Rabu, 05 Maret 2014

OALAH, PAK MOTIVATOR, PAK MOTIVATOR...?!



Motivator. Motivator itu asal katanya adalah motivate yang berarti mendorong. Ada tambahan “or” di akhirnya menunjukkan pelaku atau subjeknya. Bahasa populernya yang mewakili makna itu, ngompori. Pelakunya disebut kompor, hahaha. Saya bercanda.
Kalau melihat secara substansi, kiai, ustadz, ulama bahkan nabi dan rasul pun mereka adalah para motivator yang tangguh. Karena mereka mendorong umat di zamannya kepada kebaikan, hidup mulia dan bermartabat, dimulai di dunia untuk masa depan akherat. Dan inilah sebenarnya substansi dari misi ketuhanan itu. Coba saja Anda perhatikan setiap orang yang berpidato, atau khatib saat khutbah jum’at. Pasti mereka mendorong kita pada sebuah “kebaikan”.
Pertanyaannya, apakah mereka para motivator itu mendorong fisik Anda? Apakah para nabi dan rasul itu memaksa dengan mendorong fisik umat mereka? Atau bahkan menjungkrak-jungkrakkan diri Anda? Jawabannya pasti tidak! Bukan fisik yang didorong. Mereka hanya membuka paradigma pikir Anda. Mereka hanya mengubah mindset Anda. Disamping dengan ilmu, fakta atau informasi, mereka juga memberikan solusi dan tips praktis untuk membuat Anda segera tercerahkan dan menemukan sirathal mustaqim Anda. Ketika, pola pikir Anda berubah, maka emosi Anda tersentuh. Langsung muncul sebuah rasa yang dahsyat untuk berbuat sesuatu. Atau ada semangat perubahan yang diawali dari emosi Anda itu.
Untuk bisa memotivasi, tentu harus ada tip-tip atau solusi yang membuat orang tercerahkan. Hingga akhirnya dia paham sebuah jalan lurus (sirathal mustaqim) yang mesti dia jalani. Maka, miris saya merasakan sebuah wacana, pidato atau tulisan yang hanya menyampaikan fakta. Tanpa memuat substansi mendorong itu sendiri. Parahnya lagi, bernada menghujat, menjelekkan orang lain, menuturkan masalah tanpa perduli orang lain. Karena sebenarnya pidato atau tulisan seperti itu seperti virus pesimistis yang menggerogoti kantong emosi positif dalam diri seseorang. “Yang penting kan bisa menghibur?!”, apologinya. Oh, kalau begitu alasannya, ya sudah artis cantik wal bahenol undang untuk menggoyang patah-patah mata Anda yang melotot.
Menurut saya, pidato atau tulisan menghibur itu harus tapi substansi ingat!
Menyoroti tulisan, saya sudah membaca lumayan banyak buku, khususnya non fiksi. Mulai dari ilmu-ilmu teoritik Alquran Hadis, pendapat ulama, psikologi, filsafat, bisnis, pengembangan diri, tulisan budayawan, dan lain-lain. Tentu aneka ragam lah warna tulisan mereka masing-masing. Dan dengan tujuan yang berbeda-beda tentunya. Ada yang hanya sekedar ilmu murni. Ada yang ilmu praktis. Atau malah ada yang bisa mengungkap fakta, masalah begitu saja. Bahkan ada tulisan yang membingunkan, tidak tahu arah dan tujuannya, gak weruh juntrunge.
Kita tetap mengapresiasi mereka. Karena memang semua itu juga ada baiknya pastinya. Dan memang tulisan atau nasehat itu penting. Waktu saya kuliah, Ustadz Amin menyadarkan saya. “Sampeyan itu Ustadz. Sudah jelas, garapannya adalah umat”, katanya dengan nada lembut tapi tegas. Mungkin beliau sayang dengan saya. Karena waktu itu saya saat menuntut ilmu itu, niat saya hanya senang. Senang membaca, senang diskusi, bahkan berdebat. Kalau urusan debat, bukan hanya bahasa Indonesia dan berbdebat dengan mahasiswa. Berbahasa Arab dan Inggris dan berdebat dengan dosen sekelas doktoral dan professor pun saya pernah. Berpikir untuk menularkan ilmu kepada orang lain, apalagi lewat lisan, sangat kecil prosentasenya atau kalau tidak dikatakan nihil. Karena memang tradisi masjid tradisional, hanya shalat, salaman, wiridan langsung pulang masing-maisng ke rumah. Sangat minim untuk kegiatan dialog, dan kajian yang ada tanya jawabnya.
Ya sudah. Walau saya menjadi imam shalat misalnya, saya tidak perduli apa kata orang. Biar orang menyebut saya Ustadz. Tapi saya tetap bertingkah laku layaknya bocah SMA, yang unjuk atau “sombong” kecerdasan dan pemikiran. Saya melihat kompetensi dalam dunia kampus. Dan tidak nyadar saat itu saya berada di masyarakat biasanya yang awam. Saya berpakaian ala kadarnya. Saya mendengarkan musik layaknya pemuda biasanya. Saya belajar layaknya seperti saat SMA dulu. Malah, kadang-kadang saya dikira “Ustad Edan”. Saya tahu, itu karena ketidakmampuan teman-teman di masjid saya menyerap apa yang saya omongkan. Tapi kalau ada orang yang memakai jubah, surban, padahal bicaranya soal “kedamaian”, sudah langsung diklaim kiai. Bahkan sampai sekarang, saya masih merasa sebagai murid seperti anak-anak yang duduk di sekolah SMP, SMA bahkan SD. Karena bagi saya tidak ada bedanya usaha belajar dan mendalami ilmu umum seperti IPA, IPS, PPKN, BAHASA dan lain seterusnya dengan mempelajari dan mendalami ilmu agama. Karena semua itu bersifat informasi yang kita rekam dalam ingatan kita. Kalau orang belajar Kewarganegaraan misalnya, ya dia pasti ngocos kalau disuruh bicara soal politik. Begitu juga seorang kafir pun kalau mendalami Alquran, hadis dan Islam pada umumnya, mereka sangat mahir bahkan ahli soal Alquran dan Hadis. Terbukti orang-orang seperti Ignaz Goldziher, Wensick, Yosef Schat, dan lain seterusnya. Semua itu masih bersifat knowledge. Lah, kok malah melihat kiai dari pakainnya sih? Kalau nanti ada preman menggunakan sarung, kopiah dan baju koko gimana? Ingat, dulu Abu Lahab dan Abu Jahal urusan pakain juga sama dengan nabi Muhammad.
Kembali lagi, soal tulisan dan pidato yang memotivasi. Saat diingatkan oleh Ustadz Amin seperti kalimat di atas itu, langsung saya lebih ingat. Sebelumnya tidak kepikir sama sekali “menggarap umat”, kayak mau bikin jajan saja hehehe. Nampaknya, tindak-tanduk saya selama ini lebih kongkret karena dibahasakan seperti itu. Meski pun, sebenarnya kencak kaki kita tidak boleh dibatasi hanya sebatas tulisan itu, namun memang salah satu dari semuanya, ada salah satu saraf otak kita yang disentuh dengan tulisan itu. Akhirnya salah satu pula arah tujuan kita menjadi lebih kongkret.
Tidak sedikit para motivator dalam buku-bukunya mengajak kita untuk menuliskan tujuan dan cita-cita hidup kita. Tuliskan sebanyak mungkin keinginan kita. Lalu seleksi mana yang lebih diantara yang lain. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan bahwa keinginan yang kita tuliskan, itu adalah proposal kepada Tuhan. Ini memang bisa dimaklukmi, karena setelah ditulis itu keinginan-keinginan tersebut tampak lebih kongkret dan jelas. Akhirnya daya tarik pikiran kita untuk merealisasikannya pun cukup besar. Maka, sesuailah dengan the low of attraction atau hukum daya tarik. Yang berbicara, apa yang kita pikirkan itulah yang “semesta” berikan. Pikiran kita adalah magnet yang menarik segala realitas.
Begitulah, inna nashihat tanfa’ al-mukminin. Pak Motivator itu penting, doyan ngomong dan bisanya cuma ngoceh itu pun perlu dalam hidup ini.
 sumber foto: http://ieffffffaaaa.blogspot.com/2012/11/lentera-hati.html

NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...