—Saiful Islam—
“Ternyata. Perkosa istri. Itu
memang haram. Hehe...”
Nikah versi Abdul Aziz, sudah
diceritakan. Kritik saya kepada alur berpikirnya, juga sudah. Kita sudah tahu
persis sekarang, posisi Abdul.
Kini kita akan melihat alur
berpikirnya terkait akad. Dalam hal ini akad pernikahan. Abdul cenderung
menyamakan akad nikah ini dengan akad jual beli. Persisnya jual beli barang
pada umumnya. Memosisikan perempuan seperti benda mati. Barang. Yaitu ketika
dia mengaitkan akad nikah ini dengan kepemilikan. Perempuan dilekatkan dengan
akad jual beli, kemudian dikaitkan dengan kepemilikan, ini dekat sekali dengan
maksud perbudakan perempuan.
Meskipun dia mengutip sana-sini,
jangan terkecoh. Kita akan tetap fokus pada substansi pemikirannya. Tidak
peduli ulama apa yang dikutipnya. Seperti dituliskan di disertasinya halaman
86-87 berikut ini:
Paragraf (1): Tampak bahwa pengertian
nikah menurut istilah yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada satu
konteks akad yang menghalalkan hubungan seksual. Hal ini lantaran faktor
biologislah yang merupakan salah satu penyebab motifasi untuk berhubungan
antara kedua belah pihak, pria dan wanita.
Paragraf (2): Dalam konteks akad,
terkait pembahasan tentang hak milik. Menurut fuqaha, hak milik itu ada tiga
macam. Pertama, milk al-raqabah, yakni kepemilikan terhadap
sesuatu secara keseluruhan, misalnya dengan jalan membeli atau warisan. Benda
ini dapat digadaikan atau dijual oleh pemiliknya. Kedua, milk
al-manfa‘at, yaitu hak memiliki manfaat suatu benda, misalnya dengan jalan
menyewa. Si pemilik manfaat itu dapat menyewakannya atau meminjamkannya kepada
orang lain. Ketiga, milk al-intifa, yaitu hak memiliki penggunaan
sesuatu benda. Si pemilik tidak berhak, selain ia sendiri yang menggunakannya.
Paragraf (3): Akad nikah merupakan
suatu akad yang menyebabkan suami mempunyai hak milk al-intifa atas
istrinya. Oleh karena itu, timbul hak dan kewajiban antara suami-istri dalam
hubungan seksual. Pertama, suami berhak memonopoli kenikmatan terhadap
istrinya. Sebab di luar suaminya haram ikut serta merasakan kenikmatan itu. Kedua,
sang istri tidak ada ikatan dengan suami sebab dia berhak untuk melepaskan diri
dari suaminya. Ketiga, kemaluan istri merupakan hak miliknya, hanya saja
pemakaiannya adalah monopoli suami. Hal ini terbukti bila istri terlibat waṭa
syubhat, dialah yang berhak menerima mahar miṡil dan bukan suaminya.
Keempat, istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh
suaminya, tetapi suami tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya. Kewajiban
suami bukanlah dikehendaki akad tetapi oleh kewajiban moral. Jadi, jika suami
sudah membuktikan pada persenggamaan pertama tidak impoten, maka sudah dianggap
cukup memenuhi tuntutan istrinya.
Di paragraf pertama, akad yang
menghalalkan hubungan seksual. Faktor biologis yang menyebabkan antar laki-laki
dan perempuan berhubungan seksual. Ini tidak ada masalah. Laki-laki dan
perempuan berhubungan seks setelah akad, itu memang halal. Fitrah manusia,
laki-laki menyukai perempuan. Dan perempuan menyukai laki-laki, ini juga
alamiah. Seks atas dasar suka sama suka sudah sunnatullah. Direstui Qur’an.
Tapi jangan gagal fokus: wajib dan harus ada akad nikah. Supaya manusia tidak
seperti kucing. Yang setelah “wik wik” (istilah milenial), lantas kabur.
Di paragraf dua, menurut saya ini
masalah. Ini yang saya sebut menyamakan akad jual beli barang, dengan akad
pernikahan. Yaitu kepemilikan secara umum. Padahal konteksnya adalah
pernikahan. Suami istri. Teori kepemilikan barang ini, akan digunakannya untuk
menganalisis. Di paragraf berikutnya. Menurut saya, keliru. Sebab ini soal akad
pernikahan. Bukan akad jual beli.
Di paragraf tiga ini, jelas bagi
kita. Abdul menggunakan teori kepemilikan itu untuk memahami posisi seorang
perempuan dalam konteks pernikahan. Suami istri. Jadi perempuan seperti barang.
Seperti benda mati. Seperti makhluk yang tak punya kehendak. Maka muncullah
kesimpulan: Pertama, suami berhak memonopoli kenikmatan terhadap
istrinya. Kedua, sang istri tidak ada ikatan dengan suami sebab dia
berhak untuk melepaskan diri dari suaminya. Ketiga, kemaluan istri
merupakan hak miliknya, hanya saja pemakaiannya adalah monopoli suami. Keempat,
istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh suaminya, tetapi suami
tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya.
Kesimpulan dari proses analisis
itu, wajar kalau juga bermasalah. Terutama poin 2: sang istri tidak ada
ikatan dengan suami sebab dia berhak untuk melepaskan diri dari suaminya. Jelas
ini, Abdul lupa. Bahwa makna akad itu adalah ikatan. Kalau sudah disebut
suami-istri, jelas sudah ada ikatan di dalamnya. Kecuali beli perempuan di
lokalisasi. Baru tidak ada ikatan. Atau Abdul memang memahami nikah itu hanya
seks. Tapi mestinya tidak boleh disebut suami-istri di sini.
Juga poin 3: kemaluan istri
merupakan hak miliknya, hanya saja pemakaiannya adalah monopoli suami. Poin
4: istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh suaminya, tetapi
suami tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya. Semua ini menggambarkan
seorang suami yang bisa semena-mena kepada istrinya. Istri yang seperti kerbau
ditusuk hidungnya, diikat, kemudian terserah mau ditarik kemana saja. Tentu ini
tidak manusiawi. Istri tak seperti barang yang benda mati itu. Ia insan berakal
dan berkehendak yang mesti dihormati hak-haknya. Seks dengan istri, juga tetap
wajib atas dasar kerelaannya. Suka sama suka. Haram memerkosa istri.
Tentu saja dalam pernikahan,
perempuan itu subjek. Bukan objek. Seperti narasi yang dibangun oleh Abdul Aziz
ini. Perempuan bukan boneka. Bahkan sejak akan menikah pun, perempuan miliki
kebebasan untuk memilih calon suaminya. Sekali lagi, perempuan itu manusia yang
hidup. Yang memiliki akal dan kehendak. Bahkan juga nafsu.
Agaknya Abdul sengaja mencantumkan
teori kepemilikan barang untuk perempuan, karena ia memang sedang membahas
budak. Milkul yamin. Perempuan budak hasil rampasan perang, sebelum Qur’an
turun, memang bisa diperjualbelikan. Memang seperti barang. Benda mati. Tapi
sejak Qur’an turun, budak tidak lagi seperti barang. Perempuan adalah makhluk berakal
dan berkehendak yang hak-haknya wajib dihormati.
Jadi, kita tahu persis posisi Abdul
di sini. Pertama, dari awal dia sudah mendukung bolehnya seks tanpa akad
nikah. Tak heran kata nikah pun dititikberatkan maknanya sebagai hubungan
seksual belaka. Bukan akad. Dampaknya adalah kedua. Yaitu menyamakan
akad pernikahan dengan akad jual beli barang. Dengan menggunakan teori
kepemilikan sebagai pijakan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar