—Saiful Islam*—
“Itu adalah Al Qur’an yang
DIPELIHARA dengan tulisan…”
Kata al-hifzh sudah diserap
oleh Bahasa Indonesia, yaitu hafiz. Diartikan sebagai penghafal Qur’an. Hafal
sendiri diartikan dengan 1) telah masuk dalam ingatan (tentang pelajaran), dan
2) dapat mengucapkan di luar kepala (tanpa melihat buku atau catatan lain).
Jadi hafiz, menurut KBBI adalah dapat mengucapkan ayat-ayat Qur’an tanpa
melihat buku Al Qur’an (Mushhaf).
Benarkah pengertian KBBI di atas
itu? Bagaimana makna hafiz itu sebenarnya menurut Qur’an? Ternyata, haafizh
itu bukan hafal. Ternyata lagi, pemeliharaan Allah kepada Qur’an, itu lebih ke
tulisan. Bukan hafalan! Mari kita lihat.
Dari hafazha. Menurut Al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an, kata al-hifzh itu bisa berarti tiga. Pertama,
kesiapan jiwa untuk menerima kepahaman. Ingat arti paham (mengerti sesuatu
sekaligus makna dan maksud yang dikandungnya). Kedua, kata al-hifzh
berarti kuatnya ingatan (memori di otak), lawan kata pelupa.
Dan ketiga, bisa al-hifzh
itu artinya adalah pengoperasian kekuatan memori tersebut. Misalnya dikatakan,
“Hafizhtu kadzaa hifzhon,” kemudian kekuatan ingatan itu dipakai
untuk setiap pencarian sesuatu yang hilang, penjagaan janji dan untuk setiap pemeliharaan.
Lantas oleh Kamus-Kamus Arab Indonesia diartikan sederhana: menjaga atau
memelihara.
Orangnya, atau subjeknya itu
disebut haafizh atau hafiizh. Yang menurut Lisan al-Arab
berarti seseorang yang diwakili sesuatu untuk memeliharanya. Bahasa lainnya,
seseorang yang dititipi amanah.
Penerapan dari kekuatan ingatan
tersebut (menjaga atau memelihara), itu seperti disebutkan oleh beberapa ayat
berikut.
QS. Yusuf[12]: 12
أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا
يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Biarkanlah Yusuf pergi bersama
kami besok pagi, agar ia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main.
Sungguh, kami pasti MENJAGANYA."
QS. Al-Baqarah[2]: 238
حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ
PELIHARALAH semua salat kalian.
QS. Al-Ma’arij[70]: 29
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
Dan orang-orang yang MEMELIHARA
kemaluannya.
QS. Al-Syura[42]: 48
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ
Jika mereka berpaling, maka Kami
tidak mengutus kamu sebagai penjaga bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain
hanyalah menyampaikan (risalah).
QS. Al-Nisa’[4]: 34
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
Wanita yang salehah, ialah yang
taat kepada Allah lagi MEMELIHARA diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah MEMELIHARA (mereka).
Memelihara diri pada QS.4:34 di
atas maksudnya adalah istri yang menjaga janji-janji pernikahan, terutama
ketika suaminya pergi, bekerja, bisnis dan semisalnya. Dan menjaga hak-hak
Allah.
Jika dikatakan, “Wa ‘indanaa
kitaab hafiizh: kami punya buku yang memelihara (QS.50:4),” maka maksudnya
adalah isi buku itu memelihara perbuatan-perbuatan mereka. Semacam pedoman
berpikir, bersikap, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun al-hafaazh itu adalah
al-muhaafazhah. Yakni saling memelihara. Maksudnya begini. Orang yang
menjaga salatnya sesuai perintah oleh QS.23:9 dan QS.70:34, maka salat pun akan
memeliharanya. Sebagaimana disebut oleh QS.29:45.
Jadi menurut bahasa, al-hifzh
itu bisa berarti tiga sekaligus. Pertama, kuatnya memori. Kedua,
kuatnya memori itu sudah otomatis dengan kepahamannya. Dan kuat memori yang
sudah otomatis dengan kepahamannya, itu diterapkan untuk memelihara amanah. Sebagaimana
arti ketiga. Jadi fokusnya, itu untuk PENERAPAN dari kuatnya memori yang siap
menerima kepahaman tersebut.
Sehingga makna al-hifzh, itu
sebagaimana semestinya orang berinteraksi dengan Al Qur’an. Yaitu membaca mesti
dengan kepahaman. Kemudian hasil pahamnya itu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. DIAMALKAN. Ketika Qur’an memerintahkan salat, syukur, dan sabar,
orang itu benar-benar akan praktik salat, syukur, dan sabar. Dikala Qur’an
melarang boros, benci, dan bakhil, misalnya, maka orang tersebut benar-benar
praktek tidak boros (hemat), tidak benci (belas kasih), dan memberi.
Jadi jelas sekali, bahwa Haafizh
al-Qur’aan, itu bukan hafal Al Qur’an. Perhatikan lagi definisi KBBI di
atas: “dapat mengucapkan ayat-ayat Qur’an tanpa melihat buku Al Qur’an
(Mushhaf).” Jadi hanya mengucapkan tanpa melihat Mushhaf. Kalau hanya
mengucapkan seperti itu, anak kecil yang belum baligh saja bisa. Tanpa paham.
Apalagi mengamalkannya. Kalau Haafizh al-Qur’aan, ini adalah bisa paham
dan mengamalkannya. Meskipun tidak bisa mengucapkan teksnya dengan tanpa
melihat Mushhaf.
Kedua, tentang pemeliharaan keaslian
teks Al Qur’an. Allah menggunakan redaksi ‘Kami’ dalam proses pemeliharaan teks
Al Qur’an itu. Itu artinya, Allah melibatkan pihak lain selain ‘diri-Nya’.
Yaitu terutama, Jibril, Nabi Muhammad, dan para Sahabatnya. Allah tidak bekerja
sendiri dalam pemeliharaan Al Qur’an itu. Diceritakan pada ayat berikut.
QS. Al-Hijr[15]: 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur’an, dan sungguh KAMI BENAR-BENAR MEMELIHARANYA.
Kalau menurut Sejarah, pemeliharaan
Al Qur’an itu dengan dua cara. Pertama, dengan tulisan: di atas batu, kulit binatang,
tulang, pelepah kurma, bahkan tidak menutup kemungkinan di atas kertas. Dan
kedua, dengan hafalan yang disertasi kepahaman. Bahkan kalau ‘hafalnya’ Nabi,
itu tidak akan pernah lupa lagi (QS.87:6). Karena memang ditancapkan langsung
ke akal atau hati beliau (QS.2:97 & QS.26:194). Juga dipraktekkan semuanya,
karenanya beliau digambarkan, “Kaana khuluquhu al-Qur’aan: akhlak Nabi
itu adalah Al Qur’an.”
Adapun penjagaan teks Qur’an dengan
hafalan oleh para Sahabat Nabi, itu sebenarnya tidak ada informasinya dalam
Qur’an. Saya belum menemukan perintah untuk menghafal teks Qur’an itu di dalam
ayat-ayat Qur’an. Meski begitu, Sejarah tentang ada beberapa Sahabat Nabi yang
hafal teks Qur’an, itu sangat mungkin bisa terjadi. Dan kalau ada Muslimin sekarang
bisa hafal Qur’an 30 juz, itu sungguh sangat membanggakan.
Tampaknya, pemeliharaan teks
Qur’an, itu lebih kepada tulisan. Bukan dengan hafalan. Ini tidak hanya
didukung oleh Sejarah, tetapi Qur’an sendiri menggambarkan hal tersebut. Ada
ayatnya. Berikut ini.
Al-Buruj[85]: 21-22
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
21. Bahkan yang didustakan mereka
itu ialah AL QUR’AN yang mulia.
فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
22. Yang TERLULIS pada LAWH yang
TERPELIHARA.
Al-Lawh sendiri itu memang
artinya adalah sesuatu apa pun yang ditulis di atasnya, seperti tulisan di atas
kayu balok, di atas pelepah kurma, di atas batu, di atas kertas, di atas
permukaan kulit yang sudah dikeringkan, dan seterusnya.
Bahkan sejak di periode Mekkah, itu
sudah ada tulisan Qur’an itu. Sebagaimana diceritakan oleh Sirah Ibnu Hisyam
vol.1-2, halaman 343-346 yang dikutip oleh Prof. Dr. M.M. Al-A’zhami. Berikut ini:
Suatu hari Umar keluar rumah
menenteng pedang terhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa Sahabat
sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Shafa. Jumlah mereka sekitar empat
puluhan termasuk kaum perempuan. Di antaranya adalah paman Nabi, Hamzah, Abu
Bakar, Ali dan juga lainnya yang tidak pergi berhijrah ke Ethiopia.
Nu’aim secara tak sengaja
berpapasan dan bertanya ke mana Umar hendak pergi. “Saya hendak menghabisi
Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraisy khianat terhadap agama nenek
moyang dan mereka tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan,
agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang, akan aku libas dia.”
“Engkau hanya akan menipu diri
sendiri Umar,” katanya. “Jika engkau menganggap bahwa Bani Abdu Manaf
mengizinkanmu menapak bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang
temui keluargamu dan selesaikan permasalahan mereka.”
Umar pulang sambil bertanya-tanya
apa yang telah menimpa keluarganya. Nu’aim menjawab, “Saudara ipar, keponakan
yang bernama Said serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa
Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kamu kembali menemui
mereka.”
Umar cepat-cepat menuju iparnya di
rumah, tempat Khabba sedang membaca Surat Thaha dan sepotong tulisan Al Qur’an.
Saat mereka mendengar suara Umar, Khabbab lari masuk ke kamar kecil. Sedang
Fathimah mengambil kertas kulit yang bertuliskan Al Qur’an dan diletakkan di
bawah pahanya.
Menurut Ibnu Abbas, ayat-ayat yang
diturunkan di Mekah terekam dalam bentuk tulisan sejak dari sana. Orang lain
sebagai penulis resmi adalah Khalid bin Said bin al-Ash di mana ia mengatakan:
“Saya orang pertama yang menulis Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab…
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar