Senin, 07 April 2014

BERDAKWAH SAMBIL MARAH? "BOLEH"!



Hari jum’at lalu, saya pastikan untuk shalat jum’at di Masjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kebetulan yang bertindak sebagai khatib adalah Prof. Dr. H. Maschan Moesa. Judul khutbahnya, “Desakralisasi Agama”. Dia mengawali dengan sebuah cerita sebagai berikut ini saya tuturkan untuk Anda.
“Waktu itu, banyak umat Islam yang marah karena merasa Nabinya dihina oleh sebuah film, “Innocene of Muslems”. Para kiai, para ustadz, kebanyakan mereka marah karena film ini. Waktu itu saya diundang diskusi di luar negeri membahas ini. Dan sebagian besar ulama-ulama yang hadir itu marah. Tiba-tiba ada salah seorang bilang kepada saya, “Kok Anda beda sendiri, tidak marah?” Jawabannya sebagai berikut.”
“Seharusnya umat Islam tidak perlu marah-marah begitu. Wong Nabi tidak pernah marah kok. Di Thaif dilempari batu hingga berdarah. Dan Nabi tetap tidak  marah. Bahkan malaikat Jibril menawari beliau untuk memintakan adzab mereka. Tapi nabi hanya menjawab, “Mereka belum tahu”. Dan nabi pun membiarkan mereka. Menurut saya, kita harus mencontoh nabi. Jangan sampai umat Islam yang berniat membela nabi, tapi caranya tidak seperti nabi. Padahal, kan bisa mendatangi sutradaranya dan membicarakan baik-baik tentang film itu. Bisa jadi mereka tidak membaca sejarah Nabi Muhammad. Mereka belum tahu. Saya rasa lebih tepat dan elegan. Begitu juga kasus Syiah yang sudah berkembang ribuan di Sampang. Menghadapi mereka tidak perlu marah-marah, tapi harus dengan dialog yang bijaksana”.
“Memang Nabi mengatatakan Islam itu terpecah menjadi tujuh puluh tiga, yang benar hanya satu yaitu Ahlussunnah wal Jamaah. Tapi tugas kita bukan malah mengatakan mereka sesat dan dibiarkan seperti itu. Tugas kita adalah bagaimana menyelamatkan mereka. Islam itu kan asal katanya aslama yuslimu islama yang berarti menyelematkan. Jadi bagaimana membuat mereka islam dan kembali ke jalan yang benar. Bagaimana membuat mereka Islam. Contohlah walisongo dulu, mereka berdakwah pendekatannya akhlak, bukan fiqih. Makanya kalau dakwah jangan menggunakan fiqih tapi akhlak”.
“Ingat Rasulullah ketika di Thaif itu kalau pendekatannya fiqih, ya halal dibunuh. Tapi tidak begitu yang dilakukan beliau. Nabi berdakwah dengan pendekatakan akhlakul karimah. Saya heran ada orang yang sukanya mengkafir-kafirkan orang lain. Membid’ah-bid’ahkan orang lain. Belajar agama dimana orang itu?! Ribet juga mau menjadikan negara sebagai negara Islam. Kan negara itu cuma wadah?! Dakwah kita itu pada orangnya. Soal wadah itu terserah. Jadi sekali lagi, kalau dakwah jangan pakai fiqih tapi pakailah akhlaq. Kalau baca kitab-kitab fiqih harus mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Mulai dari thaharah, shalat dan seterusnya hingga terakhir imamah. Jangan baru baca langsung imamah. Ya jadi aliran keras nanti.”
“Kita perlu melakukan desakralisasi agama terutama metode dakwahnya ini. Tujuan dakwah itu sendiri adalah menyelamatkan orang lain. Ingat Nabi itu diutus sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), bukan hanya lil muslim (bagi orang Islam saja). Misi nabi adalah menyelamatkan mereka dari kesesatan. Bukan malah menyesat-nyesatkan, membid’ah-bid’ahkan.”
Begitulah kurang lebih khutbah Prof. Maschan. Rasanya saya tergelitik untuk memberi komentar. Bukannya sok minteri dia. Hanya urun gagasan saja. Secara keseluruuhan, saya setuju. Namun secara parsial, saya juga kurang sependapat dengan fakta yang disampaikan. “Nabi tidak pernah marah”, setahu saya nabi pun pernah marah. Tepatnya, saat belasan sahabat nabi yang hafal Alquran terbunuh karena nabi ditipu oleh seorang munafiq. Sebulan penuh, nabi marah mendoakan mereka agar diadzab oleh Allah. Ini terekam dalam hadis nabi yang disebut qunut nazilah. Lalu, satu bulan pas ditegur oleh Allah dan beliau menghentikan doanya.
Menurut saya, marah adalah hal manusiawi. Belajar dari kisah nabi, kita boleh marah dan memang sesekali butuh marah terkait dengan prinsip hidup kita dilecehkan orang lain. Sesekali kita tampakkan marah kita juga, biar mereka tidak terus-terusan bertindak seenak jidatnya sendiri kepada kita. Ini bukan marah buta, tetapi marah yang scientific. Kalau bisa ekspresi saja marah, tapi hati harus tetap dingin. Kalau Anda terus-terusan dilecehkan orang, lalu Anda diam, maka sampai kiamat Anda akan selalu dilecehkan. Perhatikan saran bijak filsuf terkemuka Aristoteles dalam The Nicomachean Ethics, “Marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah”. Hanya saja dalam konteks film yang menghina nabi itu, saya memang setuju dengan Prof. Maschan. Karena itu baru satu kali. Tapi kalau berkali-kali, saya rasa memang harus diberi pelajaran juga. Konsep dakwah yang ditawarkan Profesor saya setuju. Karena memang dengan kelembutan kita bisa menguasai lawan. Soal kelembutan ini lebih jauh, Anda bisa langsung tanya saya. Saya punya cerita menarik tentang kelembutan ini. Yang pasti cerita ini inspiratif dan menggelitik.
Marah bukanlah metode dakwah yang baik secara umum, itu memang benar. Itulah sebabnya, paradigma EQ yang dikonstruksi Goleman lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi (bahasa saya “hikmah” atau pengendalian diri yang tinggi). Bayangkan, apa yang terjadi jika emosi tak terkendali. Konsekwensi negatifnya adalah orang biasanya selalu marah-marah. Padahal, sikap marah-marah justru mematikan nalar-intelektual yang secara otomatis membunuh potensi IQ dan EQ sekaligus.
Soal dakwah sepertinya saya pernah menulis solusi yang terkait dengannya. Iya kalau dulu, semua orang masih primitif dan sangat awam dengan Islam. Jadi misi dakwahnya cukup bagaimana mereka masuk Islam. Lagian kalau sudah Islam, masalah kaifiyatnya tidak akan ada pertentangan. Karena mereka memang langsung dibimbing nabi. Cara shalatnya dan lain sebagainya langsung ditegur nabi apabila ada kesalahan. Begitu juga walisongo menggunakan misi mengislamkan, karena waktu itu bangsa kita sangat primitif dan bisanya cuma ikut-ikutan. Terbukti saat hindu, mereka ikut hindu. Ada budha, mereka ikut budha.
Ini berbeda dengan kondisi kita saat ini. Dimana umat Islam terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok. Sebabnya, mereka hanya memahami Islam dari teks baik Quran maupun hadis. Mereka yang terdidik biasanya lebih kritis dari mereka yang awam. Jadi menurut saya, zaman sekarang memang harus menerapkan dua misi dakwah. Pertama kepada golongan awam. Kepada mereka misi kita bagaimana mengislamkan dulu. Itu sudah cukup, masalah perbedaan cara ibadah itu soal belakangan. Kedua, kepada para pelajar dan sarjana. Kepada mereka tidak cukup misi memasukkan Islam. Pasti dianggap basi. Dakwah kepada mereka harus dengan diskusi, debat, dialog terbuka, dan pemikiran-pemkiran yang lebih dalam. Sekali lagi, jadi tidak dipukul rata. Audiens harus dipilah-pilah, antara yang awam dan yang sudah terpelajar dalam memahami Islam. Sebagaimana dawue si cerdas Ali karramallah wajhah, “Kallimu ‘ala qodri ‘uqulihim”.
Soal akhlak itu sebenarnya sama-sama bisa diterapkan. Baik kepada para awam atau para terpelajar. Debat dengan akhlak pun bisa kok! Wajadilhum billati hiya ahsan.


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...