Selasa, 04 Agustus 2020

SANG ULIN NUHA


—Saiful Islam*—

“Nasib dan takdir, itu pilihan. Ulin Nuha akan menyesuaikan dirinya pada nasib dan takdir baik…”

Berbeda dengan Ulil Albab dan Ulil Abshor yang sering kita dengar. Ada satu lagi frase (idhoofah) yang mirip dengan keduanya. Seperti ‘saudara kembarnya’. Yaitu Ulin Nuha. Jadi uuliy al-albaab, uuliy al-abshoor dan uuliy al-nuhaa. Sekilas, artinya pun mirip: Sang Pemilik Akal Sehat. Tiga-tiganya dipuji oleh Allah.

Menurut Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata nuhaa itu ternyata bentuk plural dari kata al-nuhyah. Artinya adalah akal yang melarang atau mencegah pemiliknya berbuat keji atau keburukan. Frase Ulin Nuha itu seperti disebut oleh QS.20:54.

Sebab kalau mau melakukan pelacakan pun, kita memulainya dari kata kerja nahaa. Bentuk kata bendanya adalah al-nahyu yang memang berarti larangan mengerjakan sesuatu.

Sedangkan menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab, kata al-nahyu itu kebalikan dari perintah. Yakni larangan. Jiwa yang melarang atau mencegah pelakunya dari sesuatu, itu disebut nafsun nahaatun.

Beberapa redaksi yang bisa dijumpai seperti “Fataa kaana dzaa hilmin ashiilin wa nuhyatin: pemuda yang baik akhlaknya dan cerdas akalnya.” Juga “Uuluu al-ahlaam wa al-nuhaa: yang baik perangainya dan berakal cerdas.” Disebutkan dalam sebuah Hadis Abu Wail, “Sungguh aku tahu, bahwa orang yang bertakwa itu dzuu nuhyah.” Yakni orang bertakwa, itu menggunakan akalnya.

Kata al-nihaayah dan al-manhaat itu juga bisa berarati akal, seperti al-nuhyah. Jika dikatakan “rojulun manhaatun” itu artinya adalah laki-laki yang berakal, bagus pemikirannya.

“Wa qod nahuwa maa syaa’a, fahuwa nahiyyun, min qowmin anhiyaa’.” Kata nahuwa, nahiyyun dan anhiyaa’ pada kalimat itu semuanya terkait dengan akal. Jika dikatakan, “Fulaan dzuu nuhyah: Fulan pemilik akal,” maka maksudnya adalah akalnya mencegah dirinya untuk berbuat keburukan, serta memasukkannya ke dalam kebaikan.

Kalimat “Huwa nahiyyun min qowmin anhiyaa’, wa nahin min qowmin nahiin,” menurut Ibnu Sidah, semua itu berarti kematangan akal. Begitu juga nihin.

Jadi secara bahasa, frase Ulin Nuha itu artinya yang selalu menggunakan akal sehatnya. Yang mendayagunakan akal sehatnya. Yang memelihara akal sehatnya dengan mengasah potensi kecerdasannya untuk membaca ayat-ayat Allah. Secara umum, baik itu ayat-ayat qowliyah (Al Qur’an) maupun ayat-ayat kawniyah (realitas alam dan sosial).

Orang yang memahami hukum alam (sunnatullah alias sebab akibat), lantas menyesuaikan dirinya untuk nasib baik, itu adalah Ulin Nuha. Orang yang menggunakan akalnya, untuk menyesuaikan dirinya dengan takdir baik, selamat, sukses dan bahagia dunia akhirat, itu juga Ulin Nuha.

Orang yang memelihara pikirannya, ucapannya dan perbuatannya dengan akal sehatnya, sehingga ia terhindar dari nasib buruk dan takdir celaka dunia akhirat, itu adalah Ulin Nuha. Orang yang Ulin Nuha akan selalu berusaha mengarahkan pikiran, ucapan dan perbuatannya pada kebaikan dan kemanfaatan.

Orang-orang yang Ulin Nuha akan selalu mempertimbangkan hukum Qur’an dan hukum alam (sunnatullah). Ia akan selalu membaca tanda-tanda, baik dari Qur’an, maupun dari realitas alam dan sosial. Ia adalah pribadi yang haus membaca. Tentu saja mencari manfaat dan menghindar dari mudarat.

Frase Ulin Nuha, ini dalam Al Qur’an hanya diulang dua kali saja. Yaitu QS.20:54 dan 128.

QS. Thaha[20]: 53 – 54 & 128
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَسَلَكَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلًا وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْ نَبَاتٍ شَتَّىٰ
53. Yang telah menjadikan bagimu BUMI sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.

كُلُوا وَارْعَوْا أَنْعَامَكُمْ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِأُولِي النُّهَىٰ
54. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu (di bumi itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat AYAT-AYAT (tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi ORANG-ORANG YANG BERAKAL.

Ada gumpalan kabut raksasa yang berputar pada porosnya di alam semesta ini. Putaran itu sangat cepat. Akibatnya beberapa gumpalan kabut itu melesat dari pusatnya. Ada bagian besarnya yang membentuk cakram raksasa yang meledak membentuk asap (nebula). Kemudian nebula itu mendingin selama 4,6 miliar tahun.

Bima Sakti, itu terbentuk dari proses di atas. Tetapi, bagian-bagian kecil dari kabut raksasa itu kemudian mendingin dan memadat. Lantas menjadi planet-planet. Nah, salah satunya adalah planet biru yang kita tinggali ini. Di atas bumi, itu manusia bisa berjalan dan berkendara di darat. Berlayar di lautan.

Hujan terjadi berawal dari air yang menguap karena panas matahari. Uap air yang terangkat ke udara mengalami proses kondensasi.  Lalu menjadi embun. Suhu udara yang semakin tinggi, membuat embun itu semakin banyak. Memadat dan kemudian menjadi awan.

Angin menggerakkan awan yang membawa butir-butir air menuju tempat dengan suhu yang lebih rendah. Awan-awan yang terkumpul bergabung menjadi awan besar yang kelabu warnanya. Itulah alasan ketika akan hujan, biasanya banyak angin dan langitnya mendung.

Kemudian butir-butir air yang sudah melimpah dan memenuhi awan itu ditarik oleh gaya gravitasi bumi. Itulah hujan yang menyirami bumi. Bumi itu kemudian ‘melahirkan’ aneka jenis tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Seperti padi, gandum, kedelai, kacang, mangga, alpukat, apel, durian dan seterusnya yang lantas dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh manusia.

Itu adalah sebuah proses yang teratur dan harmonis. Sebuah sistem yang bekerja dengan teratur. Mustahil keteraturan itu terjadi dengan sendirinya. Ulin Nuha menyimpulkan, Dia lah Allah yang mengatur dan memeliharanya.

أَفَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِأُولِي النُّهَىٰ
128. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat AYAT-AYAT bagi orang yang berakal.

Ayat di atas juga mengajarkan kepada Ulin Nuha itu. Bahwa orang yang menentang hukum Allah, baik hukum Qur’an maupun hukum sunnatullah, akan celaka dan menderita hidupnya. Bahkan sudah sejak di dunia ini. Orang-orang yang Ulin Nuha, itu tidak akan mengulangi kesalahan orang yang celaka itu. Ulin Nuha akan melakukan sebaliknya. Sehingga selamat, sukses dan bahagia dunia akhirat.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...