Sabtu, 01 Agustus 2020

HAAFIZH BUKAN HAFAL


—Saiful Islam*—

“Itu adalah Al Qur’an yang DIPELIHARA dengan tulisan…”

Kata al-hifzh sudah diserap oleh Bahasa Indonesia, yaitu hafiz. Diartikan sebagai penghafal Qur’an. Hafal sendiri diartikan dengan 1) telah masuk dalam ingatan (tentang pelajaran), dan 2) dapat mengucapkan di luar kepala (tanpa melihat buku atau catatan lain). Jadi hafiz, menurut KBBI adalah dapat mengucapkan ayat-ayat Qur’an tanpa melihat buku Al Qur’an (Mushhaf).

Benarkah pengertian KBBI di atas itu? Bagaimana makna hafiz itu sebenarnya menurut Qur’an? Ternyata, haafizh itu bukan hafal. Ternyata lagi, pemeliharaan Allah kepada Qur’an, itu lebih ke tulisan. Bukan hafalan! Mari kita lihat.

Dari hafazha. Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata al-hifzh itu bisa berarti tiga. Pertama, kesiapan jiwa untuk menerima kepahaman. Ingat arti paham (mengerti sesuatu sekaligus makna dan maksud yang dikandungnya). Kedua, kata al-hifzh berarti kuatnya ingatan (memori di otak), lawan kata pelupa.

Dan ketiga, bisa al-hifzh itu artinya adalah pengoperasian kekuatan memori tersebut. Misalnya dikatakan, “Hafizhtu kadzaa hifzhon,” kemudian kekuatan ingatan itu dipakai untuk setiap pencarian sesuatu yang hilang, penjagaan janji dan untuk setiap pemeliharaan. Lantas oleh Kamus-Kamus Arab Indonesia diartikan sederhana: menjaga atau memelihara.

Orangnya, atau subjeknya itu disebut haafizh atau hafiizh. Yang menurut Lisan al-Arab berarti seseorang yang diwakili sesuatu untuk memeliharanya. Bahasa lainnya, seseorang yang dititipi amanah.

Penerapan dari kekuatan ingatan tersebut (menjaga atau memelihara), itu seperti disebutkan oleh beberapa ayat berikut.

QS. Yusuf[12]: 12
أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Biarkanlah Yusuf pergi bersama kami besok pagi, agar ia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main. Sungguh, kami pasti MENJAGANYA."

QS. Al-Baqarah[2]: 238
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
PELIHARALAH semua salat kalian.

QS. Al-Ma’arij[70]: 29
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
Dan orang-orang yang MEMELIHARA kemaluannya.

QS. Al-Syura[42]: 48
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ
Jika mereka berpaling, maka Kami tidak mengutus kamu sebagai penjaga bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).

QS. Al-Nisa’[4]: 34
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
Wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi MEMELIHARA diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah MEMELIHARA (mereka).

Memelihara diri pada QS.4:34 di atas maksudnya adalah istri yang menjaga janji-janji pernikahan, terutama ketika suaminya pergi, bekerja, bisnis dan semisalnya. Dan menjaga hak-hak Allah.

Jika dikatakan, “Wa ‘indanaa kitaab hafiizh: kami punya buku yang memelihara (QS.50:4),” maka maksudnya adalah isi buku itu memelihara perbuatan-perbuatan mereka. Semacam pedoman berpikir, bersikap, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun al-hafaazh itu adalah al-muhaafazhah. Yakni saling memelihara. Maksudnya begini. Orang yang menjaga salatnya sesuai perintah oleh QS.23:9 dan QS.70:34, maka salat pun akan memeliharanya. Sebagaimana disebut oleh QS.29:45.

Jadi menurut bahasa, al-hifzh itu bisa berarti tiga sekaligus. Pertama, kuatnya memori. Kedua, kuatnya memori itu sudah otomatis dengan kepahamannya. Dan kuat memori yang sudah otomatis dengan kepahamannya, itu diterapkan untuk memelihara amanah. Sebagaimana arti ketiga. Jadi fokusnya, itu untuk PENERAPAN dari kuatnya memori yang siap menerima kepahaman tersebut.

Sehingga makna al-hifzh, itu sebagaimana semestinya orang berinteraksi dengan Al Qur’an. Yaitu membaca mesti dengan kepahaman. Kemudian hasil pahamnya itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. DIAMALKAN. Ketika Qur’an memerintahkan salat, syukur, dan sabar, orang itu benar-benar akan praktik salat, syukur, dan sabar. Dikala Qur’an melarang boros, benci, dan bakhil, misalnya, maka orang tersebut benar-benar praktek tidak boros (hemat), tidak benci (belas kasih), dan memberi.

Jadi jelas sekali, bahwa Haafizh al-Qur’aan, itu bukan hafal Al Qur’an. Perhatikan lagi definisi KBBI di atas: “dapat mengucapkan ayat-ayat Qur’an tanpa melihat buku Al Qur’an (Mushhaf).” Jadi hanya mengucapkan tanpa melihat Mushhaf. Kalau hanya mengucapkan seperti itu, anak kecil yang belum baligh saja bisa. Tanpa paham. Apalagi mengamalkannya. Kalau Haafizh al-Qur’aan, ini adalah bisa paham dan mengamalkannya. Meskipun tidak bisa mengucapkan teksnya dengan tanpa melihat Mushhaf.

Kedua, tentang pemeliharaan keaslian teks Al Qur’an. Allah menggunakan redaksi ‘Kami’ dalam proses pemeliharaan teks Al Qur’an itu. Itu artinya, Allah melibatkan pihak lain selain ‘diri-Nya’. Yaitu terutama, Jibril, Nabi Muhammad, dan para Sahabatnya. Allah tidak bekerja sendiri dalam pemeliharaan Al Qur’an itu. Diceritakan pada ayat berikut.

QS. Al-Hijr[15]: 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sungguh KAMI BENAR-BENAR MEMELIHARANYA.

Kalau menurut Sejarah, pemeliharaan Al Qur’an itu dengan dua cara. Pertama, dengan tulisan: di atas batu, kulit binatang, tulang, pelepah kurma, bahkan tidak menutup kemungkinan di atas kertas. Dan kedua, dengan hafalan yang disertasi kepahaman. Bahkan kalau ‘hafalnya’ Nabi, itu tidak akan pernah lupa lagi (QS.87:6). Karena memang ditancapkan langsung ke akal atau hati beliau (QS.2:97 & QS.26:194). Juga dipraktekkan semuanya, karenanya beliau digambarkan, “Kaana khuluquhu al-Qur’aan: akhlak Nabi itu adalah Al Qur’an.”

Adapun penjagaan teks Qur’an dengan hafalan oleh para Sahabat Nabi, itu sebenarnya tidak ada informasinya dalam Qur’an. Saya belum menemukan perintah untuk menghafal teks Qur’an itu di dalam ayat-ayat Qur’an. Meski begitu, Sejarah tentang ada beberapa Sahabat Nabi yang hafal teks Qur’an, itu sangat mungkin bisa terjadi. Dan kalau ada Muslimin sekarang bisa hafal Qur’an 30 juz, itu sungguh sangat membanggakan.

Tampaknya, pemeliharaan teks Qur’an, itu lebih kepada tulisan. Bukan dengan hafalan. Ini tidak hanya didukung oleh Sejarah, tetapi Qur’an sendiri menggambarkan hal tersebut. Ada ayatnya. Berikut ini.

Al-Buruj[85]: 21-22
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah AL QUR’AN yang mulia.

فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
22. Yang TERLULIS pada LAWH yang TERPELIHARA.

Al-Lawh sendiri itu memang artinya adalah sesuatu apa pun yang ditulis di atasnya, seperti tulisan di atas kayu balok, di atas pelepah kurma, di atas batu, di atas kertas, di atas permukaan kulit yang sudah dikeringkan, dan seterusnya.

Bahkan sejak di periode Mekkah, itu sudah ada tulisan Qur’an itu. Sebagaimana diceritakan oleh Sirah Ibnu Hisyam vol.1-2, halaman 343-346 yang dikutip oleh Prof. Dr. M.M. Al-A’zhami. Berikut ini:

Suatu hari Umar keluar rumah menenteng pedang terhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa Sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Shafa. Jumlah mereka sekitar empat puluhan termasuk kaum perempuan. Di antaranya adalah paman Nabi, Hamzah, Abu Bakar, Ali dan juga lainnya yang tidak pergi berhijrah ke Ethiopia.

Nu’aim secara tak sengaja berpapasan dan bertanya ke mana Umar hendak pergi. “Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraisy khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan, agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang, akan aku libas dia.”

“Engkau hanya akan menipu diri sendiri Umar,” katanya. “Jika engkau menganggap bahwa Bani Abdu Manaf mengizinkanmu menapak bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang temui keluargamu dan selesaikan permasalahan mereka.”

Umar pulang sambil bertanya-tanya apa yang telah menimpa keluarganya. Nu’aim menjawab, “Saudara ipar, keponakan yang bernama Said serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kamu kembali menemui mereka.”

Umar cepat-cepat menuju iparnya di rumah, tempat Khabba sedang membaca Surat Thaha dan sepotong tulisan Al Qur’an. Saat mereka mendengar suara Umar, Khabbab lari masuk ke kamar kecil. Sedang Fathimah mengambil kertas kulit yang bertuliskan Al Qur’an dan diletakkan di bawah pahanya.

Menurut Ibnu Abbas, ayat-ayat yang diturunkan di Mekah terekam dalam bentuk tulisan sejak dari sana. Orang lain sebagai penulis resmi adalah Khalid bin Said bin al-Ash di mana ia mengatakan: “Saya orang pertama yang menulis Bismillaahirrahmaanirrahiim.”

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...