Beberapa kali saya mendengarkan, maupun membaca tafsir surat
al-Fatihah. Begini ceritanya. Saat saya ngaji baik sama guru saya maupun Rama
saya sendiri, dijelaskan bahwa rahman itu beda dengan rahim.
Walaupun secara akar kata sama, rahima yang berarti Maha Pengasih atau
Maha Penyayang. Dalam kontek rezeki, jodoh, kekuasaan dan lain-lain, kalau rahman
itu diberikan kepada seluruh makhluk-Nya. Artinya, siapa saja yang berusaha, ya
dia akan mendapatkan. Tidak perduli orang mukmin maupun kafir. Pokoknya
berusaha, dia dapat. Kalau rahim, itu hanya prevellese eksklusif
hanya untuk orang beriman saja, terutama nasib di akherat kelak. Terus terang
saya tidak puas dan jujur sebenarnya dalam hati saya menyimpan pertanyaan yang
misterius yang terus bergejolak.
Saat SMA kelas 2, penjelasan guru agama saya lebih nyentrik lagi.
Dengan polos, saya bertanya, “Kenapa Einstein, Galileo, Archimedes, dan ilmuwan
yang kebangsaan Yahudi lainnya dan tidak beriman kepada Allah kok diberi
ilmu sama Allah. Bahkan mereka sangat terkenal, karena teorinya banyak
mempengaruhi wajah dunia ini?” Guru saya menguip sebuah ayat, yarfa’ Allah
alladzina amanu minkum walladzina utul ‘ilm darajat. Allah akan mengangkat
orang-orang beriman diantara kalian dan yang diberi ilmu dengan beberapa
derajat. “Jadi, orang yang beriman saja tidak berilmu, maka dia diangkat nanti
di akherat. Orang yang berilmu saja dan tidak beriman, tetap diangkat oleh
Allah tapi hanya di dunia. Nah, yang diangkat derajatnya, dunia dan akherat
adalah dia yang beriman dan berilmu”, jawab guru saya secara gamblang di papan
tulis. “Orang kafir kok diangkat sih sama Allah?!, padahal dalam
Alquran, orang kafir itu gambarannya sangat buruk, hina dan sangat dibenci
Allah. Kok masih bisa diangkat derajatnya?! Wah, tambah bingung
saya”, itu yang saya rasakan.
Lalu ada seorang Ustadz menjelaskan khususnya lafaz bismillah
al-rahman al-rahim. “Orang yang selalu membaca bismillah, sebelum
beraktivitas maka pekerjaannya itu akan barokah dan dibantu oleh Allah”, begitu
katanya. Pembawa acaranya nyeletuk, “Saya yakin Ustadz ketika saya
membaca bismillah, pasti saya akan ditolong Allah dan mendapatkan
barokah dalam pekerjaan saya. Tapi, banyak juga orang-orang kafir yang sama
sekali tidak pernah membaca bismillah, namun mereka well-well saja.
Bahkan, urusan pencapaiannya kadang melebihi orang beriman yang membaca
bismillah. Gimana ini Ustadz?”
Dijawab, “Kan barokah itu bukan berarti kenyang, enak, dapat
duit banyak dan suskes secara materi. Tapi sebenarnya, barokahnya tidak ada.
Sebenarnya yang membuat kenyang dan enak itu bukan makanan. Yang membuat
bahagia itu bukan uang. Tapi sebenarnya Allah yang membuat kita enak makan,
kenyang, sehat, bahagia dan lain seterusnya. Bisa jadi, mereka orang kafir itu
dapat uang banyak, bisa makan di restoran enak berkelas, tapi kelak hari bisa
jadi dia sakit. Nah, itu tidak barokah namanya”. Wadoooh, saya
tambah bingung! Yok opo iki Rek?! Kalau mikirnya kayak gitu, bisa juga
orang kafir komen, “Lihat tuh orang Islam. Dapat makan enak, dapat uang banyak,
bisa makan dan tidur di hotel super mewah, mereka itu tidak barokah. Nanti
suatu hari, kalau dia sakit, nah itu namanya tidak barokah!”. Sungguh saya
bingung!
