Selasa, 26 Agustus 2014

KUNCI SELAMAT DAN BAHAGIA



Ada sebuah emosi yang tersentuh. Ada sebuah syarat otak yang tersentuh. Saat rumah kami dihadiri oleh orang-orang tua yang sudah puas merasakan asam garam kehidupan. Dia Pak Rik, orang yang sabar dan fokus pada pencapaian diri. Dia tidak pernah risau dengan tingkah laku culas orang lain. Walau bisa dikatakan seorang islam abangan, tapi dia tidak terlalu hobi kalau membicarakan kejelekan orang lain. Bahkan dia ingin sekali mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih. Malah dia suka memberi nasehat berdasarkan pengamalan hidupnya. Yang tentu saja sangat berharga bagi yang mendengarnya.
Oiya, sekarang dia berusaha 67 tahun. Dan fisiknya masih sehat, semangat hidupnya masih panas. “Rumah dulu di timur, saya jual. Saya belikan kebun yang sekarang ditanami kelapa, dan palawija lainnya. Ya, dari situlah kini Pak Rik sudah tidak mikir tentang makan lagi. Dulu Pak Rik beli tanah yang sekarang jadi rumah yang Pak Rik huni. Dulu harga tanah itu masih murah. Sekarang alhamdulillah sudah jadi rumah untuk anak-anak Pak Rik. Dan sekarang sambil lalu Pak Rik dengan Mak Nah jualan bensin, rokok, dan lain-lain di pinggir jalan. Alhamdulillah dari situ tiap hari ada pemasukan. Dan semua hasil jualan itu ditambah servis kompor gas sudah tidak dimakan lagi, tapi ditabung semua. Ya hidup ini memang harus cari rezeki dari banyak sumber Le. Istilahnya serabutan gitulah”, katanya kepadaku.
Sebenarnya masih banyak cerita yang mendasari i’tibar yang akan saya tulis ini. Tapi kayaknya lebih baik langsung saja saya ambilkan i’tibarnya untuk kita renungkan bersama-sama, agar bisa lebih bijak, lebih dewasa dalam menjalani hidup ini.
Pertama, soal dendam pada orang lain. Apapun alasannya, pokoknya kalau sudah dendam pada orang lain, maka itu hanya akan membinasakan pelakunya saja. Orang yang mengomongkan aib saudaranya ke orang lain, sebenarnya yang paling celaka adalah yang mengomongkan itu. Yang kasihan bukan yang digosipin. Justru yang jelas-jelas rugi, binasa itu adalah pendendam dan penggosipnya. Bagaimana tidak, dia sibuk mendendam orang lain. Dia sibuk menggosip orang lain. Di sini saja sudah jelas-jelas rugi. 
Orang yang yang dibicarakan atau didendaminya kemungkinan kalau tidak tidur, happy-happy dengan keluarganya, atau bekerja yang menghasilkan uang atau ilmu. Sementara si pendendam, dirinya benci sendiri, marah sendiri, dan jelas-jelas capek dan tidak menghasilkan apa-apa. Dia jelas tertinggal dibanding orang yang dibicarakan dan didendami itu. Kalau ini menjadi kebiasaannya, maka di saat itu juga dia sejatinya telah kehilangan hidupnya. Dia sudah bisa dijamin dan dipastikan tidak bakal bahagia, selama yang ada dipikirannya orang yang dibenci dan digosipinya itu.
Kedua soal kemewahan dunia. Kebahagiaan dan kesuksesan kadangkala memang tidak bisa diukur dengan materi dunia seperti mobil, jabatan, rumah mewah, makanan nikmat dan simbol-simbol duniawi lainnya. Saya sangat setuju dengan pepatah bahwa orang yang dipikirkannya melulu dan hanya dunia, maka dia akan diperbudak oleh dunia. Hanya orang yang punya orientasi akherat yang bisa memperbudak dunia. 
Dunia itu bisa jadi baik. Tapi bisa jadi juga buruk. Tergantung siapa yang menggunakannya. Dan yang sangat-sangat jelas memang dunia bukanlah parameter seseorang bisa dikatakan sukses. Orang banyak terlena agar bisa dikatakan sukses hingga bekerja siang malam, banting tulang, tidak kenal keluarga, hanya demi uang. Bahkan hingga lupa menggunakan uang itu untuk apa. Dan tidak jarang hanya digunakan untuk hal-hal secara konsumtif seperti makanan, pakaian, jalan-jalan dan seterusnya. Tidak pernah terpikir untuk menjadi dan menggunakan uangnya itu untuk hobinya yang paling tertinggi yang punya misi ketuhanan dan kemanusiaan.
Memang ilmu, hidayah dan hikmah itu sangat mahal harganya. Tidak bisa ditukar dengan uang satu triliun dolar sekalipun. Kenapa? Karena hanya dengan ketiganya, orang itu bisa menikmati kebahagiaan dunia akherat. Orang tanpa ketiganya bukan saja tidak bisa menikmati dunia dan akherat tapi malah diperbudak, dibutakan, dipersulit oleh dunianya sendiri. Semakin banyaknya uang, semakin meningkatnya jabatan, maka semakin pula dia dipersibuk oleh dunia. Dia malah ditunggangi oleh dunia. Dia malah diperbudak oleh dunia dengan terus mengejar-ngejarnya siang malam, tanpa bisa menikmatinya secara bijak. Maka tidak jarang, malah menjerumuskannya ke dalam tempat yang semakin jauh dari Allah. 
Untuk apalah harta hanya banyak kalau dalam dirnya tidak ada ilmu, hidayah dan hikmah? Hanya dengan ketiganya, sudah bisa dipastikan seseorang itu akan mampu menikmati waktunya seratus persen. Dengan hidayah, ilmu dan hikmah seseorang akan mendapatkan hidup ini sepenuhnya. Dia telah meraih surga sebelum surga. Hidupnya penuh dengan keindahan, kecukupan dan kecintaan kepada Allah dan sesama. Ilmunya menjadi cahaya bagi orang lain dan lingkungannya. Kehadirannya memberikan warna baru bagi diri, orang lain dan lingkungannya. Uangnya memberikan ketentraman dan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya, orang lain dan lingkungannya. Hidupnya penuh dengan tuntunan dan cinta Allah yang mengarahkannya pada hidup yang penuh dengan cinta, syukur, kasih sayang, dan hal-hal yang penting dan sangat berguna bagi kemanusiaan. Yang dikerjakannya mendapatkan prestise baik di sisi Allah maupun di depan mata manusia yang lain.
Dan yang terakhir atau yang keempat adalah soal kecerdasan spiritual. Banyak orang yang sudah berumur namun kecerdasan spiritualnya masih sangat-sangat minim. Ini disebabkan oleh kurangnya ilmu dalam dirinya. Kecerdasan apapun terutama kecerdasan spiritual ini perlu dilatih, dirawat seperti tanaman agar tumbuh menjadi dewasa. Kalau tidak, dia akan kurang gizi, sakit-sakitan, lemah, dan tak berdaya. Selain itu juga bisa disebabkan oleh mindset yang salah tetang teologi. 
Mereka tidak tahu bagaimana harus mengarahkan pikirannya ke jalan yang benar. Buktinya, banyak orang tua yang masih percaya pada hal-hal mistis, diluar logika, misalnya santet, tidak mempan ditembak, bisa terbang, bisa hilang dan lain seterusnya. Akibatnya, otak spiritualnya bingung, mana teologi yang benar dan mana yang salah. Semuanya dianggap sama saja, seperti dongeng anak kecil yang ada di TV. Sehingga soal solat, puasa, haji, zakat, itu seperti tahayyul, khurafat yang sesat tadi. Pikiran yang sesat pun akhirnya kebingungan tidak bisa menolong pemiliknya. 
Sejatinya potensi kecerdasan spiritualnya tumpul bahkan diimatikan. Akhirnya jadilah dirinya tidak ubahnya sepeti batu, besi, yang lapuk oleh masa. Dan dia terus disibukkan oleh hal-hal remeh, kecil, tidak berguna, yang dia anggap sudah besar dan menjadi simbol kesuksesannya. Padalah, kecerdasan spiritual adalah sumber dari kebahagiaan dan keselamatan. Bukankah hidup ini untuk mencari keselamatan dan kebahagiaan? Orang banyak kehilangan keselamatan dan kebahagiaan hanya karena salah pakai pikirannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...