Hari jum’at lalu, saya pastikan untuk shalat
jum’at di Masjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kebetulan yang bertindak
sebagai khatib adalah Prof. Dr. H. Maschan Moesa. Judul khutbahnya,
“Desakralisasi Agama”. Dia mengawali dengan sebuah cerita sebagai berikut ini
saya tuturkan untuk Anda.
“Waktu itu, banyak umat Islam yang marah karena
merasa Nabinya dihina oleh sebuah film, “Innocene of Muslems”. Para kiai, para
ustadz, kebanyakan mereka marah karena film ini. Waktu itu saya diundang
diskusi di luar negeri membahas ini. Dan sebagian besar ulama-ulama yang hadir
itu marah. Tiba-tiba ada salah seorang bilang kepada saya, “Kok Anda beda
sendiri, tidak marah?” Jawabannya sebagai berikut.”
“Seharusnya umat Islam tidak perlu marah-marah
begitu. Wong Nabi tidak pernah marah kok. Di Thaif dilempari batu hingga
berdarah. Dan Nabi tetap tidak marah.
Bahkan malaikat Jibril menawari beliau untuk memintakan adzab mereka. Tapi nabi
hanya menjawab, “Mereka belum tahu”. Dan nabi pun membiarkan mereka. Menurut
saya, kita harus mencontoh nabi. Jangan sampai umat Islam yang berniat membela
nabi, tapi caranya tidak seperti nabi. Padahal, kan bisa mendatangi
sutradaranya dan membicarakan baik-baik tentang film itu. Bisa jadi mereka
tidak membaca sejarah Nabi Muhammad. Mereka belum tahu. Saya rasa lebih tepat
dan elegan. Begitu juga kasus Syiah yang sudah berkembang ribuan di Sampang.
Menghadapi mereka tidak perlu marah-marah, tapi harus dengan dialog yang
bijaksana”.
“Memang Nabi mengatatakan Islam itu terpecah
menjadi tujuh puluh tiga, yang benar hanya satu yaitu Ahlussunnah wal Jamaah.
Tapi tugas kita bukan malah mengatakan mereka sesat dan dibiarkan seperti itu.
Tugas kita adalah bagaimana menyelamatkan mereka. Islam itu kan asal katanya aslama
yuslimu islama yang berarti menyelematkan. Jadi bagaimana membuat mereka
islam dan kembali ke jalan yang benar. Bagaimana membuat mereka Islam. Contohlah
walisongo dulu, mereka berdakwah pendekatannya akhlak, bukan fiqih. Makanya
kalau dakwah jangan menggunakan fiqih tapi akhlak”.
“Ingat Rasulullah ketika di Thaif itu kalau
pendekatannya fiqih, ya halal dibunuh. Tapi tidak begitu yang dilakukan beliau.
Nabi berdakwah dengan pendekatakan akhlakul karimah. Saya heran ada
orang yang sukanya mengkafir-kafirkan orang lain. Membid’ah-bid’ahkan orang
lain. Belajar agama dimana orang itu?! Ribet juga mau menjadikan negara sebagai
negara Islam. Kan negara itu cuma wadah?! Dakwah kita itu pada orangnya. Soal
wadah itu terserah. Jadi sekali lagi, kalau dakwah jangan pakai fiqih tapi
pakailah akhlaq. Kalau baca kitab-kitab fiqih harus mulai dari yang paling
kecil hingga yang paling besar. Mulai dari thaharah, shalat dan seterusnya
hingga terakhir imamah. Jangan baru baca langsung imamah. Ya jadi aliran keras
nanti.”
“Kita perlu melakukan desakralisasi agama
terutama metode dakwahnya ini. Tujuan dakwah itu sendiri adalah menyelamatkan
orang lain. Ingat Nabi itu diutus sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan
lil ‘alamin), bukan hanya lil muslim (bagi orang Islam saja). Misi
nabi adalah menyelamatkan mereka dari kesesatan. Bukan malah
menyesat-nyesatkan, membid’ah-bid’ahkan.”
Begitulah kurang lebih khutbah Prof. Maschan.
Rasanya saya tergelitik untuk memberi komentar. Bukannya sok minteri dia. Hanya
urun gagasan saja. Secara keseluruuhan, saya setuju. Namun secara parsial, saya
juga kurang sependapat dengan fakta yang disampaikan. “Nabi tidak pernah
marah”, setahu saya nabi pun pernah marah. Tepatnya, saat belasan sahabat nabi
yang hafal Alquran terbunuh karena nabi ditipu oleh seorang munafiq. Sebulan
penuh, nabi marah mendoakan mereka agar diadzab oleh Allah. Ini terekam dalam
hadis nabi yang disebut qunut nazilah. Lalu, satu bulan pas ditegur oleh
Allah dan beliau menghentikan doanya.
Menurut saya, marah adalah hal manusiawi.
Belajar dari kisah nabi, kita boleh marah dan memang sesekali butuh marah
terkait dengan prinsip hidup kita dilecehkan orang lain. Sesekali kita
tampakkan marah kita juga, biar mereka tidak terus-terusan bertindak seenak
jidatnya sendiri kepada kita. Ini bukan marah buta, tetapi marah yang scientific.
Kalau bisa ekspresi saja marah, tapi hati harus tetap dingin. Kalau Anda
terus-terusan dilecehkan orang, lalu Anda diam, maka sampai kiamat Anda akan
selalu dilecehkan. Perhatikan saran bijak filsuf terkemuka Aristoteles dalam The
Nicomachean Ethics, “Marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai,
pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik,
bukanlah hal mudah”. Hanya saja dalam konteks film yang menghina nabi itu, saya
memang setuju dengan Prof. Maschan. Karena itu baru satu kali. Tapi kalau
berkali-kali, saya rasa memang harus diberi pelajaran juga. Konsep dakwah yang
ditawarkan Profesor saya setuju. Karena memang dengan kelembutan kita bisa
menguasai lawan. Soal kelembutan ini lebih jauh, Anda bisa langsung tanya saya.
Saya punya cerita menarik tentang kelembutan ini. Yang pasti cerita ini
inspiratif dan menggelitik.
Marah bukanlah metode dakwah yang baik secara
umum, itu memang benar. Itulah sebabnya, paradigma EQ yang dikonstruksi Goleman
lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi (bahasa saya
“hikmah” atau pengendalian diri yang tinggi). Bayangkan, apa yang terjadi jika
emosi tak terkendali. Konsekwensi negatifnya adalah orang biasanya selalu
marah-marah. Padahal, sikap marah-marah justru mematikan nalar-intelektual yang
secara otomatis membunuh potensi IQ dan EQ sekaligus.
Soal dakwah sepertinya saya pernah menulis
solusi yang terkait dengannya. Iya kalau dulu, semua orang masih primitif dan
sangat awam dengan Islam. Jadi misi dakwahnya cukup bagaimana mereka masuk
Islam. Lagian kalau sudah Islam, masalah kaifiyatnya tidak akan ada
pertentangan. Karena mereka memang langsung dibimbing nabi. Cara shalatnya dan
lain sebagainya langsung ditegur nabi apabila ada kesalahan. Begitu juga
walisongo menggunakan misi mengislamkan, karena waktu itu bangsa kita sangat
primitif dan bisanya cuma ikut-ikutan. Terbukti saat hindu, mereka ikut hindu.
Ada budha, mereka ikut budha.
Ini berbeda dengan kondisi kita saat ini.
Dimana umat Islam terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok. Sebabnya, mereka
hanya memahami Islam dari teks baik Quran maupun hadis. Mereka yang terdidik
biasanya lebih kritis dari mereka yang awam. Jadi menurut saya, zaman sekarang
memang harus menerapkan dua misi dakwah. Pertama kepada golongan awam. Kepada
mereka misi kita bagaimana mengislamkan dulu. Itu sudah cukup, masalah
perbedaan cara ibadah itu soal belakangan. Kedua, kepada para pelajar dan
sarjana. Kepada mereka tidak cukup misi memasukkan Islam. Pasti dianggap basi.
Dakwah kepada mereka harus dengan diskusi, debat, dialog terbuka, dan pemikiran-pemkiran
yang lebih dalam. Sekali lagi, jadi tidak dipukul rata. Audiens harus
dipilah-pilah, antara yang awam dan yang sudah terpelajar dalam memahami Islam.
Sebagaimana dawue si cerdas Ali karramallah wajhah, “Kallimu
‘ala qodri ‘uqulihim”.
Soal akhlak itu sebenarnya sama-sama bisa
diterapkan. Baik kepada para awam atau para terpelajar. Debat dengan akhlak pun
bisa kok! Wajadilhum billati hiya ahsan.
NB: Silahkan IZIN kepada penulis di:
ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan
artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk
diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan
intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar