Kasihan saya saat Cak Nun curhat. Meskipun saya tahu, dia tidak
ingin kita kasihani. Dan kayaknya, curhatnya orang yang “melek hatinya”, justru
menjadi inspirasi usefull bagi siapa pun yang dicurhatinya. Saya tahu
Anda penasaran apa yang dicurhatkannya. Baik akan saya turukan untuk Anda:
Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam,
dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalahpahami, bahkan
seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang
baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk
pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi
menantu seoran Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya
pindah sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi
penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair
pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup
saya tidak breirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya
sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar agama?” Tidak bisakah kamu
mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan
sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main
dengan Islam! Jangan campuradukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan
sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja
tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak
bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan
umat dan lain sebagainya!”.
Maka saya pun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang
pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan
lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah
ada yang ngurus sendiri-sendiri. kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan
macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu
tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu
OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan indepedensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak:
“Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya
didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak
setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena
suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya
kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya
diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak
ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan sagala tema –dari sastra,
politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apa pun saja— dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini “mufassir” liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural,
saya dijewer; “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya
mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok:
“Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturahim dan
musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu
tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu
wasyrabu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rezeki,
saya di-tonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni
yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu....
Sampai-sampai Alquran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya.... kau tak
punya!”
Itulah isi curhatnya. Saya yakin, semua kita mengalami hal semacam
ini. Terlalu banyak komen yang sepertinya menggurui, nasehat, tapi sebenarnya
adalah sebuah nafsu berlagak yang tak ada gunanya bagi kita. Tidak semua orang
suka terhadap kerja dan prestasi kita. Mereka sangat pintar memberikan komen
untuk membuat kita terpinggirkan. Padahal Allah saja bilang, “Tiap-tiap (orang
atau kaum) itu ada kiblatnya (tujuan) masing-masing, berlomba-lombalah dalam
kebaikan”. Jadi sebenarnya watak manusia itu memang berbeda satu sama lain.
Tidak bisa dipaksa-paksakan untuk sama. Justu itu malah membatasi keunikan dan
“pelangi” ciptaan Allah.
Maka perlu kita sadari. Bahwa mereka itu punya mulut, hati pikiran
yang entah sakit atau bahkan mati, yang bisa saja memberi komen pada kita saenak
udelle dewe. Dan kita tidak bisa mengontrolnya. Satu yang bisa kita lakukan
adalah, mengontrol hati kita dan pekerjaan kita sendiri untuk terus mengukir prestasi,
dan berkarya. Jadilah, orang yang diobong gak kobongan, diumbah, gak kepus
(dibakar tidak terbakar, dicuci tidak basah). Tidak usah kita jadi orang lain,
karena Tuhan menciptakan diri ini sesempurna-sempurnanya untuk menjadi diri
sendiri.
NB: Silahkan
IZIN terlebih dulu ke ahmadsaifulislam@gmail.com
atau sms (085733847622) bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi
ini. Follow dan diskusi juga di @ipoenkchampion untuk dapetin tweet-tweet
segar, kultweet, video, foto, news, dan lain seterusnya. Visi-Misi saya,
menebar manfaat dan mengajak semua sahabat yang gabung di sini untuk selalu
menang (hayya ‘alal falah). Sebagai pelengkap, follow juga di @MotivasiAyat
Terima kasih,
salam menang salam sukses...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar