—Saiful Islam—
“Label inkar al-Sunnah yang dibuat
oleh Imam Syafi’i di sekitar akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 itu, salah
istilah dan salah alamat…”
Ada tulisan menarik dari Profesor
Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan
Pemalsunya. Akan saya komentari di belakang. Dengan mengutip buku Imam
Syafi’i—al-Umm, dan Abu Zahw—Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Syuhudi
Ismal bercerita begini.
Bahwa pada zaman Nabi (w. 632 M),
umat Islam sepakat bahwa Sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam di
samping Qur’an. Belum atau tidak ada bukti Sejarah yang menjelaskan bahwa pada
zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam.
Bahkan pada masa Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali, atau al-Khulafa’ al-Rasyidun (632 – 661 M), belum terlihat
secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Begitu juga di masa Bani Umayyah (661 – 750 M). Barulah
pada awal masa Abbasiyah (750 – 1258 M), muncul secara jelas kelompok kecil
Umat Islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Mereka itu kemudian dikenal sebagai
orang-orang yang berpaham inkar al-Sunnah atau munkir al-Sunnah.
Hal ini dapat dipahami dari uraian al-Syafi’i (w. 150 H/ 757 M – 204 H/ 820 M)
dalam kitabnya, al-Umm. Al-Syafi’i membagi mereka menjadi tiga golongan.
Yakni (1) golongan yang menolak seluruh Sunnah, (2) golongan yang menolak
Sunnah, kecuali bila Sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Qur’an, dan
(3) golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad. Golongan yang disebut
terakhir ini hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.
Kalau benar uraian Syuhudi Ismail
itu, maka tampaknya orang pertama yang membuat istilah inkar al-Sunnah,
tak lain dan tak bukan, adalah al-Syafi’i itu. Dilihat dari masa hidupnya (757
– 820 M), memang betul, al-Syafi’i hidup di masa Abbasiyah (750 – 1258 M).
Yaitu masa yang disebut munculnya sekelompok kecil Umat Islam secara jelas yang
menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Jadi, masuk akal jika
al-Syafi’i merespon kelompok kecil tersebut.
Ingat pula, al-Syafi’i itu lantas
mendapat julukan yang sangat terkenal: Naashir al-Sunnah. Yakni si
Penolong Sunnah. Dan masih banyak lagi cerita-cerita hebat beliau yang kita
dengar. Ini juga mesti kita kritisi. Jangan-jangan cerita-cerita hebat, itu
ditulis oleh murid-murid beliau sendiri yang dari awal sudah suka dan cinta.
Sudah ngefans. Tidak salah. Saya pun ngefans dengan Imam Syafi’i.
Dan ilmuwan-ilmuwan yang lain. Tetapi kritislah dengan cara yang baik. Dan
jadilah hakim yang adil.
Sejatinya, menurut saya, istilah inkar
al-Sunnah atau munkir al-Sunnah sekaligus pembagiannya yang
dicetuskan al-Syafi’i dalam al-Umm-nya, itu tidak tepat. Kalau diganti
dengan inkar al-Hadis atau munkir al-Hadis, mungkin masih bisa
diterima. Kenapa? Al-Syafi’i itu tidak hidup sezaman dengan Nabi. Selisihnya
191 tahun dengan Nabi.
Begitu juga masa hidup kelompok
kecil Umat Islam yang dilabel inkar al-Sunnah itu. Maka sebenarnya yang
dimaksud Sunnah oleh al-Syafi’i, itu adalah Hadis. Pasti, yang diingkari oleh
kelompok tersebut adalah Hadis. Bukan Sunnah. Istilah inkar al-Sunnah itu pun,
jelas merupakan label seseorang kepada lawan diskusinya. Bukan pengakuan
kelompok kecil Umat Islam itu sendiri bahwa mereka memang inkar al-Sunnah. Tampaknya
juga tidak mungkin kalau mereka mengaku ingkar Rasulullah.
Julukan al-Syafi’i yang Naashir
al-Sunnah, itu pun sudah saya kritik di depan. Bahwa tidak pas beliau
mendapatkan julukan tersebut. Sekali lagi menurut saya, julukan yang pas bagi
al-Syafi’i, itu adalah Naashir al-Hadiits atau al-Ahaadiits: si
Penolong Hadis-Hadis. Tampaknya al-Syafi’i, orang Palestina yang wafat di
Mesir, ini semangat sekali membela eksistensi Hadis-Hadis. Tentu saja
orang-orang yang fanatik dengan mazhab beliau, akan terpengaruh dengan semangat
itu. Sayangnya, semangat itu membuat Hadis-Hadis kemudian meleset menjadi
Sunnah. Akhirnya, di kemudian hari, Sunnah itu pun meleset menjadi wahyu
teologis Jibriliy mandiri selain Qur’an. Alamak!!!
Karena itu, label inkar
al-Sunnah yang ditujukan kepada kelompok kecil Umat Islam yang dimaksud
al-Syafi’i, itu juga tidak pas. Tidak tepat sasaran. Bisa jadi mereka hanya
menolak Hadis berdasar ijtihad mereka. Mungkin dirasa ada yang bertentangan
dengan Qur’an, bertentangan dengan Hadis lain, dan lain seterusnya. Yang pasti,
tampaknya mereka tidak menolak Qur’an. Buktinya, mereka masih disebut
sekelompok kecil Umat Islam. Dan yang pasti lagi, mereka tidak menolak Rasul
Allah.
Kalau begitu, ada kemungkinan
justru sekelompok kecil Umat Islam yang dilabel al-Syafi’i inkar al-Sunnah,
inilah yang benar. Meskipun ada kemungkinan juga mereka salah. Dalam berijtihad
menerima dan menolak Hadis, itu memang bisa benar dan bisa salah. Tergantung
kapasitas dan kapabilitas setiap orang. Dan tidak apa-apa. Kalau salah, masih
dapat satu kebaikan. Kalau benar, mendapat dua kebaikan. Yang penting jujur dan
berdalil.
Lalu siapa yang paling benar? Walloohu
a’lam bi al-showaab: Hanya Allah Yang Tahu. Yang jelas, menurut saya, yang
salah adalah yang menyesat-nyesatkan, yang mengafir-ngafirkan sesama Umat Islam
sendiri. Yang menyalahkan, yang melabel buruk, yang menghakimi, tanpa bisa
menunjukkan kesalahan itu dan tanpa bisa memberi solusi bagaimana benarnya.
Sesama pencari kebenaran yang jujur, menurut saya tidak layak saling
menyesatkan di dalam dunia intelektual dan keilmuwan.
Profesor Azami juga tak kalah
menarik ketika bercerita tentang perkembangan inkar al-Sunnah itu.
Disebutkan bahwa berdasarkan buku-buku yang ditulis oleh kelompok Khawarij,
ternyata kelompok ini menerima Hadis Nabi dan meriwayatkan Hadis-Hadis yang
berasal dari Ali, Utsman, Aisyah, Abu Hurayrah, Anas bin Malik, dan lain-lain.
“Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa seluruh golongan Khawarij
menolak Hadis yang diriwayatkan para Sahabat Nabi baik sebelum maupun sesudah
peristiwa Tahkim adalah tidak benar,” katanya.
Begitu juga ketika Azami
mengomentari kelompok yang disebut Mu’tazilah, terkait istilah inkar
al-Sunnah. “Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber
tadi—golongan Mu’tazilah juga seperti umumnya Umat Islam: menerima Hadis Nabi. Memang
mereka mungkin mengritik sejumlah Hadis yang berlawanan dengan teori mazhab
mereka. Namun demikian hal itu tidak berarti mereka menolak Hadis secara
keseluruhan,” jelasnya.
Bagaimana dengan Syi’ah. Apakah
juga yang termasuk mendapat sebutan inkar al-Sunnah? Menurut Azami,
bahwa kelompok Syi’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya kelompok
Itsnaasyariyah. Mereka menerima dan memakai Hadis Nabi. Tetapi mereka hanya
menerima Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh ahlulbait (keluarga Nabi) saja.
Di sini saya hanya ingin
menunjukkan. Bahwa label inkar al-Sunnah yang dibuat oleh Imam Syafi’i
di sekitar akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 itu, salah istilah dan salah
alamat.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar