—Saiful Islam—
“Hadis sihir magis, itu
bertentangan dengan Qur’an, akal sehat, sejarah, dan Sains…”
Sebenarnya para pakar Hadis memberi
panduan kepada kita tentang kaidah kesahihan sanad Hadis dan kaidah kesahihan
matan Hadis, itu supaya kita hati-hati dalam menyampaikan Hadis. Supaya tidak
sembarangan. Tidak sembrono. Tidak ngawur dalam menyampaikan. Baik ngomong
maupun nulis. “Cek nggak nggedabrus,” kata Arek Suroboyo.
Meski begitu, ini tidak berarti dengan
alasan kehati-hatian itu, lantas meninggalkan Hadis. Banyak saya jumpai. ‘Hati-hati’,
ini ternyata justru secara terselubung, membuat umat Islam alergi dengan Hadis.
Begitu juga menyikapi Qur’an. Alasan ‘hati-hati’, menjebak mereka mencuekin
firman Allah itu.
Padahal. Asal jujur.
Sungguh-sungguh mempelajari. Jika ternyata kesimpulannya adalah salah, maka
masih diganjar satu kebaikan (pahala). Dan jika benar, akan mendapat dua. Menurut
saya, justru hati-hati, menyelamlah. Pelajarilah. Pahamilah. Ambil yang paling
kuat. Gimana kita hati-hati kepada ular, kalau kita tidak paham bahwa ular itu
beracun yang dapat mematuk?!
Ada lima kriteria Hadis itu
dikatakan sahih. Tiga tinjauan dari sisi sanadnya. Dan dua syarat lagi terkait
matannya. Begini definsinya oleh Subhi Shalih dan Mahmud Thahan kurang lebih: “Hadis
yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang-orang yang adil (baik akhlaknya) dan
dhabith (cerdas, kuat hafalan dan pemahamannya), sampai kepada Rasulullah, atau
kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadis yang syadz (janggal,
kontroversial) dan terkena illat (cacat).”
OK. Tinjauan sanad Hadis, kemarin
sudah. Sekarang adalah matan Hadis. Atau redaksi Hadis. Atau teks Hadis. Sangat
menarik mempelajari Hadis jika meninjau dari sisi teksnya ini. Ma’anil Hadis,
nama materinya. Cara memahami teks Hadis. Ini salah satunya. Kami dapat materi
ini kira-kira satu semester dulu. Ada lagi, mukhtalif Hadis. Atau Hadis mukhtalif.
Hadis yang saling kontradiktif. Intinya, bagaimana cara menyikapi teks-teks
Hadis. Kemudian mengambil kesimpulan.
Buku-buku yang bisa menjadi rujukan,
adalah Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Al-Syafi’i (w. 204 H); Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits karya Ibn al-Qutaybah al-Dinuri (w. 276 H); Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiy karya Salahuddin Ibn Ahmad
al-Dzahabi; Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif
karya Muhammad Thahir al-Jawabi; Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin karya
Muhammad Musthofa al-A’zhami; al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa
Ahl al-Hadits karya Muhammad al-Ghazali, dan lain-lain.
Mengritisi Hadis, itu memang sangat
penting. Karena pertama, Hadis baru ditulis resmi kira-kira satu abad
(seratus tahun) setelah wafatnya Nabi. Hadis ditulis resmi (dibukukan) pada
masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (w. 102 H), sedangkan Nabi
wafat pada 11 H. Buku Hadis tertua yang bisa ditemukan adalah Muwaththa’
karya Imam Malik (w. 179 H). Dan kedua, telah terjadi pemalsuan Hadis. Awal
muncul pemalsuan ini, kira-kira pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi
Thalib. Dengan demikian, penulisan Hadis itu tidak dikawal langsung oleh Nabi.
Nah, kaidah kesahihan matan Hadis
atau redaksi Hadis itu, menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H) adalah tidak
bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an yang muhkam; tidak bertentangan dengan
akal sehat; tidak bertentangan dengan Hadis mutawatir; tidak bertentangan
dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama salaf; tidak bertentangan dengan
dalil yang sudah pasti; dan tidak bertentangan dengan Hadis Ahad yang
kualitasnya lebih kuat.
Ibnu Jauziy meringkas kaidah
kesahihan matan Hadis itu dengan ungkapan berikut. Yaitu, setiap Hadis yang
bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan ketentuan pokok agama, pasti
Hadis tersebut tergolong Hadis palsu. Ada lagi yang menyatakan bahwa matan
Hadis dikatakan sahih jika tidak bertentangan dengan akal sehat, indra (Sains),
dan sejarah.
Semakin menarik. Matan Hadis yang
bermasalah, menurut jumhur (mayoritas) ulama itu adalah antara lain susunan
bahasanya rancu; isinya bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit
diinterpretasikan secara rasional; isinya bertentangan dengan hukum alam
(sunnatullah); dan isinya bertentangan dengan sejarah.
Dalam prakteknya, matan Hadis pun
mesti ditinjau dari sisi historis, antropologis, sosiologis, Sains, dan
lain-lain. Ringkas cerita, memahami matan Hadis mesti melibatkan banyak
disiplin ilmu pengetahuan. Alias teori Sains. Baik ilmu-ilmu alam, maupun
ilmu-ilmu sosial.
**************
Nah. Sekarang kita akan menerapkan
kaidah atau rumus kesahihan matan dari ulama itu pada Hadis sihir ini. Jangan
hanya tahu, tapi tidak berani menerapkan. Hehe. OK lah, let’s go… Jika dipahami
bahwa sakit Nabi itu karena sihir magis, atau karena santet yang melibatkan
kekuatan Jin atau setan atau iblis, maka kita mendiskualifikasi Hadis tersebut.
Karena bertentangan dengan akal sehat. Alias tidak masuk akal.
Juga bertentangan dengan Qur’an. Tidak
seorang pun, termasuk Labid, yang bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin
atau setan atau iblis (QS.7:27). Jika Nabi benar kena sihir magis, itu sama
saja membenarkan omong kosong orang kafir yang memusuhi Nabi, “Kamu hanyalah
mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir,” (QS.17:47 dan QS.25:8).
Bertentangan dengan fakta sejarah. Jika
benar Labid al-Yahudi itu bisa menyihir magis, maka tidak perlu repot-repot
membuat perjanjian dan juga perang dengan Nabi dan kaum Muslimin. Faktanya, kaum
Yahudi—sampai dikatakan memiliki dendam kesumat—itu masih mau melakukan
perjanjian dengan Nabi. Perjanjian Madinah. Sekaligus mengkhianati perjanjian
itu, yang membuat mereka diusir. Selain itu, mereka perang dengan Nabi dan
pasukannya. Misalnya perang Khaibar. Serta perang mereka dengan kaum Muslimin
yang dikenal dengan perang Bani Qainuqa.
Serta bertentangan dengan Sains. Tidak
pernah ada fakta Sains yang menyebutkan bahwa sakit seseorang itu disebabkan
oleh Jin, setan, iblis, makhluk halus, kesambet, dan seterusnya. Orang kalau
sakit fisiknya, itu kiainya adalah dokter. Dan orang kalau sakit jiwanya, itu kiainya
adalah psikiater.
Juga bertentangan dengan
sunnatullah. Ya, pemaknaan sihir magis itu menabrak ayat kauniyah Allah. Alias
hukum alam.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar