Selasa, 30 Juli 2019

INDIGO BUKAN PARANORMAL


—Saiful Islam—

“Sejatinya, indigo, itu adalah label dari orang tua yang anaknya mengalami gangguan kejiwaan. Ya, gangguan jiwa…”

Suatu hari, saya bertemu dengan seseorang di sebuah sekolah. Di samping kiri saya, ada seorang gadis kelas 3 SD. Cantik. Tinggi besar. Lebat dan ikal rambutnya. Lebar matanya. Tirus wajahnya. Kuning langsat kulitnya. Tiba-tiba orang tadi, menginfokan kepada saya bahwa gadis ini inklusi. Informasi itu semakin saya gali. Ternyata dia dianggap inklusi karena dianggap bisa berkomunikasi dengan makhluk halus di alam gaib. Ya, sudah menjadi anggapan umum di sekolah itu bahwa gadis ini tidak normal seperti anak-anak biasanya.

Langsung saja saya ajak gadis yang beragama non muslim ini berkomunikasi. Awalnya pakai Bahasa Indonesia. Namun dari keterangan-keterangannya, agaknya anak ini ingin sekali berbicara dengan Bahasa Inggris. Logat-loganya agaknya sering berbahasa Inggris. Bahkan sesekali mengucapkan kosa kata dari Bahasa Inggris. Maka saya pun mengutarakan pertanyaan-pertanyaan ringan dengan Bahasa Inggris.

Cukup baik dia menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan ini: “What is your complete name?”, “So, how can I call your nick name?”, “Where do you live?”, “Do you have brothers?”. “Do you have sisters?” “Younger brother or elder brother?”, “Younger sister or elder sister?” Dari keterangannya pula, saya mendapat info bahwa satu kakaknya yang bernama Karin (bukan nama sebenarnya) juga sekolah di situ. Kelas 6. Semua warga sekolah rata-rata menganggapnya juga sebagai gadis aneh. Sering ngomong sendiri. Ngobrol dengan makhluk halus.

Suatu hari, saya juga menemui kakaknya itu. Saya melakukan cara yang sama. Mengecek normal dan tidak otaknya dengan pertanyaan-pertanyaan. Ya, kalau dia bisa menjawab dengan logis pertanyaan-pertanyaan ringan yang saya ajukan, saya pastikan bahwa dia gadis yang normal. Apalagi dengan Bahasa Inggris. Yang mesti harus dengan grammar. Bahasa, itu hasil kerja otak kiri. Otak logis. Otak rasional. Otak sebab akibat. Otak konsekuensi. Otak tanggung jawab. Otak reward and punishment. Otak kontrol. Kalau bahasanya bagus, biasanya matematikanya juga bagus. Anak yang otak kirinya masih bagus, maka anak itu normal. Kesimpulannya, dua anak itu normal.

Jangankan di masyarakat umumnya. Di lingkungan sekolah saja, tidak menjamin para gurunya itu bebas dari tradisi klenik warisan animisme-dinamisme. Meskipun kedua anak tadi, itu beragama non muslim, tapi rata-rata yang mengjudge bahwa anak itu bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus gaib adalah muslim. Maka saya pun mengajak diskusi langsung orang tadi.

Sudah umum, masyarakat menyebut indigo. Yaitu anggapan ada anak yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus gaib. Termasuk kasus kesurupan masal yang viral kemarin. Yang mengatakan bahwa semua itu adalah santet oleh sesama artis yang iri, adalah anak yang dianggap indigo itu. Agama kedua anak yang saya ceritakan tadi itu adalah Hindu. Agaknya yakin ada orang yang bisa melihat makhluk halus gaib dan bahkan sampai berinteraksi. Saya tidak percaya! Argumentasinya, seri tulisan ini dari awal sampai akhir.

Indigo itu adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Sekadar diyakini tanpa rujukan yang jelas. Ini adalah gagasan semu (abu-abu alias tidak jelas) berawal tahun 1970-an. Anak indigo dianggap sebagai tahab evolusi manusia selanjutnya. Bahkan dianggap sekali lagi dianggap, punya kemampuan paranormal (alias nggak normal). Dan masyarakat Indonesia, Jawa-Madura-Sunda, terutama, itu menggembor-gemborkan yang paranormal ini.

Catat ini: tidak ada satu bukti penelitian pun yang membuktikan keberadaan anak indigo atau sifat mereka. Tapi kita mudahnya latah ikut-ikut bilang bahwa seorang anak adalah indigo: anak yang bisa berinteraksi dengan makhluk halus gaib. Secara Qur’an maupun Sains memang tidak bisa orang berinteraksi dengan makhluk halus gaib itu. Ditengarai fenomena indigo, itu dibesar-besarkan oleh orang tua yang anaknya didiagnosis mengalami kesulitan belajar. Atau mereka ingin anaknya dianggap spesial.

Ternyata, banyak anak yang dilabeli indigo itu didiagnosis mengidap penyakit attention-deficit hyperactivity disorder. Atau ADHD. Ya, penyakit. Alias gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak sampai menyebabkan aktivitas anak yang tak lumrah dan cenderung berlebihan. Tanda-tandanya antara lain perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa tenang, meletup-letup, aktivitas berlebihan, sampai suka membuat keributan.

Sejatinya, kata indigo, itu adalah label dari orang tua yang anaknya mengalami gangguan kejiwaan. Orang tua lebih memilih meyakini bahwa anak mereka itu spesial dan terpilih untuk misi yang penting daripada menerima kenyataan bahwa anak mereka mengidap penyakit kejiwaan. Banyak anak yang dilabeli indigo, itu telah dimasukkan ke sekolah rumah.

Kita latah melabeli seorang anak adalah indigo, itu akan membuat mereka latah juga. Tuman. “Aleman,” kata orang Oseng Banyuwangi. Alias ingin dipuji. Ini akan semakin membuat anak ‘kreatif’ berhalusinasi dan berdelusi. Tentu ini sangat bahaya. Berhalusinasi dan berdelusi itu adalah penyakit jiwa. Semakin akut, orang bisa ‘gila’ beneran. Bahkan semakin parah bisa mengalami kematian psikogenik, sebagaimana yang saya ceritakan kemarin.

Kita latah mengatakan bahwa seorang anak bisa berinteraksi dengan makhluk halus gaib, itu sama saja kita ikut menjerumuskan anak tersebut ke penyakit jiwa yang semakin dalam. Sungguh, ini harus dirubah. Tidak ada anak paranormal itu. Tidak ada anak yang bisa berinteraksi dengan gaib itu. Sebaliknya. Mari kita perlakukan anak-anak itu sebagaimana mestinya. Yang normal-normal saja. Apa adanya. Jangan malah ikut-ikutan melabel (apalagi di depannya langsung), bahwa anak itu indigo. Atau anak ajaib. Atau anak sakti. Atau anak bisa melihat Jin. Sekali lagi, latah melabel seperti itu, kita malah menjerumuskan anak ke dalam penyakitnya yang semakin dalam.

Perlakukanlah anak itu normal. Ajak dia berkomunikasi. Ajak dia berbahasa. Latih dia berhitung. Libatkan dalam permainan sebagaimana normalnya. Berilah tebak-tebakan. Ajak mereka berpikir. Aktifkan otak kirinya. Tugaskan mereka membuat kerajinan tangan atau keterampilan. Libatkan dalam aktivitas seni. Dan lain seterusnya sebagaimana anak normal lainnya.

Kalau dia muslim-muslimah, akrabkan dengan Qur’an. Dengan Sains. Dengan ilmu pengetahuan. Dengan literacy. Dan sebaliknya. Kalau ingin sembuh. Kalau ingin selamat. Jauhkan mereka dengan klenik, warisan keyakinan masyarakat primitif nenek moyang animisme-dinamisme!

QS. Al-Isra’[17]: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan JANGANLAH KAMU MENGIKUTI apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu AKAN DIMINTA PERTANGGUNGAN JAWABNYA.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...