Rabu, 24 Juli 2019

MENGUJI MATAN HADIS SIHIR


—Saiful Islam—

“Hadis sihir magis, itu bertentangan dengan Qur’an, akal sehat, sejarah, dan Sains…”

Sebenarnya para pakar Hadis memberi panduan kepada kita tentang kaidah kesahihan sanad Hadis dan kaidah kesahihan matan Hadis, itu supaya kita hati-hati dalam menyampaikan Hadis. Supaya tidak sembarangan. Tidak sembrono. Tidak ngawur dalam menyampaikan. Baik ngomong maupun nulis. “Cek nggak nggedabrus,” kata Arek Suroboyo.

Meski begitu, ini tidak berarti dengan alasan kehati-hatian itu, lantas meninggalkan Hadis. Banyak saya jumpai. ‘Hati-hati’, ini ternyata justru secara terselubung, membuat umat Islam alergi dengan Hadis. Begitu juga menyikapi Qur’an. Alasan ‘hati-hati’, menjebak mereka mencuekin firman Allah itu.

Padahal. Asal jujur. Sungguh-sungguh mempelajari. Jika ternyata kesimpulannya adalah salah, maka masih diganjar satu kebaikan (pahala). Dan jika benar, akan mendapat dua. Menurut saya, justru hati-hati, menyelamlah. Pelajarilah. Pahamilah. Ambil yang paling kuat. Gimana kita hati-hati kepada ular, kalau kita tidak paham bahwa ular itu beracun yang dapat mematuk?!

Ada lima kriteria Hadis itu dikatakan sahih. Tiga tinjauan dari sisi sanadnya. Dan dua syarat lagi terkait matannya. Begini definsinya oleh Subhi Shalih dan Mahmud Thahan kurang lebih: “Hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang-orang yang adil (baik akhlaknya) dan dhabith (cerdas, kuat hafalan dan pemahamannya), sampai kepada Rasulullah, atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadis yang syadz (janggal, kontroversial) dan terkena illat (cacat).”

OK. Tinjauan sanad Hadis, kemarin sudah. Sekarang adalah matan Hadis. Atau redaksi Hadis. Atau teks Hadis. Sangat menarik mempelajari Hadis jika meninjau dari sisi teksnya ini. Ma’anil Hadis, nama materinya. Cara memahami teks Hadis. Ini salah satunya. Kami dapat materi ini kira-kira satu semester dulu. Ada lagi, mukhtalif Hadis. Atau Hadis mukhtalif. Hadis yang saling kontradiktif. Intinya, bagaimana cara menyikapi teks-teks Hadis. Kemudian mengambil kesimpulan.

Buku-buku yang bisa menjadi rujukan, adalah Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Al-Syafi’i (w. 204 H); Ta’wil Mukhtalif al-Hadits karya Ibn al-Qutaybah al-Dinuri (w. 276 H); Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiy karya Salahuddin Ibn Ahmad al-Dzahabi; Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif karya Muhammad Thahir al-Jawabi; Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin karya Muhammad Musthofa al-A’zhami; al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits karya Muhammad al-Ghazali, dan lain-lain.

Mengritisi Hadis, itu memang sangat penting. Karena pertama, Hadis baru ditulis resmi kira-kira satu abad (seratus tahun) setelah wafatnya Nabi. Hadis ditulis resmi (dibukukan) pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (w. 102 H), sedangkan Nabi wafat pada 11 H. Buku Hadis tertua yang bisa ditemukan adalah Muwaththa’ karya Imam Malik (w. 179 H). Dan kedua, telah terjadi pemalsuan Hadis. Awal muncul pemalsuan ini, kira-kira pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, penulisan Hadis itu tidak dikawal langsung oleh Nabi.

Nah, kaidah kesahihan matan Hadis atau redaksi Hadis itu, menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H) adalah tidak bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an yang muhkam; tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan Hadis mutawatir; tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama salaf; tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan tidak bertentangan dengan Hadis Ahad yang kualitasnya lebih kuat.

Ibnu Jauziy meringkas kaidah kesahihan matan Hadis itu dengan ungkapan berikut. Yaitu, setiap Hadis yang bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan ketentuan pokok agama, pasti Hadis tersebut tergolong Hadis palsu. Ada lagi yang menyatakan bahwa matan Hadis dikatakan sahih jika tidak bertentangan dengan akal sehat, indra (Sains), dan sejarah.

Semakin menarik. Matan Hadis yang bermasalah, menurut jumhur (mayoritas) ulama itu adalah antara lain susunan bahasanya rancu; isinya bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah); dan isinya bertentangan dengan sejarah.

Dalam prakteknya, matan Hadis pun mesti ditinjau dari sisi historis, antropologis, sosiologis, Sains, dan lain-lain. Ringkas cerita, memahami matan Hadis mesti melibatkan banyak disiplin ilmu pengetahuan. Alias teori Sains. Baik ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu sosial.

**************

Nah. Sekarang kita akan menerapkan kaidah atau rumus kesahihan matan dari ulama itu pada Hadis sihir ini. Jangan hanya tahu, tapi tidak berani menerapkan. Hehe. OK lah, let’s go… Jika dipahami bahwa sakit Nabi itu karena sihir magis, atau karena santet yang melibatkan kekuatan Jin atau setan atau iblis, maka kita mendiskualifikasi Hadis tersebut. Karena bertentangan dengan akal sehat. Alias tidak masuk akal.

Juga bertentangan dengan Qur’an. Tidak seorang pun, termasuk Labid, yang bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin atau setan atau iblis (QS.7:27). Jika Nabi benar kena sihir magis, itu sama saja membenarkan omong kosong orang kafir yang memusuhi Nabi, “Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir,” (QS.17:47 dan QS.25:8).

Bertentangan dengan fakta sejarah. Jika benar Labid al-Yahudi itu bisa menyihir magis, maka tidak perlu repot-repot membuat perjanjian dan juga perang dengan Nabi dan kaum Muslimin. Faktanya, kaum Yahudi—sampai dikatakan memiliki dendam kesumat—itu masih mau melakukan perjanjian dengan Nabi. Perjanjian Madinah. Sekaligus mengkhianati perjanjian itu, yang membuat mereka diusir. Selain itu, mereka perang dengan Nabi dan pasukannya. Misalnya perang Khaibar. Serta perang mereka dengan kaum Muslimin yang dikenal dengan perang Bani Qainuqa.

Serta bertentangan dengan Sains. Tidak pernah ada fakta Sains yang menyebutkan bahwa sakit seseorang itu disebabkan oleh Jin, setan, iblis, makhluk halus, kesambet, dan seterusnya. Orang kalau sakit fisiknya, itu kiainya adalah dokter. Dan orang kalau sakit jiwanya, itu kiainya adalah psikiater.

Juga bertentangan dengan sunnatullah. Ya, pemaknaan sihir magis itu menabrak ayat kauniyah Allah. Alias hukum alam.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...