—Saiful Islam—
“Jadi, sihir dengan menggunakan
perantara ruh itu tidak mendapat restu dari Qur’an dan begitu juga Sains…”
Secara bahasa pun, sakit Nabi yang
katanya disebabkan sihir yang magis, itu pun rancu. Sihir magis yang
menggunakan kekuatan Jin atau setan atau iblis, ini menurut saya adalah warisan
tradisi animisme—dinamisme. Keyakinan turunan nenek moyang orang Jawa—Madura yang
hanya berdasar dugaan belaka. Kemudian lantas membentuk stereotip.
Berdasar riwayat sebab nuzul juga,
sudah kita ketahui. Bahwa kedua riwayat itu berbeda. Kalau menggunakan
pendekatan tarjih (menguatkan salah satu), riwayat yang menyatakan sebab
sakit Nabi adalah diracun, itu lebih make sense. Daripada riwayat bahwa
penyebab sakit Nabi itu disihir secara magis. Dan penalaran riwayat sebab sakit
Nabi adalah disihir magis, itu pun terbukti tidak masuk akal.
Sekali lagi, di redaksi Hadis sihir
itu, tidak ada kata-kata Jin, setan, dan iblis. Dan terbukti kebanyakan orang
Jawa—Madura yang pro klenik, menyeret dan mengait-ngaitkan riwayat tersebut
dengan stereotip sihir magis. Kita sendirilah yang menghubungkan riwayat itu
dengan kekuatan Jin atau setan atau iblis. Padahal secara bahasa pelibatan
kekuatan Jin dalam sihir, itu tidak mendapat dukungan. Baik dari Qur’an maupun
Sains.
Mari kita lihat sekali lagi
analisis definisi sihir berikut ini.
كلّ
أمر يخفى سببُه ، ويُتخيّل على غير حقيقته ، ويجري مجرى التمويه والخداع ، إخراج
الباطل في صورة الحقّ ، استخدام القوى الخارقة بواسطة الأرواح
Sihir adalah apapun yang
tersembunyi sebabnya, terbayang sesuatu yang bukan sebenarnya, posisinya adalah
tipuan; menampakkan kedustaan yang seolah-olah kebenaran; menggunakan kekuatan
luar biasa dengan perantara roh-roh.
Perhatikan sekali lagi kalimat,
“terbayang sesuatu yang bukan sebenarnya”. Jadi hanya terbayang. Terbayang apa?
Terbayang sesuatu yang luar biasa. Magic. Yang membuat kita berdecak
kagum, “Kok bisa ya?”. Padahal kalau kita ketahui trik-triknya, tiba-tiba saja
berubah dalam benak kita, “Ealah. Ngono ta tibak e,” kata orang
Surabaya. “Perak ngak rea,” kata kawan Madura. “Tibiane mong gedigu,”
ucap orang Oseng Banyuwangi.
Perhatikan juga kalimat, “posisinya
adalah tipuan”. Jelas sekali, tipuan. Ya, tipuan. Jadi sihir itu memang tipuan.
Sekali lagi, sudah jelas tipuan. La kok di masyarakat justru sihir itu dianggap
sampai diyakini sesuatu yang luar biasa. Yang hebat. Yang benar-benar terjadi.
Malah dibumbu-bumbui, “perantara Jin, punya asisten Jin, kerja sama dengan Jin,
perbuatan Jin,” dan semisalnya.
Cermati juga kalimat, “menampakkan
kedustaan yang seolah-olah kebenaran”. Jadi kebenaran yang dihebat-hebatkan
masyarakat itu hanya seolah-olah. Cuma terbayang. Diyakini tanpa verifikasi.
Aslinya apa? Kedustaan. Ya, kedustaan. “Apos,” orang Oseng Banyuwangi
bilang. “Mbojok,” kata Arek Suroboyo. “Lecek,” jika diucapkan
oleh kacong-cebing Madura.
Jadi, tiga penggalan kalimat
pertama dari definisi tersebut adalah, menunjukkan arti sulapan. Yakni, terbayang
sesuatu yang bukan sebenarnya; posisinya adalah tipuan; dan menampakkan kedustaan
yang seolah-olah kebenaran.
Barulah kalimat ini yang menjadi
masalah, “menggunakan kekuatan luar biasa dengan perantara roh-roh”. Tertulis,
“perantara roh-roh”. Bukan perantara Jin, bukan perantara setan. Bukan juga
perantara iblis.
Roh-roh di sini tentu bukan
sosok-sosok makhluk halus. Kata arwah itu bentuk plural dari ruuh.
Al Qur’an tidak pernah menyebut arwah itu untuk makhluk halus. Tapi untuk ruh
yang masuk pada makhluk hidup seperti manusia, Al Qur’an disebut ruh (42:52),
dan ruh al-quds (16:102) untuk Malaikat Jibril.
Tidak ada dalam Al Qur’an frase ruh
Jin, ruh setan, atau ruh Iblis! Tidak ada!! “Menggunakan kekuatan luar biasa
dengan perantara roh-roh,” adalah keyakinan khas masyarakat primitif
animisme—dinamisme yang sangat ditentang oleh Al Qu’ran. Tidak ada kekuatan
dari roh-roh. Kekuatan itu hanya dari Allah. Bisa lewat Malaikat. Jadi, sihir
dengan menggunakan perantara ruh itu tidak mendapat restu dari Qur’an dan
begitu juga Sains.
Sekarang definisi berikutnya.
لَمْ
يَكُنْ ما جاءَ بِهِ إلا سِحْراً : كُلُّ أَمْرٍ أوْ عَمَلٍ يُزْعَمُ أنَّهُ
خَارِقٌ للعَادَةِ وَالطَّبِيعَةِ وَلاَ يُعْرَفُ سَبَبُهُ وَيُقْصَدُ بِهِ
التَّمْوِيهُ وَالخِدَاعُ
Yang dilakukannya tidak lain adalah
sihir. Maksudnya adalah setiap sesuatu atau pekerjaan yang dianggap keluar dari
kebiasaan atau hukum alam, tidak diketahui sebabnya, dengan tujuan menipu atau
memperdayakan.
Tidak ada yang bisa menyalahi hukum
alam. Sunnatullah. Allah sudah mengatur mekanisme alam semesta ini dengan
sunnatullah. Dengan sistem. Sehingga berjalan teratur sekaligus indah. Tidak
liar. Setiap sesuatu selalu ada sebab akibatnya. Karenanya, Allah memerintahkan
kita untuk mengambil ibrah (pelajaran) darinya. “Maka sekali-kali kamu tidak
akan mendapat penggantian bagi sunnatullah. Dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnatullah itu,” (35:43).
“Tidak diketahui sebabnya, dengan
tujuan menipu atau memperdayakan,” ini adalah sulapan. Tukang sulap memang
berusaha keras aksinya itu tidak diketahui sebabnya. Disembunyikan triknya.
Menyembunyikan sebab, adalah tujuan utamanya. Supaya aksinya terkesan amazing.
Ajaib. Luar biasa. Semua pesulap atau magician, memang tujuannya adalah
“mengelabui” penonton.
Analisis antar riwayat, sudah. Analisis
bahasanya, pun sudah. Analisis Ulumul Hadis-nya serta Qur’an-nya, insya Allah di
depan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar