Motivator. Motivator itu asal katanya adalah motivate yang
berarti mendorong. Ada tambahan “or” di akhirnya menunjukkan pelaku atau
subjeknya. Bahasa populernya yang mewakili makna itu, ngompori.
Pelakunya disebut kompor, hahaha. Saya bercanda.
Kalau melihat secara substansi, kiai, ustadz, ulama bahkan nabi dan
rasul pun mereka adalah para motivator yang tangguh. Karena mereka mendorong
umat di zamannya kepada kebaikan, hidup mulia dan bermartabat, dimulai di dunia
untuk masa depan akherat. Dan inilah sebenarnya substansi dari misi ketuhanan
itu. Coba saja Anda perhatikan setiap orang yang berpidato, atau khatib saat
khutbah jum’at. Pasti mereka mendorong kita pada sebuah “kebaikan”.
Pertanyaannya, apakah mereka para motivator itu mendorong fisik
Anda? Apakah para nabi dan rasul itu memaksa dengan mendorong fisik umat
mereka? Atau bahkan menjungkrak-jungkrakkan diri Anda? Jawabannya pasti tidak!
Bukan fisik yang didorong. Mereka hanya membuka paradigma pikir Anda. Mereka
hanya mengubah mindset Anda. Disamping dengan ilmu, fakta atau
informasi, mereka juga memberikan solusi dan tips praktis untuk membuat Anda
segera tercerahkan dan menemukan sirathal mustaqim Anda. Ketika, pola
pikir Anda berubah, maka emosi Anda tersentuh. Langsung muncul sebuah rasa yang
dahsyat untuk berbuat sesuatu. Atau ada semangat perubahan yang diawali dari
emosi Anda itu.
Untuk bisa memotivasi, tentu harus ada tip-tip atau solusi yang
membuat orang tercerahkan. Hingga akhirnya dia paham sebuah jalan lurus (sirathal
mustaqim) yang mesti dia jalani. Maka, miris saya merasakan sebuah wacana,
pidato atau tulisan yang hanya menyampaikan fakta. Tanpa memuat substansi
mendorong itu sendiri. Parahnya lagi, bernada menghujat, menjelekkan orang
lain, menuturkan masalah tanpa perduli orang lain. Karena sebenarnya pidato
atau tulisan seperti itu seperti virus pesimistis yang menggerogoti kantong
emosi positif dalam diri seseorang. “Yang penting kan bisa menghibur?!”,
apologinya. Oh, kalau begitu alasannya, ya sudah artis cantik wal bahenol
undang untuk menggoyang patah-patah mata Anda yang melotot.
Menurut saya, pidato atau tulisan menghibur itu harus tapi
substansi ingat!
Menyoroti tulisan, saya sudah membaca lumayan banyak buku,
khususnya non fiksi. Mulai dari ilmu-ilmu teoritik Alquran Hadis, pendapat
ulama, psikologi, filsafat, bisnis, pengembangan diri, tulisan budayawan, dan
lain-lain. Tentu aneka ragam lah warna tulisan mereka masing-masing. Dan dengan
tujuan yang berbeda-beda tentunya. Ada yang hanya sekedar ilmu murni. Ada yang
ilmu praktis. Atau malah ada yang bisa mengungkap fakta, masalah begitu saja.
Bahkan ada tulisan yang membingunkan, tidak tahu arah dan tujuannya, gak
weruh juntrunge.
Kita tetap mengapresiasi mereka. Karena memang semua itu juga ada
baiknya pastinya. Dan memang tulisan atau nasehat itu penting. Waktu saya
kuliah, Ustadz Amin menyadarkan saya. “Sampeyan itu Ustadz. Sudah jelas,
garapannya adalah umat”, katanya dengan nada lembut tapi tegas. Mungkin beliau
sayang dengan saya. Karena waktu itu saya saat menuntut ilmu itu, niat saya
hanya senang. Senang membaca, senang diskusi, bahkan berdebat. Kalau urusan
debat, bukan hanya bahasa Indonesia dan berbdebat dengan mahasiswa. Berbahasa
Arab dan Inggris dan berdebat dengan dosen sekelas doktoral dan professor pun
saya pernah. Berpikir untuk menularkan ilmu kepada orang lain, apalagi lewat
lisan, sangat kecil prosentasenya atau kalau tidak dikatakan nihil. Karena
memang tradisi masjid tradisional, hanya shalat, salaman, wiridan langsung
pulang masing-maisng ke rumah. Sangat minim untuk kegiatan dialog, dan kajian
yang ada tanya jawabnya.
Ya sudah. Walau saya menjadi imam shalat misalnya, saya tidak
perduli apa kata orang. Biar orang menyebut saya Ustadz. Tapi saya tetap
bertingkah laku layaknya bocah SMA, yang unjuk atau “sombong” kecerdasan dan
pemikiran. Saya melihat kompetensi dalam dunia kampus. Dan tidak nyadar saat itu
saya berada di masyarakat biasanya yang awam. Saya berpakaian ala kadarnya.
Saya mendengarkan musik layaknya pemuda biasanya. Saya belajar layaknya seperti
saat SMA dulu. Malah, kadang-kadang saya dikira “Ustad Edan”. Saya tahu, itu
karena ketidakmampuan teman-teman di masjid saya menyerap apa yang saya
omongkan. Tapi kalau ada orang yang memakai jubah, surban, padahal bicaranya
soal “kedamaian”, sudah langsung diklaim kiai. Bahkan sampai sekarang, saya
masih merasa sebagai murid seperti anak-anak yang duduk di sekolah SMP, SMA
bahkan SD. Karena bagi saya tidak ada bedanya usaha belajar dan mendalami ilmu
umum seperti IPA, IPS, PPKN, BAHASA dan lain seterusnya dengan mempelajari dan
mendalami ilmu agama. Karena semua itu bersifat informasi yang kita rekam dalam
ingatan kita. Kalau orang belajar Kewarganegaraan misalnya, ya dia pasti ngocos
kalau disuruh bicara soal politik. Begitu juga seorang kafir pun kalau
mendalami Alquran, hadis dan Islam pada umumnya, mereka sangat mahir bahkan
ahli soal Alquran dan Hadis. Terbukti orang-orang seperti Ignaz Goldziher,
Wensick, Yosef Schat, dan lain seterusnya. Semua itu masih bersifat knowledge.
Lah, kok malah melihat kiai dari pakainnya sih? Kalau nanti ada preman
menggunakan sarung, kopiah dan baju koko gimana? Ingat, dulu Abu Lahab dan Abu
Jahal urusan pakain juga sama dengan nabi Muhammad.
Kembali lagi, soal tulisan dan pidato yang memotivasi. Saat
diingatkan oleh Ustadz Amin seperti kalimat di atas itu, langsung saya lebih
ingat. Sebelumnya tidak kepikir sama sekali “menggarap umat”, kayak mau bikin
jajan saja hehehe. Nampaknya, tindak-tanduk saya selama ini lebih kongkret
karena dibahasakan seperti itu. Meski pun, sebenarnya kencak kaki kita
tidak boleh dibatasi hanya sebatas tulisan itu, namun memang salah satu dari
semuanya, ada salah satu saraf otak kita yang disentuh dengan tulisan itu.
Akhirnya salah satu pula arah tujuan kita menjadi lebih kongkret.
Tidak sedikit para motivator dalam buku-bukunya mengajak kita untuk
menuliskan tujuan dan cita-cita hidup kita. Tuliskan sebanyak mungkin keinginan
kita. Lalu seleksi mana yang lebih diantara yang lain. Bahkan diantara mereka
ada yang mengatakan bahwa keinginan yang kita tuliskan, itu adalah proposal
kepada Tuhan. Ini memang bisa dimaklukmi, karena setelah ditulis itu
keinginan-keinginan tersebut tampak lebih kongkret dan jelas. Akhirnya daya
tarik pikiran kita untuk merealisasikannya pun cukup besar. Maka, sesuailah
dengan the low of attraction atau hukum daya tarik. Yang berbicara, apa
yang kita pikirkan itulah yang “semesta” berikan. Pikiran kita adalah magnet
yang menarik segala realitas.
Begitulah, inna nashihat tanfa’ al-mukminin. Pak Motivator
itu penting, doyan ngomong dan bisanya cuma ngoceh itu pun perlu
dalam hidup ini.
sumber foto: http://ieffffffaaaa.blogspot.com/2012/11/lentera-hati.html
NB: Silahkan IZIN kepada penulis di:
ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan
artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk
diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan
intelektual, emosional dan spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar