—Saiful Islam—
“Sekalipun riwayat al-Bukhari yang
sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya, kalau bertentangan dengan
Qur’an dan Sains, itu namanya Hadis lemah. Hadis-Hadis seperti ini, memang
haqqul yaqin saya ingkari!”
Dari hati yang paling dalam, saya
sampaikan terimakasih kepada kawan-kawan, terutama yang memberi komentar kepada
tulisan-tulisan saya. Jujur saja, diskusi ini menjadi hidup, itu ya karena
komentar kalian itu. Ibarat olahraga tinju, kalian adalah sparring partner
saya. Tampaknya saja saling serang. Tetapi sejatinya, itu menguatkan saya,
sekaligus melatih dan mengondisikan saya supaya kreatif.
Kalau saya baca lagi
komentar-komentar itu di awal-awal tulisan tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS ini,
sering saya terkekeh sendiri. Hehe. Dulu ketika kami sama-sama mahasiswa,
saling ‘adu mulut’ di kelas, itu memang sangat biasa. Jangankan dengan sesama
teman. Dengan dosen yang bergelar
profesor, pun itu sudah biasa. Tradisi sehat. Keluar dari kelas, ya ngopi
bareng. Haha. Eh, memang indah kalau mengenang masa-masa kuliah dulu itu. Di IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis (TH). Tahun
2008 – 2012 silam.
Kawan 1 menulis: “Iya. Tetapi
jangan begitu ekstrem lah. Seolah-olah menempatkan zhann-mu yang Qur’an bil
Qur’an setara dengan Qur’an yang qath’iy itu. Dan menafikan riwayat Hadis jika
tidak sejalan dengan zhann-mu yang Qur’an bil Qur’an. Coba kamu teliti ulama
yang mencetuskan dan menggunakan kaidah itu. Apakah kaidah itu dibangun untuk
menafikan Hadis-Hadis Nabi dengan kaca mata kuda. Sebab cara-cara kamu dalam
berkesimpulan sangat rentan terjebak pada PENGINGKARAN SUNNAH.”
Kawan 2 menambahi: “Nah. SAYA MAU
BILANG GITU, Kawan 1. Tapi masih mikir dalam menyusun bahasa yang agak halus.
Hahaha.”
Puncaknya adalah komentar Kawan 3
ini: “Nyimak. Seru. Hm, memang sejak dulu pemikiran Saiful ini selalu
kontradiktif. Ini menghibur kita semua. Hayaat al-‘ilm lita’allum.
Barangkali lita’allum di sini bermakna berdiskusi. Dari beberapa tulisan
di atas, saya akan mengomentari beberapa hal saja. Monggo dikoreksi.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa
dinamika keilmuan Islam selalu menarik untuk digeluti. Teks Al-Qur’an memang
sudah final tidak boleh ada yang menambah dan mengurangi. Mengingkarinya, maka
akan berimplikasi rusaknya akidah. Tugas Nabi Muhammad adalah menjelaskan makna
Al-Qur’an kepada manusia. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Nahl ayat 44.
“Ketika Rasulullah masih hidup,
layaknya Al-Qur’an yang berjalan. Begitu pun dengan Hadis Rasulullah, sebagai
konfirmator tunggal yang ma’shum. Berbeda cerita ketika Rasulullah telah
wafat seiring dengan dinamika problematika keislaman yang selalu berkembang.
Berlanjut ke masa Sahabat, benih-benih pertikaian politik dan ideologi sudah
mulai bermunculan. Begitu pun seterusnya mengikuti siklus perkembangan manusia.
“Menanggapi apa yang disampaikan
Saiful melalui tulisan-tulisan di awal, AGAKNYA SAYA KURANG SEPAKAT. Kali ini
saya berpihak pada Kawan 1 dan Kawan 2. Meskipun di waktu kuliah, kemana pun
dengan Saiful, hahaha. Teringat masa kuliah, hihihi.
“Begini. TAMPAKNYA PEMIKIRAN SAIFUL
MEMANG TERKONTAMINASI DENGAN PEMIKIRAN INGKARUS SUNNAH. Buktinya mana?
Ya tulisan di atas itu. Para cendekiawan (Kawan 1, Kawan 2, Kawan 4, Kawan 5,
dan seterusnya) pun menyimpulkan sama. Saya pun demikian. Perlu digarisbawahi,
saya tidak men-judge (menghakimi atau menuduh) Saiful sebagai mungkirus
Sunnah. Akan tetapi argumennya mirip dengan para pengingkar Sunnah.
“Ada statement (pernyataan)
Saiful, bahwa saya (Saiful) tetap salat dan sebagainya. Pengingkar Sunnah yang
lain juga sama (argumennya), salat dan sebagainya. Buktinya ini: Beberapa waktu
yang lalu saya meneliti seorang ingkarus Sunnah yang berasal dari Malaysia. Ia
bernama Mustofa Mahmud. Ia seorang mubaligh sekaligus dokter.
“Awalnya ia (Mahmud) menolak Hadis
Ahad. Kemudian Mutawatir dan merambah
menolak Hadis secara keseluruhan. Saya ingin mengajukan referensi yang ditulis
oleh Abdul Majid Khon yang berjudul Pemikiran Ingkarus Sunnah Modern di Mesir.
Ada beberapa klasifikasi dari pemikiran ingkarus Sunnah: (1) Ingkarus Sunnah
Mutlak. (2) Kulli. (3) Syibh Kulli. (4) Juz’i.
“Dari keempat klasifikasi tersebut
korelasi dengan pemikiran Saiful, tampaknya sebanding pada nomor 4. Ingkarus
Sunnah Juz’i. Apa itu? Yaitu golongan pengingkar yang menolak Hadis sahih yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, sekalipun riwayat al-Bukhari yang
sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya.
“Dengan argumen ringkas ini
menyebabkan saya memberikan saran kepada Saiful untuk berhati-hati. Terlebih di
ruang public yang awam. Selama di ruang diskusi, saya kira bebas argumen
dan kepentingan. Hehehe. OK, next…”
*****
Berikut tanggapan saya.
Pertama. Belajar Tafsir,
itu memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sebelumnya. Tampaknya,
mayoritas Ulama Tafsir, itu punya latar belakang Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa, dan
semisalnya. Sangat jarang ulama Tafsir yang punya latar belakang Sains. Seingat
saya, mufassir klasik satu-satunya yang terkenal dengan kecenderungan Sains adalah
Thanthawi Jawhariy.
Nah, begitu juga mayoritas
kawan-kawan saya yang kuliah Tafsir Hadis tahun 2008 silam itu. Tampaknya tidak
ada yang berlatar belakang Ilmu Pengetahuan Alam (Sains). Alias latar belakang kawan-kawan
saya itu, kalau tidak Ilmu Sosial, ya Ilmu Bahasa. Cuma saya mungkin yang waktu
SMA, mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya belajar terutama Kimia,
Fisika, Biologi, dan Matematika.
Saya belajar Fikih melalui
buku-buku Syafi’iyah secara intensif, itu kepada ayah saya sendiri. Beliau lama
belajar di pesantren. Adapun Bahasa Arab, saya belalar intensif kepada saudara
saya sendiri. Beliau juga bertahun-tahun ditempa oleh pendidikan ala pesantren.
Nah, hukum-hukum alam dalam teori Kimia,
Fisika, dan Biologi, itu sangat membekas pada diri saya. Begitu juga
dalil-dalil Matematika yang logis. Proses berpikir Sains ini yang mempengaruhi
saya. Sekaligus pengalaman hidup, mengamati sebab akibat kehidupan sehari-hari.
Barulah setelah itu, saya belajar Tafsir Hadis.
Wajar kalau kawan 3 berkomentar: “Hm,
memang sejak dulu pemikiran Saiful ini selalu kontradiktif.” Ya, tidak jarang
pemikiran saya itu kontradiktif dengan pemikirannya dan mungkin teman-teman
yang lain. Lebih pasnya, tampaknya pemikiran saya ini dirasa sering
kontroversial. Mungkin karena berbeda latar belakang pendidikan atau
kecenderungan itu.
Tentu saja, saya tertarik sekali
jika menemukan tokoh atau buku yang memikirkan Qur’an dan Hadis yang dipadukan
dengan teori-teori Sains. Menurut saya, ayat-ayat qowliyah (Qur’an) dan
ayat-ayat kawniyah (Sains), itu memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
saling melengkapi.
Kedua. Pernyataan: “Ketika
Rasulullah masih hidup, layaknya Al-Qur’an yang berjalan. Begitu pun dengan
Hadis Rasulullah, sebagai konfirmator tunggal yang ma’shum.” Menurut
saya lebih tepatnya adalah Sunnah Rasulullah. Yang ma’shum itu Sunnah
Nabi yang terkait syariat. Hadis, itu tidak ma’shum.
Ketiga. Pernyataan: “Saya
tidak men-judge (menghakimi atau menuduh) Saiful sebagai mungkirus
Sunnah. Akan tetapi argumennya mirip dengan para pengingkar Sunnah.”
Syukurlah kalau tidak sampai menuduh saya ingkarus Sunnah. Sebab ingkarus
Sunnah, itu sama artinya dengan ingkar Rasulullah. Alias kafir. Sudah saya
tunjukkan bahwa istilah inkar al-Sunnah, itu salah istilah dan salah
alamat. Baca lagi tulisan sebelumnya INKAR AL-SUNNAH SYAFI’I dan STEMPEL INKAR
AL-SUNNAH.
Keempat. Soal saya
salat. Argumen singkat sementara itu, saya rasa memang efektif untuk
menyadarkan kesalahan istilah inkar al-Sunnah tersebut. Saya
terinspirasi oleh Dr. Ali Manshur al-Kayyaliy. Pemikir Qur’an-Sains yang
dituduh inkar al-Sunnah ini, dengan Bahasa Arab yang fasih dia
mengatakan kurang lebih begini: “Bagaimana mungkin saya ingkar Sunnah, wong
saya salat sebagaimana kalian salat. Saya zakat, sebagaimana kalian zakat. Saya
puasa, sebagaimana kalian puasa. Saya haji sebagaimana kalian haji?” Cek
videonya banyak di YouTube.
Kelima. Klasifikasi
Abdul Majid Khon yang dikutip Kawan 3, itu saya pastikan salah istilah. Baik
yang mutlak, kulli, syibh kulli, maupun yang juz’i. Itu inkar
al-Hadis. Bukan inkar al-Sunnah. Istilah inkar al-Sunnah itu
harus direvisi. Atau sebaiknya dihapus saja. Sebab cenderung tendensius,
provokatif, dan tidak bertanggung jawab.
Keenam. Kalimat: “Pemikiran
Saiful, tampaknya sebanding pada nomor 4. Ingkarus Sunnah Juz’i. Apa
itu? Yaitu golongan pengingkar yang menolak Hadis sahih yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah
masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya.”
Betul sekali! Saya memang
mengingkari Hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains,
sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas
kehujjahannya. Tapi ingat. Saya mengingkari Hadis. Bukan mengingkari
Sunnah. Sekaligus, saya mengingkari istilah ingkarus Sunnah itu sendiri.
Bagi saya, Hadis sahih yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, itu bukan Hadis sahih. Tetapi Hadis
dho’if. Hadis lemah. Wong sudah jelas-jelas bertentangan dengan
Qur’an dan Sains, kok! Masak masih disebut Hadis sahih?! Ingat, salah
satu kriteria kesahihan Hadis, itu redaksinya (matan-nya) tidak boleh
bertentangan dengan Qur’an dan Sains!
Sekalipun riwayat al-Bukhari yang
sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya, kalau bertentangan
dengan Qur’an dan Sains, itu namanya Hadis lemah. Hadis-Hadis seperti ini, memang
haqqul yaqin saya ingkari! Malah haram, menurut saya, kalau Hadis yang
bertentangan dengan Qur’an dan Sains, itu disandarkan kepada Rasulullah SAW!!
Penyandaran kepada Imam Bukhari—Riwayat
Bukhari, itu bukan dalil yang kuat. Sebab kritik Imam Bukhari, itu lebih kepada
sanad-nya. Yang sahih adalah sanad-nya. Padahal untuk kesahihan
sebuah Hadis, itu tidak cukup ditinjau dari sisi sanad-nya saja. Tapi
juga harus matan-nya. Nah, masalah bertentangan dengan Qur’an dan Sains,
ini adalah masalah matan itu.
Begitu juga dengan kemasyhuran di
kalangan Ulama Hadis atas kehujjahannya. Ini juga bukan merupakan dalil yang
kuat. Ingat, mayoritas itu bukan ukuran untuk menentukan kesahihan Hadis.
Meskipun pendapat pakar, itu layak dipertimbangkan. Tetapi tetap, jangan asal
ikut. Harus paham pondasinya.
Klaim-klaim seperti mayoritas ulama,
nama besar, muttafaq ‘alayh, ulama sepakat, dan seterusnya, itu memang
bukan ukuran untuk menentukan kesahihan Hadis. Meskipun mungkin efektif untuk
menakut-nakuti orang awam yang tidak belajar Ulumul Hadis. Hehe. Tidak ada
kaidah itu.
Patokan yang benar adalah cuma ini:
Ditinjau sanad-nya, ditinjau matan-nya, dan ditinjau fakta
historisnya, dengan metodologi Kritik Hadis.
Dengan argumen itu menyebabkan saya
memberikan saran kepada kawan-kawan sekalian untuk ekstra berhati-hati ketika mengutip
dan berprinsip dengan Hadis-Hadis. Jangan mudah terpengaruh oleh label-label
buruk yang tendensius dan provokatif. Terutama di ruang publik. Supaya tanpa
sadar kita tidak berbuat zalim kepada sesama Umat Rasulullah. Apa itu zalim? Yaitu
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Wadh’u al-syay’ fii ghayr mahallih.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar