Ada dua orang santri yang baru saja bersilaturahim kepada rumah
Sang Kiai. Keduanya datang dengan sepeda motor. Sudah lebih dari satu jam,
mereka bertiga saling berdiskusi. Kini sudah waktunya pulang. Berpamitanlah
keduanya kepada Sang Kiai, “Kami pamit Yai?”
“Baik Nu (Ibnu—sapaan akrab seorang kiai kepada
murid-murdinya yang berarti putra), hati-hati yah di jalan”.
Nah, kalau kita cermati lebih dalam kalimat “hati-hati di jalan”,
itu ternyata mempunyai kesan yang dalam dan syarat dengan nilai-nilai
kebijaksanaan dan kedewasaan. Sudah banyak terjadi di masyarakat, bahkan guru
kita, teman-teman kita, keluarga atau famili kita, bahkan orang tua kita sering
mengatakan kalimat “sakti” itu. Masalahnya, maknanya menurut saya sering
dipelesetkan dengan kata “pelan-pelan”. Jadi kalimat itu memberi penegasan,
“Pelan-pelan di jalan”. Padahal tidak sesederhana itu makna “hati-hati di
jalan”. Saya akan mengulasnya untuk Anda agar kita semua lebih arif dan
bijaksana (wisdom).
Hati-hati di jalan itu tidak selalu pelan-pelan. Tapi lebih tepat
adalah kapan kita harus pelan dan kapan kita harus cepat. Kapan kita harus
menurunkan gas dan kapan pula kita harus menancap gas, bahkan hingga full
alias ngebut! Ada sebuah kisah nyata sebuah keluarga kecil berempat yang
terdiri dari bapak, ibu dan kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Mereka
mengendarai sepeda motor kecepatan kira-kira 40-an km/jam. Pelan dan berada di
tepi. Namun naasnya, bertepatan dengan itu ada seorang yang mengendari mobil
ngebut karena dapat kabar anaknya meninggal di rumah sakit. Mobil tersebut
menabrak dari belakang keluarga kecil tadi. Akhir kisah, mereka berempat tewas!
Mengabil pelajaran (ibrah bukan hikmah) dari kisah tersebut
bahwa hati-hati itu sama sekali tidak identik dengan pelan-pelan. Justru dengan
pelan-pelan bisa jadi tidak hati-hati. Istilah saya, kapan kita harus meroket
kapan kita harus kalem seperti kura-kura atau siput. Itu tergantung pada
keadaan, waktu dan tempat (ketupat). Atau menyesuaikan dengan ‘ashr (waktu),
kondisi-situasi, dan posisi. Dengan kondisional seperti ini, kita akan menjadi
bijak!
Dulu saat usia masih belasan tahun, saudara saya menasehati yang
sampai sekarang masih melekat kuat, “Kalau berkendara malam hari, jangan
terlalu minggir dan jangan terlalu pelan”. Nampaknya dia pun masih ragu-ragu
mengatakan, “Kalau malam ngebutlah!” Kenapa? Karena kalau kita terlalu minggir
dan terlalu pelan, bisa dijegal oleh maling atau rampok. Nasehat yang bijaksana
menurut saya.
Kalau kita kaitkan dalam kehidupan yang lebih luas, orang yang
bijak itu selalu melihat meaning. Jangan langsung menuduh musik rock itu
tidak baik misalnya. Yang baik hanya musik-musik religi yang kalem,
mendayu-dayu, slow dan yang semisalnya. Sekali lagi tidak! Musik rock
itu juga sewaktu-waktu kita butuhkan. Agar tidak ngantuk saat membaca, belajar,
bekerja dan menulis misalnya. Keduanya sama-sama dibutuhkan, lagi-lagi
kondisional. Sebab, tidak jarang musik yang mendayu-dayu membuat kita lemas,
ngantuk lalu tertidur. Lama-lama jadi kebiasaan malah berbahaya bagi prestasi
dan kualitas hidup kita. Sebaliknya, musik rock sering membuat kita
“mantuk-mantuk”, dance, dan memancing adrenalin kita sehingga kita jadi
lebih semangat, enerjik penuh antusias. Efeknya, kita menjalani pekerjaan
dengan happy dan ini akan berdampak pada kualitas hasil dari pekerjaan kita.
Inilah hati-hati itu yang sebenarnya atau lebih tepatnya wisdom itu
mengajarkan kita pada kondisonal, adaptif pada lingkungan. Jadi, “hati-hati di
jalan” sama sekali tidak terkait dengan pelan-pelan. Bahkan juga identik dengan
keras-keras, cepat-cepat, “aneh-aneh”, tidak biasa, “gila-gila” dan lain
semacamnya. Karena pelan-pelan kalau tidak tepat pada sikon bisa menjadi petaka
dan membunuh kita.
“Di jalan” kalau kita kaitkan dengan “jalan kehidupan”, maka
kondisional itulah seharusnya kita berpikir, bersikap dan berbuat. Menjadi
orang yang kondisional dan tidak asal pokoknya, membuat kearifan kita terus
tumbuh dan berkembang. Apakah sama orang yang banyak ilmunya (kaya informasi)
dengan yang sedikit? Tentu jawabannya tidak sama. Kenapa? Karena orang pertama,
dengan ilmu-ilmunya yang seperti “pelangi” mampu melihat masalah dari segala
aspek lengkap dengan kontek-konteknya. Layak orang seperti ini dijuluki The
wisdom man.
Awas menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk tanpa
memperhatikannya lebih dahulu. Hati-hati prinsip selama ini yang Anda miliki
yang sudah harga mati Anda pedomani. Nampaknya penting Anda tinjau ulang
prinsip itu. Sebab kalau sudah mengakar dalam pikiran bawah sadar, bisa jadi
mencelakakan Anda. Seperti katak yang dibiasakan dikurung beberapa waktu. Saat
tutupnya dibuka bahkan dilepas di alam bebaspun, dia tidak mau melompat.
Sebabnya, pikiran mereka sudah diinstall, “Kalau melompat, pasti kepalaku
terbentur dan itu sakit”. Lalu dia tidak mau melompat. Kalau dia diam terus,
padahal perutnya sudah sangat lapar, maka bisa jadi dia akan mati di tempat itu
juga! Sekali lagi, recode lagi mindset Anda!
NB: Silahkan
IZIN terlebih dulu ke ahmadsaifulislam@gmail.com
atau sms (085733847622) bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi
ini. Follow juga twitternya @tips_kemenangan untuk dapetin tweet-tweet segar,
kultweet, video, foto, news, dan lain seterusnya. Visi-Misi saya, menebar
manfaat dan mengajak semua sahabat yang gabung di sini untuk selalu menang
(hayya ‘alal falah). Sebagai pelengkap, follow juga di @MotivasiAyat
Terima kasih,
salam menang salam sukses...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar