Senin, 22 Juli 2019

SIHIR MAGIS KEYAKINAN TURUNAN


—Saiful Islam—

“Jadi, sihir dengan menggunakan perantara ruh itu tidak mendapat restu dari Qur’an dan begitu juga Sains…”

Secara bahasa pun, sakit Nabi yang katanya disebabkan sihir yang magis, itu pun rancu. Sihir magis yang menggunakan kekuatan Jin atau setan atau iblis, ini menurut saya adalah warisan tradisi animisme—dinamisme. Keyakinan turunan nenek moyang orang Jawa—Madura yang hanya berdasar dugaan belaka. Kemudian lantas membentuk stereotip.

Berdasar riwayat sebab nuzul juga, sudah kita ketahui. Bahwa kedua riwayat itu berbeda. Kalau menggunakan pendekatan tarjih (menguatkan salah satu), riwayat yang menyatakan sebab sakit Nabi adalah diracun, itu lebih make sense. Daripada riwayat bahwa penyebab sakit Nabi itu disihir secara magis. Dan penalaran riwayat sebab sakit Nabi adalah disihir magis, itu pun terbukti tidak masuk akal.

Sekali lagi, di redaksi Hadis sihir itu, tidak ada kata-kata Jin, setan, dan iblis. Dan terbukti kebanyakan orang Jawa—Madura yang pro klenik, menyeret dan mengait-ngaitkan riwayat tersebut dengan stereotip sihir magis. Kita sendirilah yang menghubungkan riwayat itu dengan kekuatan Jin atau setan atau iblis. Padahal secara bahasa pelibatan kekuatan Jin dalam sihir, itu tidak mendapat dukungan. Baik dari Qur’an maupun Sains.

Mari kita lihat sekali lagi analisis definisi sihir berikut ini.

كلّ أمر يخفى سببُه ، ويُتخيّل على غير حقيقته ، ويجري مجرى التمويه والخداع ، إخراج الباطل في صورة الحقّ ، استخدام القوى الخارقة بواسطة الأرواح
Sihir adalah apapun yang tersembunyi sebabnya, terbayang sesuatu yang bukan sebenarnya, posisinya adalah tipuan; menampakkan kedustaan yang seolah-olah kebenaran; menggunakan kekuatan luar biasa dengan perantara roh-roh.

Perhatikan sekali lagi kalimat, “terbayang sesuatu yang bukan sebenarnya”. Jadi hanya terbayang. Terbayang apa? Terbayang sesuatu yang luar biasa. Magic. Yang membuat kita berdecak kagum, “Kok bisa ya?”. Padahal kalau kita ketahui trik-triknya, tiba-tiba saja berubah dalam benak kita, “Ealah. Ngono ta tibak e,” kata orang Surabaya. “Perak ngak rea,” kata kawan Madura. “Tibiane mong gedigu,” ucap orang Oseng Banyuwangi.

Perhatikan juga kalimat, “posisinya adalah tipuan”. Jelas sekali, tipuan. Ya, tipuan. Jadi sihir itu memang tipuan. Sekali lagi, sudah jelas tipuan. La kok di masyarakat justru sihir itu dianggap sampai diyakini sesuatu yang luar biasa. Yang hebat. Yang benar-benar terjadi. Malah dibumbu-bumbui, “perantara Jin, punya asisten Jin, kerja sama dengan Jin, perbuatan Jin,” dan semisalnya.

Cermati juga kalimat, “menampakkan kedustaan yang seolah-olah kebenaran”. Jadi kebenaran yang dihebat-hebatkan masyarakat itu hanya seolah-olah. Cuma terbayang. Diyakini tanpa verifikasi. Aslinya apa? Kedustaan. Ya, kedustaan. “Apos,” orang Oseng Banyuwangi bilang. “Mbojok,” kata Arek Suroboyo. “Lecek,” jika diucapkan oleh kacong-cebing Madura.

Jadi, tiga penggalan kalimat pertama dari definisi tersebut adalah, menunjukkan arti sulapan. Yakni, terbayang sesuatu yang bukan sebenarnya; posisinya adalah tipuan; dan menampakkan kedustaan yang seolah-olah kebenaran.

Barulah kalimat ini yang menjadi masalah, “menggunakan kekuatan luar biasa dengan perantara roh-roh”. Tertulis, “perantara roh-roh”. Bukan perantara Jin, bukan perantara setan. Bukan juga perantara iblis.

Roh-roh di sini tentu bukan sosok-sosok makhluk halus. Kata arwah itu bentuk plural dari ruuh. Al Qur’an tidak pernah menyebut arwah itu untuk makhluk halus. Tapi untuk ruh yang masuk pada makhluk hidup seperti manusia, Al Qur’an disebut ruh (42:52), dan ruh al-quds (16:102) untuk Malaikat Jibril.

Tidak ada dalam Al Qur’an frase ruh Jin, ruh setan, atau ruh Iblis! Tidak ada!! “Menggunakan kekuatan luar biasa dengan perantara roh-roh,” adalah keyakinan khas masyarakat primitif animisme—dinamisme yang sangat ditentang oleh Al Qu’ran. Tidak ada kekuatan dari roh-roh. Kekuatan itu hanya dari Allah. Bisa lewat Malaikat. Jadi, sihir dengan menggunakan perantara ruh itu tidak mendapat restu dari Qur’an dan begitu juga Sains.

Sekarang definisi berikutnya.

لَمْ يَكُنْ ما جاءَ بِهِ إلا سِحْراً : كُلُّ أَمْرٍ أوْ عَمَلٍ يُزْعَمُ أنَّهُ خَارِقٌ للعَادَةِ وَالطَّبِيعَةِ وَلاَ يُعْرَفُ سَبَبُهُ وَيُقْصَدُ بِهِ التَّمْوِيهُ وَالخِدَاعُ
Yang dilakukannya tidak lain adalah sihir. Maksudnya adalah setiap sesuatu atau pekerjaan yang dianggap keluar dari kebiasaan atau hukum alam, tidak diketahui sebabnya, dengan tujuan menipu atau memperdayakan.

Tidak ada yang bisa menyalahi hukum alam. Sunnatullah. Allah sudah mengatur mekanisme alam semesta ini dengan sunnatullah. Dengan sistem. Sehingga berjalan teratur sekaligus indah. Tidak liar. Setiap sesuatu selalu ada sebab akibatnya. Karenanya, Allah memerintahkan kita untuk mengambil ibrah (pelajaran) darinya. “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnatullah. Dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnatullah itu,” (35:43).

“Tidak diketahui sebabnya, dengan tujuan menipu atau memperdayakan,” ini adalah sulapan. Tukang sulap memang berusaha keras aksinya itu tidak diketahui sebabnya. Disembunyikan triknya. Menyembunyikan sebab, adalah tujuan utamanya. Supaya aksinya terkesan amazing. Ajaib. Luar biasa. Semua pesulap atau magician, memang tujuannya adalah “mengelabui” penonton.

Analisis antar riwayat, sudah. Analisis bahasanya, pun sudah. Analisis Ulumul Hadis-nya serta Qur’an-nya, insya Allah di depan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...