—Saiful Islam*—
“Syair Tombo Ati: moco qur’an
angen-angen sak maknane…”
Menurut Lisan al-Arab, kata al-dzikr
dan al-dzikroo itu lawan kata lupa. Jadi, al-dzikr itu artinya
adalah ingat. Disebutkan bahwa al-dzikr, itu bisa juga dengan lisan.
Jika disebut istadzkaro al-syay’,
maka itu artinya seseorang mempelajari sesuatu untuk mengingatnya.
Seluruh kitab-kitab para Nabi, itu
juga namanya dzikr. Buku yang membahas tentang Islam dan agama-agama,
bisa juga disebut dzikr. Salat, doa, sanjungan atau pujian kepada Allah,
juga bisa disebut dzikr. Menurut Abu al-Abbas, membaca Qur’an, syukur,
taat dan bertasbih itu juga bisa disebut dzikr.
Jadi begini. Secara bahasa, dzikr
itu artinya memang bisa umum. Tetapi fokusnya adalah mengingat. Yang namanya
mengingat, itu sebenarnya adalah aktivitas otak. Orang bisa mengingat sesuatu
di otaknya, meski tanpa membuka mulut. Adapun mulut, itu adalah salah satu
pendukung untuk mengingat itu.
Disebutkan pada tulisan sebelumnya,
bahwa setiap ucapan itu dzikr. Maka pujian, doa, salat, tasbih, membaca
Qur’an, itu juga disebut dzikr. Ya karena diucapkan. Semua itu bisa menjadi
media untuk mengingat.
Sederhananya, seperti diartikan
oleh Kamus Mahmud Yunus bahwa dzikr itu adalah mengingat dan menyebut.
Dengan kata lain, menyebut itu sejatinya tujuannya adalah supaya ingat. Jadi, dzikr
itu sangat terkait dengan psikis: akal atau hati. Disebutkan misalnya pada ayat
berikut.
QS. Al-Ra’ad[13]: 28
الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan AKAL/HATI mereka MANJADI TENTERAM dengan MENGINGAT ALLAH. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dengan begitu, dalam konteks yang
umum ini, definisi KBBI itu bisa diterima. Meskipun tidak selalu harus dengan
melagukan dan perayaan dalam keadaan formal dan serius. Karena mengingat Allah
itu menurut Qur’an, bisa dengan berdiri, duduk dan bahkan rebahan (santai).
QS. Ali Imran[3]: 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Yaitu) orang-orang yang MENGINGAT
ALLAH ketika BERDIRI, DUDUK dan dalam keadaan BERBARING. Dan memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami. Tiadalah
Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau. Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka.”
Bahkan kalau kita melihat ayat
sebelumnya, QS.3:190, ada kesan zikir kepada Allah itu sekaligus bersamaan
dengan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Fenomena alam (ayat kawniyah).
Semua aktivitas itu berkelindan terjadi dalam benak. Bahkan QS.3:191 di atas,
itu adalah definisi siapa Ulul Albab (pemilik aktivitas akal sehat) itu
sebenarnya.
Indikasi bahwa dzikr itu
tidak harus selalu formal, serius, dan melagukan atau mengucapkan dengan mulut,
itu bisa dilihat pada ayat berikut ini. Bahwa dzikr kepada Allah, itu
lebih pada aktivitas akal atau hati. Non formal. Dimana pun, kapan pun, dan
bagaimana pun. Saat kerja, ibadah, sendiri, ramai-ramai, di rumah, di lapangan,
di kantor, di acara pesta, di masjid, di sekolah, dan seterusnya. Kita memang
sebaiknya selalu ingat kepada Allah. Supaya menang!
QS. Al-Jumu’ah[62]: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila salat telah ditunaikan,
maka BERTEBARANLAH kalian di muka bumi; dan CARILAH karunia Allah dan INGATLAH ALLAH
SEBANYAK MUNGKIN supaya kamu BERUNTUNG.
Adapun kaitan dzikr dengan
Al Qur’an dan kepaham, itu begini. Kita sudah tahu bahwa Al Qur’an itu adalah al-dzikr
(QS.21:24, 50 dan QS.38:8). Kata al-dzikroo (QS.51:55) itu juga Al
Qur’an. Begitu juga kata tadzkiroh (QS.80:11) itu yang dimaksud juga
adalah Al Qur’an. Baik al-dzikr, al-dzikroo, maupun tadzkiroh,
menurut saya terjemah lebih pasnya adalah PENGINGAT. Supaya lebih jelas
perbedaannya dengan kata nadziiron (peringatan).
Nah, jangan lupa kalimat penting
ini: “Al Qur’an itu adalah sesuatu (media) yang membuat seseorang ingat
kepada sesuatu yang lain.” Sebagaimana disebut Al-Mufradat itu bahwa
al-tadzkiroh artinya adalah sesuatu yang membuat ingat terhadap sesuatu
yang lain. Qur’an itu memang disebut tadzkiroh. Karena ia adalah sesuatu
yang mengingatkan seseorang pada sesuatu yang lain.
Jadi permisalannya seperti ini.
Anda punya kekasih. Berkerudung pink. Tepat di ujung kerudungnya itu
tertulis nama Anda dan kekasih Anda itu. Suatu hari, kekasih Anda itu tidak
memberi kabar. Sudah tiga hari Anda telepon tidak bisa. Anda cek akun sosmed
(FB, Instagram, Twitter, dan seterusnya) tidak aktif. Sampai bertahun-tahun Anda
kehilangan jejaknya. Anda sangat merindukannya.
Tiba-tiba suatu hari, ada paketan
yang dikirim Pos sampai di alamat rumah Anda. Ketika Anda buka, ternyata isinya
adalah kerudung pink. Persis di ujungnya, itu nama Anda dan kekasih Anda
itu. Harum pula aromanya. Tentu saja, seketika itu Anda langsung ingat kepada
kekasih Anda yang amat sangat Anda rindukan itu. Jadi kerudung pink itu,
adalah sesuatu yang mengingatkan Anda kepada sesuatu yang lain. Apalagi ada suratnya
yang bertuliskan dengan spidol emas: “Sebulan lagi, nikah yuk!”
Begitulah Al Qur’an. Ia adalah
sesuatu yang mengingatkan orang kepada sesuatu yang lain. Ketika Qur’an
berbicara tentang kematian, langsung mengingatkan kita bahwa semua kita pasti
mati. Ketika Qur’an berbicara tentang orang tua, kita langsung ingat cara yang
benar bergaul dengan ibu dan bapak. Ketika tentang surga dan neraka yang
terkait dengan iman dan amal saleh, kita menjadi menyesuaikan diri supaya
selamat, bahagia dan sukses dunia akhirat. Dan begitu seterusnya.
Jadi, orang melihat teksnya. Yang
dilihat itu memang adalah kalimat-kalimatnya. Tetapi membuat orang lantas
mengingat sesuatu yang bukan teks itu. Sama seperti kerudung kekasih Anda tadi.
Anda memang melihat kerudungnya. Tetapi yang Anda ingat, justru bukan
kerudungnya. Tetapi kekasih Anda. Iya kan?!
Maka, Al Qur’an, itu memang
semestinya dimengerti arti dan maknanya. Seperti syair Tombo Ati begitu: moco
Qur’an angen-angen sak maknane. Membaca Qur’an itu memang mesti dimengerti
maknanya. Barulah Qur’an bisa mengingatkan kita kepada sesuatu yang lain. Yakni
pesan dan informasi yang dikandung oleh ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Itulah
zikir dengan Al Qur’an yang tepat!
Memang betul kalau salat, doa,
sanjungan atau pujian kepada Allah, juga bisa disebut dzikr. Menurut Abu
al-Abbas, membaca Qur’an, syukur, taat dan bertasbih itu juga bisa disebut dzikr.
Tentu yang dimaksud, itu kalau mengerti maknanya. Paham isi informasinya. Ya
mereka orang Arab. Bisa langsung mengerti artinya. Muslim yang bukan orang
Arab? Mesti ada upaya untuk mengerti dan paham. Seperti belajar perlahan-lahan,
baca terjemah, dan seterusnya sepanjang hidup.
Menurut saya salah kaprah,
mengatakan zikir dengan Qur’an atau berdoa dengan Qur’an, ternyata prakteknya
seperti membaca Surat Yasin 3 kali atau Surat Al-Mulk 3 kali atau Surat Waqi’ah
3 kali atau Surat Yusuf 3 kali tanpa dimengerti dan tanpa dipahami. Apalagi
tujuannya cepet-cepetan hatam dan supaya laris dagangan, supaya ‘memelet’ orang,
dan semisalnya. Itu bukan berdzikir atau berdoa dengan Qur’an. Tetapi merapal
mantra namanya!
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab…
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar