Senin, 28 April 2014

HATI-HATI BUKAN BERARTI PELAN-PELAN


Ada dua orang santri yang baru saja bersilaturahim kepada rumah Sang Kiai. Keduanya datang dengan sepeda motor. Sudah lebih dari satu jam, mereka bertiga saling berdiskusi. Kini sudah waktunya pulang. Berpamitanlah keduanya kepada Sang Kiai, “Kami pamit Yai?”

“Baik Nu (Ibnu—sapaan akrab seorang kiai kepada murid-murdinya yang berarti putra), hati-hati yah di jalan”.

Nah, kalau kita cermati lebih dalam kalimat “hati-hati di jalan”, itu ternyata mempunyai kesan yang dalam dan syarat dengan nilai-nilai kebijaksanaan dan kedewasaan. Sudah banyak terjadi di masyarakat, bahkan guru kita, teman-teman kita, keluarga atau famili kita, bahkan orang tua kita sering mengatakan kalimat “sakti” itu. Masalahnya, maknanya menurut saya sering dipelesetkan dengan kata “pelan-pelan”. Jadi kalimat itu memberi penegasan, “Pelan-pelan di jalan”. Padahal tidak sesederhana itu makna “hati-hati di jalan”. Saya akan mengulasnya untuk Anda agar kita semua lebih arif dan bijaksana (wisdom).

Hati-hati di jalan itu tidak selalu pelan-pelan. Tapi lebih tepat adalah kapan kita harus pelan dan kapan kita harus cepat. Kapan kita harus menurunkan gas dan kapan pula kita harus menancap gas, bahkan hingga full alias ngebut! Ada sebuah kisah nyata sebuah keluarga kecil berempat yang terdiri dari bapak, ibu dan kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Mereka mengendarai sepeda motor kecepatan kira-kira 40-an km/jam. Pelan dan berada di tepi. Namun naasnya, bertepatan dengan itu ada seorang yang mengendari mobil ngebut karena dapat kabar anaknya meninggal di rumah sakit. Mobil tersebut menabrak dari belakang keluarga kecil tadi. Akhir kisah, mereka berempat tewas!

Mengabil pelajaran (ibrah bukan hikmah) dari kisah tersebut bahwa hati-hati itu sama sekali tidak identik dengan pelan-pelan. Justru dengan pelan-pelan bisa jadi tidak hati-hati. Istilah saya, kapan kita harus meroket kapan kita harus kalem seperti kura-kura atau siput. Itu tergantung pada keadaan, waktu dan tempat (ketupat). Atau menyesuaikan dengan ‘ashr (waktu), kondisi-situasi, dan posisi. Dengan kondisional seperti ini, kita akan menjadi bijak!

Dulu saat usia masih belasan tahun, saudara saya menasehati yang sampai sekarang masih melekat kuat, “Kalau berkendara malam hari, jangan terlalu minggir dan jangan terlalu pelan”. Nampaknya dia pun masih ragu-ragu mengatakan, “Kalau malam ngebutlah!” Kenapa? Karena kalau kita terlalu minggir dan terlalu pelan, bisa dijegal oleh maling atau rampok. Nasehat yang bijaksana menurut saya.

Kalau kita kaitkan dalam kehidupan yang lebih luas, orang yang bijak itu selalu melihat meaning. Jangan langsung menuduh musik rock itu tidak baik misalnya. Yang baik hanya musik-musik religi yang kalem, mendayu-dayu, slow dan yang semisalnya. Sekali lagi tidak! Musik rock itu juga sewaktu-waktu kita butuhkan. Agar tidak ngantuk saat membaca, belajar, bekerja dan menulis misalnya. Keduanya sama-sama dibutuhkan, lagi-lagi kondisional. Sebab, tidak jarang musik yang mendayu-dayu membuat kita lemas, ngantuk lalu tertidur. Lama-lama jadi kebiasaan malah berbahaya bagi prestasi dan kualitas hidup kita. Sebaliknya, musik rock sering membuat kita “mantuk-mantuk”, dance, dan memancing adrenalin kita sehingga kita jadi lebih semangat, enerjik penuh antusias. Efeknya, kita menjalani pekerjaan dengan happy dan ini akan berdampak pada kualitas hasil dari pekerjaan kita. Inilah hati-hati itu yang sebenarnya atau lebih tepatnya wisdom itu mengajarkan kita pada kondisonal, adaptif pada lingkungan. Jadi, “hati-hati di jalan” sama sekali tidak terkait dengan pelan-pelan. Bahkan juga identik dengan keras-keras, cepat-cepat, “aneh-aneh”, tidak biasa, “gila-gila” dan lain semacamnya. Karena pelan-pelan kalau tidak tepat pada sikon bisa menjadi petaka dan membunuh kita.

“Di jalan” kalau kita kaitkan dengan “jalan kehidupan”, maka kondisional itulah seharusnya kita berpikir, bersikap dan berbuat. Menjadi orang yang kondisional dan tidak asal pokoknya, membuat kearifan kita terus tumbuh dan berkembang. Apakah sama orang yang banyak ilmunya (kaya informasi) dengan yang sedikit? Tentu jawabannya tidak sama. Kenapa? Karena orang pertama, dengan ilmu-ilmunya yang seperti “pelangi” mampu melihat masalah dari segala aspek lengkap dengan kontek-konteknya. Layak orang seperti ini dijuluki The wisdom man.

Awas menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk tanpa memperhatikannya lebih dahulu. Hati-hati prinsip selama ini yang Anda miliki yang sudah harga mati Anda pedomani. Nampaknya penting Anda tinjau ulang prinsip itu. Sebab kalau sudah mengakar dalam pikiran bawah sadar, bisa jadi mencelakakan Anda. Seperti katak yang dibiasakan dikurung beberapa waktu. Saat tutupnya dibuka bahkan dilepas di alam bebaspun, dia tidak mau melompat. Sebabnya, pikiran mereka sudah diinstall, “Kalau melompat, pasti kepalaku terbentur dan itu sakit”. Lalu dia tidak mau melompat. Kalau dia diam terus, padahal perutnya sudah sangat lapar, maka bisa jadi dia akan mati di tempat itu juga! Sekali lagi, recode lagi mindset Anda!


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat 
Semoga jadi media silaturahim yang membawa banyak manfaat…J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...