Kini, Alquran sendiri yang menjawab kegelisahan saya itu. “Kalian
tidak akan pernah menjumpai dalam sunnatullah itu sebuah pergantian dan
penyimpangan”, firman-Nya. Di lain ayat, “Ada pahala dunia ada juga pahala
akherat”, “Seorang manusia tidak akan mendapat, selain apa yang diusahakannya”,
“Jika kalian berbuat baik, akan kembali pada diri kalian sendiri. Begitu juga
jika kalian berbuat lacur”, “Barangsiapa yang berbuat kebaikan sebesar debu,
maka kelak dia akan melihatnya. Barangsiapa yang berbuat keburukan sebesar
debu, maka kelak dia juga akan melihatnya (balasannya)”, “Siapa yang ingin
iman, silahkan. Siapa yang ingin kafir silahkan. Tidak ada paksaan dalam
beragama”, “Bagi mereka bagian (nasib) dari apa yang mereka usahakan/kerjakan”.
Ayat-ayat di atas saya rasa sudah lengkap dan sangat memuaskan saya untuk
menjawab apa itu rahman, apa itu rahim, dan semua ketidakpuasan dan kebingungan
saya di atas.
Jawabannya, adalah sunnatullah (hukum sebab akibat atau
kausalitas). Nasib dunia itu ada sunnatullahnya. Nasib akherat pun ada
sunnatullahnya. Siapa yang ingin banyak ilmu, uang, mendapatkan jodoh,
harta dan tahta itu ada sunnatullahnya.
Ini sangat bisa dipahami oleh akal yang berlogika alamiah. Begitu juga nasib
akherat (surga atau neraka) itu pun ada sunnatullahnya atau ada aturan Allah.
Dan memahaminya harus menggunakan logika spiritual. Kalau logika alamiah
presmisnya riset dan ilmu pengetahuan. Sedangkan logika spiritual, premisnya
adalah Alquran dan hadis nabi yang sahih. Sudah diputuskan bahwa sunnatullah
itu bersifat eksak tidak pernah ada pergantian dan perubahan. Jadi, semuanya bersifat
pasti dan tidak mengira-ngira alias zhann. Karena zhann la yughni
minal haqq syai’a. Persangkaaan itu sama sekali tidak memberikan kebenaran
sedikitpun.
Jadi, mau kafir atau iman terserah Anda. Mau kaya atau miskin pun
terserah Anda. Mau sehat atau sakit terserah Anda juga. Mau surga atau neraka
baik di dunia maupun di akherat itu pun terserah Anda. Anda yang memilih. Allah
telah membuat aturan main (rule of game)nya. Hidup sukses baik dunia
maupun akherat ada jalannya. Pun mau gagal dunia dan akherat ada jalannya pula.
Tinggal Anda mau milih jalan mana. Hanya saja, yang perlu Anda sadari, Anda
dianugerahi potensi akal yang luar biasa. “afala yatafakkarun, afala
yatadabbarun, afala ta’qilun?!”, apakah Anda tidak berpikir, apakah kalian
tidak menggunakan akal kalian?!
Ya pantas saja, kalau Einstein, Galileo, Archemedes, Bill Gates,
Steve Jobs, David Beckam, Mark Zuckerberg, Donald Trump, Karl Mark, Messi,
Guardiola, Gun n Roses dan konco-konco-nya sukses dunia. Karena
disamping keinginan yang tinggi dan ambisius terhadap kesuksesan bidangnya,
mereka juga bekerja keras dan cerdas. Mereka menyesuiakan diri dengan rule
of game-nya Allah. Lah, kita orang Islam, ingin saja tidak. Malah tidak
jarang sukses dunia itu dibenci. Bahkan anti dunia. Yang penting akherat, yang
penting kaya hati, ilmu biar sedikit asal diamalkan itu lebih baik daripada
ilmu banyak tapi tidak diamalkan, dan banyak apologi-apologi takhayyul intinya
menghibur ketertinggalan kita, membenarkan keterpurukan kita. Kok malah,
dikait-kaitkan dengan barokah! Semua alasan itu seratus persen benar, tapi
harus jelas koteksnya jangan dicampur aduk seperti itu Bung!
sumber foto: ardiosnasir.blogspot.com
NB: Silahkan IZIN kepada penulis di:
ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan
artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk
diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan
intelektual, emosional dan spiritual.
Ikuti juga @MotivasiAyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar