Senin, 10 Maret 2014

ALASAN KUAT MENJADI DIRI SENDIRI



Kasihan saya saat Cak Nun curhat. Meskipun saya tahu, dia tidak ingin kita kasihani. Dan kayaknya, curhatnya orang yang “melek hatinya”, justru menjadi inspirasi usefull bagi siapa pun yang dicurhatinya. Saya tahu Anda penasaran apa yang dicurhatkannya. Baik akan saya turukan untuk Anda:
Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalahpahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seoran Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak breirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar agama?” Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam! Jangan campuradukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan umat dan lain sebagainya!”.
Maka saya pun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri. kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan indepedensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan sagala tema –dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apa pun saja— dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini “mufassir” liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer; “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturahim dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rezeki, saya di-tonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu.... Sampai-sampai Alquran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya.... kau tak punya!”
Itulah isi curhatnya. Saya yakin, semua kita mengalami hal semacam ini. Terlalu banyak komen yang sepertinya menggurui, nasehat, tapi sebenarnya adalah sebuah nafsu berlagak yang tak ada gunanya bagi kita. Tidak semua orang suka terhadap kerja dan prestasi kita. Mereka sangat pintar memberikan komen untuk membuat kita terpinggirkan. Padahal Allah saja bilang, “Tiap-tiap (orang atau kaum) itu ada kiblatnya (tujuan) masing-masing, berlomba-lombalah dalam kebaikan”. Jadi sebenarnya watak manusia itu memang berbeda satu sama lain. Tidak bisa dipaksa-paksakan untuk sama. Justu itu malah membatasi keunikan dan “pelangi” ciptaan Allah.
Maka perlu kita sadari. Bahwa mereka itu punya mulut, hati pikiran yang entah sakit atau bahkan mati, yang bisa saja memberi komen pada kita saenak udelle dewe. Dan kita tidak bisa mengontrolnya. Satu yang bisa kita lakukan adalah, mengontrol hati kita dan pekerjaan kita sendiri untuk terus mengukir prestasi, dan berkarya. Jadilah, orang yang diobong gak kobongan, diumbah, gak kepus (dibakar tidak terbakar, dicuci tidak basah). Tidak usah kita jadi orang lain, karena Tuhan menciptakan diri ini sesempurna-sempurnanya untuk menjadi diri sendiri.


NB: Silahkan IZIN terlebih dulu ke ahmadsaifulislam@gmail.com atau sms (085733847622) bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Follow dan diskusi juga di @ipoenkchampion untuk dapetin tweet-tweet segar, kultweet, video, foto, news, dan lain seterusnya. Visi-Misi saya, menebar manfaat dan mengajak semua sahabat yang gabung di sini untuk selalu menang (hayya ‘alal falah). Sebagai pelengkap, follow juga di @MotivasiAyat
Terima kasih, salam menang salam sukses...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...