Sabtu, 05 Oktober 2019

AKAD ALA ABDUL


—Saiful Islam—

“Ternyata. Perkosa istri. Itu memang haram. Hehe...”

Nikah versi Abdul Aziz, sudah diceritakan. Kritik saya kepada alur berpikirnya, juga sudah. Kita sudah tahu persis sekarang, posisi Abdul.

Kini kita akan melihat alur berpikirnya terkait akad. Dalam hal ini akad pernikahan. Abdul cenderung menyamakan akad nikah ini dengan akad jual beli. Persisnya jual beli barang pada umumnya. Memosisikan perempuan seperti benda mati. Barang. Yaitu ketika dia mengaitkan akad nikah ini dengan kepemilikan. Perempuan dilekatkan dengan akad jual beli, kemudian dikaitkan dengan kepemilikan, ini dekat sekali dengan maksud perbudakan perempuan.

Meskipun dia mengutip sana-sini, jangan terkecoh. Kita akan tetap fokus pada substansi pemikirannya. Tidak peduli ulama apa yang dikutipnya. Seperti dituliskan di disertasinya halaman 86-87 berikut ini:

Paragraf (1): Tampak bahwa pengertian nikah menurut istilah yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada satu konteks akad yang menghalalkan hubungan seksual. Hal ini lantaran faktor biologislah yang merupakan salah satu penyebab motifasi untuk berhubungan antara kedua belah pihak, pria dan wanita.

Paragraf (2): Dalam konteks akad, terkait pembahasan tentang hak milik. Menurut fuqaha, hak milik itu ada tiga macam. Pertama, milk al-raqabah, yakni kepemilikan terhadap sesuatu secara keseluruhan, misalnya dengan jalan membeli atau warisan. Benda ini dapat digadaikan atau dijual oleh pemiliknya. Kedua, milk al-manfa‘at, yaitu hak memiliki manfaat suatu benda, misalnya dengan jalan menyewa. Si pemilik manfaat itu dapat menyewakannya atau meminjamkannya kepada orang lain. Ketiga, milk al-intifa, yaitu hak memiliki penggunaan sesuatu benda. Si pemilik tidak berhak, selain ia sendiri yang menggunakannya.

Paragraf (3): Akad nikah merupakan suatu akad yang menyebabkan suami mempunyai hak milk al-intifa atas istrinya. Oleh karena itu, timbul hak dan kewajiban antara suami-istri dalam hubungan seksual. Pertama, suami berhak memonopoli kenikmatan terhadap istrinya. Sebab di luar suaminya haram ikut serta merasakan kenikmatan itu. Kedua, sang istri tidak ada ikatan dengan suami sebab dia berhak untuk melepaskan diri dari suaminya. Ketiga, kemaluan istri merupakan hak miliknya, hanya saja pemakaiannya adalah monopoli suami. Hal ini terbukti bila istri terlibat waṭa syubhat, dialah yang berhak menerima mahar miṡil dan bukan suaminya. Keempat, istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh suaminya, tetapi suami tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya. Kewajiban suami bukanlah dikehendaki akad tetapi oleh kewajiban moral. Jadi, jika suami sudah membuktikan pada persenggamaan pertama tidak impoten, maka sudah dianggap cukup memenuhi tuntutan istrinya.

Di paragraf pertama, akad yang menghalalkan hubungan seksual. Faktor biologis yang menyebabkan antar laki-laki dan perempuan berhubungan seksual. Ini tidak ada masalah. Laki-laki dan perempuan berhubungan seks setelah akad, itu memang halal. Fitrah manusia, laki-laki menyukai perempuan. Dan perempuan menyukai laki-laki, ini juga alamiah. Seks atas dasar suka sama suka sudah sunnatullah. Direstui Qur’an. Tapi jangan gagal fokus: wajib dan harus ada akad nikah. Supaya manusia tidak seperti kucing. Yang setelah “wik wik” (istilah milenial), lantas kabur.

Di paragraf dua, menurut saya ini masalah. Ini yang saya sebut menyamakan akad jual beli barang, dengan akad pernikahan. Yaitu kepemilikan secara umum. Padahal konteksnya adalah pernikahan. Suami istri. Teori kepemilikan barang ini, akan digunakannya untuk menganalisis. Di paragraf berikutnya. Menurut saya, keliru. Sebab ini soal akad pernikahan. Bukan akad jual beli.

Di paragraf tiga ini, jelas bagi kita. Abdul menggunakan teori kepemilikan itu untuk memahami posisi seorang perempuan dalam konteks pernikahan. Suami istri. Jadi perempuan seperti barang. Seperti benda mati. Seperti makhluk yang tak punya kehendak. Maka muncullah kesimpulan: Pertama, suami berhak memonopoli kenikmatan terhadap istrinya. Kedua, sang istri tidak ada ikatan dengan suami sebab dia berhak untuk melepaskan diri dari suaminya. Ketiga, kemaluan istri merupakan hak miliknya, hanya saja pemakaiannya adalah monopoli suami. Keempat, istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh suaminya, tetapi suami tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya.

Kesimpulan dari proses analisis itu, wajar kalau juga bermasalah. Terutama poin 2: sang istri tidak ada ikatan dengan suami sebab dia berhak untuk melepaskan diri dari suaminya. Jelas ini, Abdul lupa. Bahwa makna akad itu adalah ikatan. Kalau sudah disebut suami-istri, jelas sudah ada ikatan di dalamnya. Kecuali beli perempuan di lokalisasi. Baru tidak ada ikatan. Atau Abdul memang memahami nikah itu hanya seks. Tapi mestinya tidak boleh disebut suami-istri di sini.

Juga poin 3: kemaluan istri merupakan hak miliknya, hanya saja pemakaiannya adalah monopoli suami. Poin 4: istri wajib menyerahkan kemaluannya ketika diminta oleh suaminya, tetapi suami tidak ada keharusan menyetubuhi istrinya. Semua ini menggambarkan seorang suami yang bisa semena-mena kepada istrinya. Istri yang seperti kerbau ditusuk hidungnya, diikat, kemudian terserah mau ditarik kemana saja. Tentu ini tidak manusiawi. Istri tak seperti barang yang benda mati itu. Ia insan berakal dan berkehendak yang mesti dihormati hak-haknya. Seks dengan istri, juga tetap wajib atas dasar kerelaannya. Suka sama suka. Haram memerkosa istri.

Tentu saja dalam pernikahan, perempuan itu subjek. Bukan objek. Seperti narasi yang dibangun oleh Abdul Aziz ini. Perempuan bukan boneka. Bahkan sejak akan menikah pun, perempuan miliki kebebasan untuk memilih calon suaminya. Sekali lagi, perempuan itu manusia yang hidup. Yang memiliki akal dan kehendak. Bahkan juga nafsu.

Agaknya Abdul sengaja mencantumkan teori kepemilikan barang untuk perempuan, karena ia memang sedang membahas budak. Milkul yamin. Perempuan budak hasil rampasan perang, sebelum Qur’an turun, memang bisa diperjualbelikan. Memang seperti barang. Benda mati. Tapi sejak Qur’an turun, budak tidak lagi seperti barang. Perempuan adalah makhluk berakal dan berkehendak yang hak-haknya wajib dihormati.

Jadi, kita tahu persis posisi Abdul di sini. Pertama, dari awal dia sudah mendukung bolehnya seks tanpa akad nikah. Tak heran kata nikah pun dititikberatkan maknanya sebagai hubungan seksual belaka. Bukan akad. Dampaknya adalah kedua. Yaitu menyamakan akad pernikahan dengan akad jual beli barang. Dengan menggunakan teori kepemilikan sebagai pijakan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...