, itu kalau
tidak Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Perbuatan Rasulullah, itu
kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terinpirasi oleh Qur’an. Sampai ketetapan
dan keputusan Rasulullah, itu kalau tidak Qur’an itu sendiri, ya terpinspirasi
oleh Qur’an. Begitu juga, ketika Rasul memutuskan (menghukumi) suatu perkara di
masyarakat, itu selalu Qur’an atau terinpirasi oleh Qur’an.
Mustahil Rasulullah memutuskan
(menghakimi) perkara itu tidak berdasar Qur’an. Tidak mungkin soal akidah, syariat
dan hukum, itu Rasulullah SAW sak karepe dewe. Mustahil. Sebab siapa pun
yang menghukumi suatu perkara tidak berdasar wahyu Allah, maka ia adalah kafir,
zalim, dan fasik. Seperti ditegaskan oleh QS.5:44-47. Nabi Musa menghukumi
dengan Taurat, Nabi Isa dengan Injil. Tak terkecuali Nabi Muhammad. Beliau SAW
pun menghukumi selalu dengan Qur’an. Diceritakan pada ayat berikutnya, QS.5:48
berikut.
QS. Al-Maidah[5]: 48
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan KAMI TELAH TURUNKAN KEPADAMU (MUHAMMAD)
AL-QUR’AN dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya—yaitu Kitab-Kitab—dan
batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu. MAKA PUTUSKANLAH (HUKUMILAH) PERKARA
MEREKA MENURUT APA YANG ALLAH TURUNKAN (AL-QUR’AN) ITU. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya. Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.
Tidak ada satu pun ayat yang
berbunyi misalnya, “Siapa yang menghukumi tidak berdasar Hadis-Hadis, maka ia
kafir, zalim, fasik.” Tidak ada!
Selalu Qur’an, ini rasanya perlu
saya perjelas. Sebab tak jarang saya mengamati. Ketika disebut Rasululllah dan
Nabi—terutama yang terkait dengan hukum—tiba-tiba kita digiring kepada
Hadis-Hadis. Kalau nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Hadis tersebut selaras
dengan Qur’an, is OK. Sah-sah saja. Itu baru namanya penjelas. Tetapi tetap,
tidak boleh berlebihan—terutama hal-hal gaib (metafisik).
Tetapi masalahnya, tidak dicek
terlebih cantolan utamanya, Qur’an. Sehingga tampak sekali, Hadis-Hadis itu
menjadi berdiri sendiri. Lagi-lagi karena dari awal, Hadis sudah dipastikan
dari Rasul. Sampai puncak parahnya Hadis dianggap wahyu teologis mandiri selain
Qur’an. Alamak! Hadis-Hadis dianggap wahyu teologis mandiri selain Qur’an,
menurut saya, itu penyakit intelektual dan spiritual!! Sangat berbahaya dalam beragama
Islam umat!!!
Marilah kita cermati ayat-ayat
berikut.
QS. Al-Ahzab[33]: 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, APABILA ALLAH DAN
RASUL-NYA TELAH MENETAPKAN SUATU KETETAPAN, AKAN ADA BAGI MEREKA PILIHAN (YANG
LAIN) TENTANG URUSAN MEREKA. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Redaksi, “Apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,” itu adalah Qur’an itu sendiri.
Qur’an, itu memang firman Allah yang diucapkan oleh Rasulullah. Makanya bisa juga
disebut, bahwa Qur’an adalah ucapan Rasul (QS.69:40 dan QS.81:19). Itu tidak
berarti bahwa yang ditetapkan Allah adalah Qur’an. Yang ditetapkan Rasul adalah
Hadis. Tidak begitu.
QS. Al-Nisa’[4]: 61
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Apabila dikatakan kepada mereka,
"MARILAH (PATUH) KEPADA APA YANG ALLAH TELAH TURUNKAN DAN KEPADA
RASUL," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia)
dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
Begitu juga QS.4:61 di atas itu.
Sejatinya, patuh kepada “Apa yang Allah telah turunkan dan kepada Rasul,”
itu adalah patuh kepada Qur’an. Karena sekali lagi, Rasul selalu menghakimi
sesuatu, itu berdasar Qur’an. Beliau SAW selalu dan selalu mengikuti apa yang
Allah telah turunkan, yakni Qur’an itu sendiri.
Sebagaimana banyak disalah pahami. Ketika
disebut qoola Rosuul, atau qoolan Nabiy, Nabi bersabda, ucapan
Nabi, dawuh kanjeng Nabi, perkataan Rasul, adebu pasera Rosul, tiba-tiba
dan ujug-ujug yang dikutip ternyata Hadis-Hadis. Sekali lagi saya ingatkan,
yang pasti tepat ketika disebut kalimat-kalimat tersebut, mestinya yang dikutip
adalah ayat-ayat Qur’an. Sebab tadi, Qur’an memang bisa disebut sebagai
perkataan Rasul (qowl Rosuul).
Begitu juga ayat di bawah ini.
QS. Al-Nisa’[4]: 65
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu. Mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman HINGGA MEREKA MENJADIKAN KAMU HAKIM TERHADAP PERKARA
YANG MEREKA PERSELISIHKAN. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.
Kalimat, “Hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,” itu
artinya menjadikan Rasulullah sebagai hakim—pemutus setiap persoalan umat.
Menjadikan Rasulullah hakim, itu artinya Rasulullah yang selalu menghakimi
setiap perkara dengan Qur’an. Bukan dengan Hadis-Hadis.
Maka, Qur’an dan Rasulullah itu
sejatinya satu. Qur’an dan Sunnah-Sunnah beliau, itu sejatinya dua hal yang
padu. Sebaliknya. Qur’an dan Hadis, itu sangat jauh berbeda. Jangankan dengan
Qur’an. Dengan Sunnah-Sunnah Nabi pun, Hadis itu berbeda. Memang tidak sama.
Tidak ada hal lain bagi Rasul
selain Qur’an, yang menjadi dasar dan landasan beliau dalam menghakimi atau
memutuskan perkara-perkara umat. Rasulullah Muhammad SAW hanya selalu menghakimi
setiap persoalan umat dengan Qur’an saja, itu semakin diperjelas oleh ayat di
bawah ini.
QS. Al-Nisa’[4]: 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya KAMI TELAH MENURUNKAN
KITAB KEPADAMU DENGAN MEMBAWA KEBENARAN, SUPAYA KAMU MENGADILI (MENGHAKIMI) ANTARA
MANUSIA DENGAN APA YANG TELAH ALLAH WAHYUKAN KEPADAMU. Dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.
Jadi, hukum Rasulullah SAW itu
adalah Qur’an. Dan Sunnah-Sunnah beliau yang terinspirasi oleh Qur’an. Qur’an,
itu sabda Rasulullah SAW. Karena memang diucapkan oleh Rasulullah. Meskipun Qur’an
sejatinya adalah firman Allah.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar