Ada sebuah emosi yang tersentuh. Ada sebuah syarat otak yang
tersentuh. Saat rumah kami dihadiri oleh orang-orang tua yang sudah puas
merasakan asam garam kehidupan. Dia Pak Rik, orang yang sabar dan fokus pada
pencapaian diri. Dia tidak pernah risau dengan tingkah laku culas orang lain.
Walau bisa dikatakan seorang islam abangan, tapi dia tidak terlalu hobi kalau
membicarakan kejelekan orang lain. Bahkan dia ingin sekali mendamaikan
orang-orang yang sedang berselisih. Malah dia suka memberi nasehat berdasarkan
pengamalan hidupnya. Yang tentu saja sangat berharga bagi yang mendengarnya.
Oiya, sekarang dia berusaha 67 tahun. Dan fisiknya masih sehat,
semangat hidupnya masih panas. “Rumah dulu di timur, saya jual. Saya belikan
kebun yang sekarang ditanami kelapa, dan palawija lainnya. Ya, dari situlah
kini Pak Rik sudah tidak mikir tentang makan lagi. Dulu Pak Rik beli tanah yang
sekarang jadi rumah yang Pak Rik huni. Dulu harga tanah itu masih murah.
Sekarang alhamdulillah sudah jadi rumah untuk anak-anak Pak Rik. Dan sekarang
sambil lalu Pak Rik dengan Mak Nah jualan bensin, rokok, dan lain-lain di
pinggir jalan. Alhamdulillah dari situ tiap hari ada pemasukan. Dan semua hasil
jualan itu ditambah servis kompor gas sudah tidak dimakan lagi, tapi ditabung
semua. Ya hidup ini memang harus cari rezeki dari banyak sumber Le. Istilahnya
serabutan gitulah”, katanya kepadaku.
Sebenarnya masih banyak cerita yang mendasari i’tibar yang akan
saya tulis ini. Tapi kayaknya lebih baik langsung saja saya ambilkan i’tibarnya
untuk kita renungkan bersama-sama, agar bisa lebih bijak, lebih dewasa dalam
menjalani hidup ini.
Pertama, soal dendam pada orang lain. Apapun alasannya, pokoknya
kalau sudah dendam pada orang lain, maka itu hanya akan membinasakan pelakunya
saja. Orang yang mengomongkan aib saudaranya ke orang lain, sebenarnya yang
paling celaka adalah yang mengomongkan itu. Yang kasihan bukan yang digosipin.
Justru yang jelas-jelas rugi, binasa itu adalah pendendam dan penggosipnya. Bagaimana
tidak, dia sibuk mendendam orang lain. Dia sibuk menggosip orang lain. Di sini
saja sudah jelas-jelas rugi.
Orang yang yang dibicarakan atau didendaminya
kemungkinan kalau tidak tidur, happy-happy dengan keluarganya,
atau bekerja yang menghasilkan uang atau ilmu. Sementara si pendendam, dirinya
benci sendiri, marah sendiri, dan jelas-jelas capek dan tidak menghasilkan
apa-apa. Dia jelas tertinggal dibanding orang yang dibicarakan dan didendami
itu. Kalau ini menjadi kebiasaannya, maka di saat itu juga dia sejatinya telah
kehilangan hidupnya. Dia sudah bisa dijamin dan dipastikan tidak bakal bahagia,
selama yang ada dipikirannya orang yang dibenci dan digosipinya itu.
Kedua soal kemewahan dunia. Kebahagiaan dan kesuksesan kadangkala
memang tidak bisa diukur dengan materi dunia seperti mobil, jabatan, rumah
mewah, makanan nikmat dan simbol-simbol duniawi lainnya. Saya sangat setuju
dengan pepatah bahwa orang yang dipikirkannya melulu dan hanya dunia, maka dia
akan diperbudak oleh dunia. Hanya orang yang punya orientasi akherat yang bisa
memperbudak dunia.
Dunia itu bisa jadi baik. Tapi bisa jadi juga buruk.
Tergantung siapa yang menggunakannya. Dan yang sangat-sangat jelas memang dunia
bukanlah parameter seseorang bisa dikatakan sukses. Orang banyak terlena agar
bisa dikatakan sukses hingga bekerja siang malam, banting tulang, tidak kenal
keluarga, hanya demi uang. Bahkan hingga lupa menggunakan uang itu untuk apa.
Dan tidak jarang hanya digunakan untuk hal-hal secara konsumtif seperti
makanan, pakaian, jalan-jalan dan seterusnya. Tidak pernah terpikir untuk
menjadi dan menggunakan uangnya itu untuk hobinya yang paling tertinggi yang
punya misi ketuhanan dan kemanusiaan.
Memang ilmu, hidayah dan hikmah itu sangat mahal harganya. Tidak
bisa ditukar dengan uang satu triliun dolar sekalipun. Kenapa? Karena hanya
dengan ketiganya, orang itu bisa menikmati kebahagiaan dunia akherat. Orang
tanpa ketiganya bukan saja tidak bisa menikmati dunia dan akherat tapi malah
diperbudak, dibutakan, dipersulit oleh dunianya sendiri. Semakin banyaknya
uang, semakin meningkatnya jabatan, maka semakin pula dia dipersibuk oleh
dunia. Dia malah ditunggangi oleh dunia. Dia malah diperbudak oleh dunia dengan
terus mengejar-ngejarnya siang malam, tanpa bisa menikmatinya secara bijak.
Maka tidak jarang, malah menjerumuskannya ke dalam tempat yang semakin jauh
dari Allah.
Untuk apalah harta hanya banyak kalau dalam dirnya tidak ada ilmu,
hidayah dan hikmah? Hanya dengan ketiganya, sudah bisa dipastikan seseorang itu
akan mampu menikmati waktunya seratus persen. Dengan hidayah, ilmu dan hikmah
seseorang akan mendapatkan hidup ini sepenuhnya. Dia telah meraih surga sebelum
surga. Hidupnya penuh dengan keindahan, kecukupan dan kecintaan kepada Allah
dan sesama. Ilmunya menjadi cahaya bagi orang lain dan lingkungannya.
Kehadirannya memberikan warna baru bagi diri, orang lain dan lingkungannya.
Uangnya memberikan ketentraman dan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya,
orang lain dan lingkungannya. Hidupnya penuh dengan tuntunan dan cinta Allah
yang mengarahkannya pada hidup yang penuh dengan cinta, syukur, kasih sayang,
dan hal-hal yang penting dan sangat berguna bagi kemanusiaan. Yang
dikerjakannya mendapatkan prestise baik di sisi Allah maupun di depan mata
manusia yang lain.
Dan yang terakhir atau yang keempat adalah soal kecerdasan
spiritual. Banyak orang yang sudah berumur namun kecerdasan spiritualnya masih
sangat-sangat minim. Ini disebabkan oleh kurangnya ilmu dalam dirinya.
Kecerdasan apapun terutama kecerdasan spiritual ini perlu dilatih, dirawat
seperti tanaman agar tumbuh menjadi dewasa. Kalau tidak, dia akan kurang gizi,
sakit-sakitan, lemah, dan tak berdaya. Selain itu juga bisa disebabkan oleh
mindset yang salah tetang teologi.
Mereka tidak tahu bagaimana harus mengarahkan
pikirannya ke jalan yang benar. Buktinya, banyak orang tua yang masih percaya
pada hal-hal mistis, diluar logika, misalnya santet, tidak mempan ditembak,
bisa terbang, bisa hilang dan lain seterusnya. Akibatnya, otak spiritualnya
bingung, mana teologi yang benar dan mana yang salah. Semuanya dianggap sama
saja, seperti dongeng anak kecil yang ada di TV. Sehingga soal solat, puasa,
haji, zakat, itu seperti tahayyul, khurafat yang sesat tadi. Pikiran yang sesat
pun akhirnya kebingungan tidak bisa menolong pemiliknya.
Sejatinya potensi
kecerdasan spiritualnya tumpul bahkan diimatikan. Akhirnya jadilah dirinya
tidak ubahnya sepeti batu, besi, yang lapuk oleh masa. Dan dia terus disibukkan
oleh hal-hal remeh, kecil, tidak berguna, yang dia anggap sudah besar dan
menjadi simbol kesuksesannya. Padalah, kecerdasan spiritual adalah sumber dari
kebahagiaan dan keselamatan. Bukankah hidup ini untuk mencari keselamatan dan
kebahagiaan? Orang banyak kehilangan keselamatan dan kebahagiaan hanya karena
salah pakai pikirannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar