Senin, 13 Januari 2020

INGKAR HADIS DIBENARKAN


—Saiful Islam—

“Sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya, kalau bertentangan dengan Qur’an dan Sains, itu namanya Hadis lemah. Hadis-Hadis seperti ini, memang haqqul yaqin saya ingkari!”

Dari hati yang paling dalam, saya sampaikan terimakasih kepada kawan-kawan, terutama yang memberi komentar kepada tulisan-tulisan saya. Jujur saja, diskusi ini menjadi hidup, itu ya karena komentar kalian itu. Ibarat olahraga tinju, kalian adalah sparring partner saya. Tampaknya saja saling serang. Tetapi sejatinya, itu menguatkan saya, sekaligus melatih dan mengondisikan saya supaya kreatif.

Kalau saya baca lagi komentar-komentar itu di awal-awal tulisan tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS ini, sering saya terkekeh sendiri. Hehe. Dulu ketika kami sama-sama mahasiswa, saling ‘adu mulut’ di kelas, itu memang sangat biasa. Jangankan dengan sesama teman.  Dengan dosen yang bergelar profesor, pun itu sudah biasa. Tradisi sehat. Keluar dari kelas, ya ngopi bareng. Haha. Eh, memang indah kalau mengenang masa-masa kuliah dulu itu. Di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis (TH). Tahun 2008 – 2012 silam.

Kawan 1 menulis: “Iya. Tetapi jangan begitu ekstrem lah. Seolah-olah menempatkan zhann-mu yang Qur’an bil Qur’an setara dengan Qur’an yang qath’iy itu. Dan menafikan riwayat Hadis jika tidak sejalan dengan zhann-mu yang Qur’an bil Qur’an. Coba kamu teliti ulama yang mencetuskan dan menggunakan kaidah itu. Apakah kaidah itu dibangun untuk menafikan Hadis-Hadis Nabi dengan kaca mata kuda. Sebab cara-cara kamu dalam berkesimpulan sangat rentan terjebak pada PENGINGKARAN SUNNAH.”

Kawan 2 menambahi: “Nah. SAYA MAU BILANG GITU, Kawan 1. Tapi masih mikir dalam menyusun bahasa yang agak halus. Hahaha.”

Puncaknya adalah komentar Kawan 3 ini: “Nyimak. Seru. Hm, memang sejak dulu pemikiran Saiful ini selalu kontradiktif. Ini menghibur kita semua. Hayaat al-‘ilm lita’allum. Barangkali lita’allum di sini bermakna berdiskusi. Dari beberapa tulisan di atas, saya akan mengomentari beberapa hal saja. Monggo dikoreksi.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika keilmuan Islam selalu menarik untuk digeluti. Teks Al-Qur’an memang sudah final tidak boleh ada yang menambah dan mengurangi. Mengingkarinya, maka akan berimplikasi rusaknya akidah. Tugas Nabi Muhammad adalah menjelaskan makna Al-Qur’an kepada manusia. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Nahl ayat 44.

“Ketika Rasulullah masih hidup, layaknya Al-Qur’an yang berjalan. Begitu pun dengan Hadis Rasulullah, sebagai konfirmator tunggal yang ma’shum. Berbeda cerita ketika Rasulullah telah wafat seiring dengan dinamika problematika keislaman yang selalu berkembang. Berlanjut ke masa Sahabat, benih-benih pertikaian politik dan ideologi sudah mulai bermunculan. Begitu pun seterusnya mengikuti siklus perkembangan manusia.

“Menanggapi apa yang disampaikan Saiful melalui tulisan-tulisan di awal, AGAKNYA SAYA KURANG SEPAKAT. Kali ini saya berpihak pada Kawan 1 dan Kawan 2. Meskipun di waktu kuliah, kemana pun dengan Saiful, hahaha. Teringat masa kuliah, hihihi.

“Begini. TAMPAKNYA PEMIKIRAN SAIFUL MEMANG TERKONTAMINASI DENGAN PEMIKIRAN INGKARUS SUNNAH. Buktinya mana? Ya tulisan di atas itu. Para cendekiawan (Kawan 1, Kawan 2, Kawan 4, Kawan 5, dan seterusnya) pun menyimpulkan sama. Saya pun demikian. Perlu digarisbawahi, saya tidak men-judge (menghakimi atau menuduh) Saiful sebagai mungkirus Sunnah. Akan tetapi argumennya mirip dengan para pengingkar Sunnah.

“Ada statement (pernyataan) Saiful, bahwa saya (Saiful) tetap salat dan sebagainya. Pengingkar Sunnah yang lain juga sama (argumennya), salat dan sebagainya. Buktinya ini: Beberapa waktu yang lalu saya meneliti seorang ingkarus Sunnah yang berasal dari Malaysia. Ia bernama Mustofa Mahmud. Ia seorang mubaligh sekaligus dokter.

“Awalnya ia (Mahmud) menolak Hadis Ahad. Kemudian  Mutawatir dan merambah menolak Hadis secara keseluruhan. Saya ingin mengajukan referensi yang ditulis oleh Abdul Majid Khon yang berjudul Pemikiran Ingkarus Sunnah Modern di Mesir. Ada beberapa klasifikasi dari pemikiran ingkarus Sunnah: (1) Ingkarus Sunnah Mutlak. (2) Kulli. (3) Syibh Kulli. (4) Juz’i.

“Dari keempat klasifikasi tersebut korelasi dengan pemikiran Saiful, tampaknya sebanding pada nomor 4. Ingkarus Sunnah Juz’i. Apa itu? Yaitu golongan pengingkar yang menolak Hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya.

“Dengan argumen ringkas ini menyebabkan saya memberikan saran kepada Saiful untuk berhati-hati. Terlebih di ruang public yang awam. Selama di ruang diskusi, saya kira bebas argumen dan kepentingan. Hehehe. OK, next…”

*****
Berikut tanggapan saya.

Pertama. Belajar Tafsir, itu memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sebelumnya. Tampaknya, mayoritas Ulama Tafsir, itu punya latar belakang Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa, dan semisalnya. Sangat jarang ulama Tafsir yang punya latar belakang Sains. Seingat saya, mufassir klasik satu-satunya yang terkenal dengan kecenderungan Sains adalah Thanthawi Jawhariy.

Nah, begitu juga mayoritas kawan-kawan saya yang kuliah Tafsir Hadis tahun 2008 silam itu. Tampaknya tidak ada yang berlatar belakang Ilmu Pengetahuan Alam (Sains). Alias latar belakang kawan-kawan saya itu, kalau tidak Ilmu Sosial, ya Ilmu Bahasa. Cuma saya mungkin yang waktu SMA, mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya belajar terutama Kimia, Fisika, Biologi, dan Matematika.

Saya belajar Fikih melalui buku-buku Syafi’iyah secara intensif, itu kepada ayah saya sendiri. Beliau lama belajar di pesantren. Adapun Bahasa Arab, saya belalar intensif kepada saudara saya sendiri. Beliau juga bertahun-tahun ditempa oleh pendidikan ala pesantren.

Nah, hukum-hukum alam dalam teori Kimia, Fisika, dan Biologi, itu sangat membekas pada diri saya. Begitu juga dalil-dalil Matematika yang logis. Proses berpikir Sains ini yang mempengaruhi saya. Sekaligus pengalaman hidup, mengamati sebab akibat kehidupan sehari-hari. Barulah setelah itu, saya belajar Tafsir Hadis.

Wajar kalau kawan 3 berkomentar: “Hm, memang sejak dulu pemikiran Saiful ini selalu kontradiktif.” Ya, tidak jarang pemikiran saya itu kontradiktif dengan pemikirannya dan mungkin teman-teman yang lain. Lebih pasnya, tampaknya pemikiran saya ini dirasa sering kontroversial. Mungkin karena berbeda latar belakang pendidikan atau kecenderungan itu.

Tentu saja, saya tertarik sekali jika menemukan tokoh atau buku yang memikirkan Qur’an dan Hadis yang dipadukan dengan teori-teori Sains. Menurut saya, ayat-ayat qowliyah (Qur’an) dan ayat-ayat kawniyah (Sains), itu memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi.

Kedua. Pernyataan: “Ketika Rasulullah masih hidup, layaknya Al-Qur’an yang berjalan. Begitu pun dengan Hadis Rasulullah, sebagai konfirmator tunggal yang ma’shum.” Menurut saya lebih tepatnya adalah Sunnah Rasulullah. Yang ma’shum itu Sunnah Nabi yang terkait syariat. Hadis, itu tidak ma’shum.

Ketiga. Pernyataan: “Saya tidak men-judge (menghakimi atau menuduh) Saiful sebagai mungkirus Sunnah. Akan tetapi argumennya mirip dengan para pengingkar Sunnah.” Syukurlah kalau tidak sampai menuduh saya ingkarus Sunnah. Sebab ingkarus Sunnah, itu sama artinya dengan ingkar Rasulullah. Alias kafir. Sudah saya tunjukkan bahwa istilah inkar al-Sunnah, itu salah istilah dan salah alamat. Baca lagi tulisan sebelumnya INKAR AL-SUNNAH SYAFI’I dan STEMPEL INKAR AL-SUNNAH.

Keempat. Soal saya salat. Argumen singkat sementara itu, saya rasa memang efektif untuk menyadarkan kesalahan istilah inkar al-Sunnah tersebut. Saya terinspirasi oleh Dr. Ali Manshur al-Kayyaliy. Pemikir Qur’an-Sains yang dituduh inkar al-Sunnah ini, dengan Bahasa Arab yang fasih dia mengatakan kurang lebih begini: “Bagaimana mungkin saya ingkar Sunnah, wong saya salat sebagaimana kalian salat. Saya zakat, sebagaimana kalian zakat. Saya puasa, sebagaimana kalian puasa. Saya haji sebagaimana kalian haji?” Cek videonya banyak di YouTube.

Kelima. Klasifikasi Abdul Majid Khon yang dikutip Kawan 3, itu saya pastikan salah istilah. Baik yang mutlak, kulli, syibh kulli, maupun yang juz’i. Itu inkar al-Hadis. Bukan inkar al-Sunnah. Istilah inkar al-Sunnah itu harus direvisi. Atau sebaiknya dihapus saja. Sebab cenderung tendensius, provokatif, dan tidak bertanggung jawab.

Keenam. Kalimat: “Pemikiran Saiful, tampaknya sebanding pada nomor 4. Ingkarus Sunnah Juz’i. Apa itu? Yaitu golongan pengingkar yang menolak Hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya.”

Betul sekali! Saya memang mengingkari Hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya. Tapi ingat. Saya mengingkari Hadis. Bukan mengingkari Sunnah. Sekaligus, saya mengingkari istilah ingkarus Sunnah itu sendiri.

Bagi saya, Hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan akal/Sains, itu bukan Hadis sahih. Tetapi Hadis dho’if. Hadis lemah. Wong sudah jelas-jelas bertentangan dengan Qur’an dan Sains, kok! Masak masih disebut Hadis sahih?! Ingat, salah satu kriteria kesahihan Hadis, itu redaksinya (matan-nya) tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Sains!

Sekalipun riwayat al-Bukhari yang sudah masyhur ‘inda ‘ulama Hadis atas kehujjahannya, kalau bertentangan dengan Qur’an dan Sains, itu namanya Hadis lemah. Hadis-Hadis seperti ini, memang haqqul yaqin saya ingkari! Malah haram, menurut saya, kalau Hadis yang bertentangan dengan Qur’an dan Sains, itu disandarkan kepada Rasulullah SAW!!

Penyandaran kepada Imam Bukhari—Riwayat Bukhari, itu bukan dalil yang kuat. Sebab kritik Imam Bukhari, itu lebih kepada sanad-nya. Yang sahih adalah sanad-nya. Padahal untuk kesahihan sebuah Hadis, itu tidak cukup ditinjau dari sisi sanad-nya saja. Tapi juga harus matan-nya. Nah, masalah bertentangan dengan Qur’an dan Sains, ini adalah masalah matan itu.

Begitu juga dengan kemasyhuran di kalangan Ulama Hadis atas kehujjahannya. Ini juga bukan merupakan dalil yang kuat. Ingat, mayoritas itu bukan ukuran untuk menentukan kesahihan Hadis. Meskipun pendapat pakar, itu layak dipertimbangkan. Tetapi tetap, jangan asal ikut. Harus paham pondasinya.

Klaim-klaim seperti mayoritas ulama, nama besar, muttafaq ‘alayh, ulama sepakat, dan seterusnya, itu memang bukan ukuran untuk menentukan kesahihan Hadis. Meskipun mungkin efektif untuk menakut-nakuti orang awam yang tidak belajar Ulumul Hadis. Hehe. Tidak ada kaidah itu.

Patokan yang benar adalah cuma ini: Ditinjau sanad-nya, ditinjau matan-nya, dan ditinjau fakta historisnya, dengan metodologi Kritik Hadis.

Dengan argumen itu menyebabkan saya memberikan saran kepada kawan-kawan sekalian untuk ekstra berhati-hati ketika mengutip dan berprinsip dengan Hadis-Hadis. Jangan mudah terpengaruh oleh label-label buruk yang tendensius dan provokatif. Terutama di ruang publik. Supaya tanpa sadar kita tidak berbuat zalim kepada sesama Umat Rasulullah. Apa itu zalim? Yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Wadh’u al-syay’ fii ghayr mahallih.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...