Sabtu, 11 Januari 2020

INKAR AL-SUNNAH SYAFI’I


—Saiful Islam—

“Label inkar al-Sunnah yang dibuat oleh Imam Syafi’i di sekitar akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 itu, salah istilah dan salah alamat…”

Ada tulisan menarik dari Profesor Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya. Akan saya komentari di belakang. Dengan mengutip buku Imam Syafi’i—al-Umm, dan Abu Zahw—Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Syuhudi Ismal bercerita begini.

Bahwa pada zaman Nabi (w. 632 M), umat Islam sepakat bahwa Sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Qur’an. Belum atau tidak ada bukti Sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.

Bahkan pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, atau al-Khulafa’ al-Rasyidun (632 – 661 M), belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Begitu juga di masa Bani Umayyah (661 – 750 M). Barulah pada awal masa Abbasiyah (750 – 1258 M), muncul secara jelas kelompok kecil Umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.

Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar al-Sunnah atau munkir al-Sunnah. Hal ini dapat dipahami dari uraian al-Syafi’i (w. 150 H/ 757 M – 204 H/ 820 M) dalam kitabnya, al-Umm. Al-Syafi’i membagi mereka menjadi tiga golongan. Yakni (1) golongan yang menolak seluruh Sunnah, (2) golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila Sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Qur’an, dan (3) golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad. Golongan yang disebut terakhir ini hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.

Kalau benar uraian Syuhudi Ismail itu, maka tampaknya orang pertama yang membuat istilah inkar al-Sunnah, tak lain dan tak bukan, adalah al-Syafi’i itu. Dilihat dari masa hidupnya (757 – 820 M), memang betul, al-Syafi’i hidup di masa Abbasiyah (750 – 1258 M). Yaitu masa yang disebut munculnya sekelompok kecil Umat Islam secara jelas yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Jadi, masuk akal jika al-Syafi’i merespon kelompok kecil tersebut.

Ingat pula, al-Syafi’i itu lantas mendapat julukan yang sangat terkenal: Naashir al-Sunnah. Yakni si Penolong Sunnah. Dan masih banyak lagi cerita-cerita hebat beliau yang kita dengar. Ini juga mesti kita kritisi. Jangan-jangan cerita-cerita hebat, itu ditulis oleh murid-murid beliau sendiri yang dari awal sudah suka dan cinta. Sudah ngefans. Tidak salah. Saya pun ngefans dengan Imam Syafi’i. Dan ilmuwan-ilmuwan yang lain. Tetapi kritislah dengan cara yang baik. Dan jadilah hakim yang adil.

Sejatinya, menurut saya, istilah inkar al-Sunnah atau munkir al-Sunnah sekaligus pembagiannya yang dicetuskan al-Syafi’i dalam al-Umm-nya, itu tidak tepat. Kalau diganti dengan inkar al-Hadis atau munkir al-Hadis, mungkin masih bisa diterima. Kenapa? Al-Syafi’i itu tidak hidup sezaman dengan Nabi. Selisihnya 191 tahun dengan Nabi.

Begitu juga masa hidup kelompok kecil Umat Islam yang dilabel inkar al-Sunnah itu. Maka sebenarnya yang dimaksud Sunnah oleh al-Syafi’i, itu adalah Hadis. Pasti, yang diingkari oleh kelompok tersebut adalah Hadis. Bukan Sunnah. Istilah inkar al-Sunnah itu pun, jelas merupakan label seseorang kepada lawan diskusinya. Bukan pengakuan kelompok kecil Umat Islam itu sendiri bahwa mereka memang inkar al-Sunnah. Tampaknya juga tidak mungkin kalau mereka mengaku ingkar Rasulullah.

Julukan al-Syafi’i yang Naashir al-Sunnah, itu pun sudah saya kritik di depan. Bahwa tidak pas beliau mendapatkan julukan tersebut. Sekali lagi menurut saya, julukan yang pas bagi al-Syafi’i, itu adalah Naashir al-Hadiits atau al-Ahaadiits: si Penolong Hadis-Hadis. Tampaknya al-Syafi’i, orang Palestina yang wafat di Mesir, ini semangat sekali membela eksistensi Hadis-Hadis. Tentu saja orang-orang yang fanatik dengan mazhab beliau, akan terpengaruh dengan semangat itu. Sayangnya, semangat itu membuat Hadis-Hadis kemudian meleset menjadi Sunnah. Akhirnya, di kemudian hari, Sunnah itu pun meleset menjadi wahyu teologis Jibriliy mandiri selain Qur’an. Alamak!!!

Karena itu, label inkar al-Sunnah yang ditujukan kepada kelompok kecil Umat Islam yang dimaksud al-Syafi’i, itu juga tidak pas. Tidak tepat sasaran. Bisa jadi mereka hanya menolak Hadis berdasar ijtihad mereka. Mungkin dirasa ada yang bertentangan dengan Qur’an, bertentangan dengan Hadis lain, dan lain seterusnya. Yang pasti, tampaknya mereka tidak menolak Qur’an. Buktinya, mereka masih disebut sekelompok kecil Umat Islam. Dan yang pasti lagi, mereka tidak menolak Rasul Allah.

Kalau begitu, ada kemungkinan justru sekelompok kecil Umat Islam yang dilabel al-Syafi’i inkar al-Sunnah, inilah yang benar. Meskipun ada kemungkinan juga mereka salah. Dalam berijtihad menerima dan menolak Hadis, itu memang bisa benar dan bisa salah. Tergantung kapasitas dan kapabilitas setiap orang. Dan tidak apa-apa. Kalau salah, masih dapat satu kebaikan. Kalau benar, mendapat dua kebaikan. Yang penting jujur dan berdalil.

Lalu siapa yang paling benar? Walloohu a’lam bi al-showaab: Hanya Allah Yang Tahu. Yang jelas, menurut saya, yang salah adalah yang menyesat-nyesatkan, yang mengafir-ngafirkan sesama Umat Islam sendiri. Yang menyalahkan, yang melabel buruk, yang menghakimi, tanpa bisa menunjukkan kesalahan itu dan tanpa bisa memberi solusi bagaimana benarnya. Sesama pencari kebenaran yang jujur, menurut saya tidak layak saling menyesatkan di dalam dunia intelektual dan keilmuwan.

Profesor Azami juga tak kalah menarik ketika bercerita tentang perkembangan inkar al-Sunnah itu. Disebutkan bahwa berdasarkan buku-buku yang ditulis oleh kelompok Khawarij, ternyata kelompok ini menerima Hadis Nabi dan meriwayatkan Hadis-Hadis yang berasal dari Ali, Utsman, Aisyah, Abu Hurayrah, Anas bin Malik, dan lain-lain. “Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa seluruh golongan Khawarij menolak Hadis yang diriwayatkan para Sahabat Nabi baik sebelum maupun sesudah peristiwa Tahkim adalah tidak benar,” katanya.

Begitu juga ketika Azami mengomentari kelompok yang disebut Mu’tazilah, terkait istilah inkar al-Sunnah. “Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber tadi—golongan Mu’tazilah juga seperti umumnya Umat Islam: menerima Hadis Nabi. Memang mereka mungkin mengritik sejumlah Hadis yang berlawanan dengan teori mazhab mereka. Namun demikian hal itu tidak berarti mereka menolak Hadis secara keseluruhan,” jelasnya.

Bagaimana dengan Syi’ah. Apakah juga yang termasuk mendapat sebutan inkar al-Sunnah? Menurut Azami, bahwa kelompok Syi’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya kelompok Itsnaasyariyah. Mereka menerima dan memakai Hadis Nabi. Tetapi mereka hanya menerima Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh ahlulbait (keluarga Nabi) saja.

Di sini saya hanya ingin menunjukkan. Bahwa label inkar al-Sunnah yang dibuat oleh Imam Syafi’i di sekitar akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 itu, salah istilah dan salah alamat.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...