—Saiful Islam—
“Orang yang memiliki sesuatu,
sejatinya membuat yang dimilikinya itu semakin naik kualitasnya...”
Disebutkan di dalam Hadis. Al-Asy’ats
bin Qoys berbantah-bantahan dengan penduduk (Kristen) Najran di depan Umar. Tentang
status budak mereka. Di masa Jahiliyah, Al-Asy’ats telah memperbudak mereka. Setelah
mereka masuk Islam, mereka menolak perbudakan itu. Lantas berkata kepada Umar, “Wahai
amirul Mukminin. Kami memang pernah menjadi ‘abiid mamlakah. Tapi bukan ‘abiid
qinn.”
Al-mamlakah atau al-mamlukah
di situ berarti Al-Asy’ats telah memerangi dan mengalahkan penduduk Najran
tersebut. Kemudian ia memperbudak mereka. Asalnya mereka adalah orang-orang
merdeka. Mamlakatuhum atau mamlikatuhum al-naas, itu berarti
kepemilikan seseorang kepada yang lain. Jika disebut thoola milkuh, mulkuh,
malkuh, malakatuh (panjang milk-nya), maka maksudnya adalah panjang
masa perbudakannya. Ini dari Al-Lihyaniy.
Juga dari Al-Lihyaniy, ditemukan
redaksi hasan al-milkah, dan hasan al-milk. Ia juga menetapkan
redaksi al-malakah dan al-muluukah untuk al-milk ini. Disebutkan
dalam Hadis: sayyi’ al-malakah tidak akan masuk surga. Sayyi’
al-malakah di sini berarti orang yang komunikasi dan interaksinya buruk
kepada budaknya. Semacam jahat kepada budaknya. Maksudnya, orang yang jahat
kepada budaknya, tidak akan masuk surga. Sebaliknya adalah hasan al-malakah.
Hadis menyebut hasan al-malakah dengan namaa’. Yakni orang yang
melakukan peningkatan.
Tamaalak ‘an syay’
itu artinya adalah menguasai atau mengontrol dirinya. Hadis menyebut: Amlik ‘alaik
lisaanak (kontrol lisanmu). Ia tidak punya milaak, berarti ia tidak
bisa mengontrol dirinya. Adam itu disebut makhluk yang tidak yatamaalak.
Pada saat itu dia tidak bisa mengontrol atau mengendalikan dirinya. Orang yang
sembrono, tergesa-gesa, gegabah, dan ceroboh disebut orang yang tidak yatamaalak.
Milaak atau malaak
al-amr adalah intinya urusan dan kemanfaatannya. Disebutkan dalam Al-Tahdzib
bahwa milaak-nya urusan, itu adalah sesuatu yang disandarkan kepadanya. Catat
ini: malaak al-amr atau milaak al-amr (malaak atau milaak-nya
urusan), itu berarti sesuatu yang membuat urusan menjadi kokoh! Maa yaquum
bih.
Maksud saya begini. Milkul yamiin.
Dari kata malaka atau memiliki, saya terkesan bahwa di dalam kata ‘memiliki’,
itu mengandung arti sesuatu yang semakin berkualitas. Dengan kata lain, ketika
seseorang memiliki sesuatu, maka sesuatu yang dimilikinya itu kualitasnya naik.
Semakin bagus. Semakin baik. Semakin meningkat. Orang yang memiliki sesuatu,
sejatinya membuat sesuatu tersebut terawat, terpelihara, terjaga, dan
terlindungi. Bukan malah menjadi turun kualitasnya, semakin buruk, atau semakin
hancur.
Jadi dari pemahaman kosa kata saja,
kita mendapatkan gambaran itu dari kata malaka itu sendiri. Rasanya
begitu juga prinsipnya ketika seseorang memiliki budak. Dari kata malaka
itu, mestinya budak yang dimilikinya semakin baik di semua bidangnya. Ekonomi,
sosial, politik, pendidikan, dan seterusnya. Bukan malah semakin rusak. Seakan-akan
ketika Qur’an menyebut maa makalat aymaanuhum misalnya dalam QS.23.6. Itu
berarti budak yang dijaga, dipelihara, dan dilindungi.
Selanjutnya. Disebutkan dalam Hadis
bahwa milaak agama Islam adalah wara’ (alim, takwa, saleh). Al-milaak
atau al-malaak merupakan pondasi sesuatu, aturan-aturan atau hukumnya,
serta sesuatu yang disandarkan kepadanya. Lagi-lagi di sini, kita menemukan
kesan kata malaka itu artinya hal yang positif. Untuk maksud yang baik.
Ini catat juga. Disebutkan bahwa al-imlaak
itu adalah al-tazwiij. Yakni nikah. Seorang laki-laki yang telah menikah
disebut begini: qod malaka Fulaan yamlik malkan, mulkan, milkan. Juga maksudnya
sama dengan redaksi berikut: Syahidnaa imlaak Fulaan, wa milaakah, wa
malaakah (Kami telah menyaksikan imlaak-nya Fulan). Dua yang
terakhir ini dari Al-Lihyaniy. Yakni akad nikahnya Fulan dengan perempuannya
(istrinya).
Ketika disebutkan, amlakahu
iyaahaa hattaa malakahaa yamlikuhaa mulkan, wa malkan, wa milkan. Yang dimaksud
adalah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Ini dari Al-Lihyaniy.
Begitu juga dengan bentuk kalimat pasifnya. Umlika Fulaan. Yakni Fulan
dinikahkan dengan seorang perempuan. Ini juga dari Al-Lihyaniy. Redaksi berikut
juga sama maksudnya: Wa qod amlaknaa Fulaanan Fulaanah idzaa zawaajnaahu iyaahaa.
Redaksi yang tepat adalah imlaakih. Bukan milaakih.
Disebutkan dalam Hadis: “Siapa yang
menyaksikan milaak-nya seorang Muslim,” sebagaimana dikutip oleh Ibnu
al-Atsir. Menurutnya, al-milaak dan al-imlaak itu adalah al-tazwiij
(perjodohan) dan akad nikah. Menurut Al-Jauhariy, dalam konteks perjodohan ini,
tidak boleh menggunakan redaksi milaak, malak bihaa, dan umlik
bihaa. Redaksi malaktu al-mar’ah, berarti aku telah menikahi
perempuan itu.
Nah. Tiga paragraf terakhir di
atas, jelas-jelas menunjukkan kepada kita. Bahwa dalam konteks perjodohan atau
seks, konotasi kata malaka adalah menikah. Ingat. Bahkan ini baru analisis kosa
katanya. Al-Raghib al-Asfahaniy dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,
sebagaimana yang sudah saya ceritakan, pun mencantumkan makna ini. Analisis ayat-ayat
Qur’annya, juga saya ceritakan. Bahwa dalam konteks milkul yamin, harus
dan wajib menikah dulu sebelum seks dengan budak.
Ketika induk unta diikuti oleh
anaknya, maka induk unta itu disebut milaak-nya. Anak unta itu sudah
mempunyai kekuatan untuk mengikutinya. Ini dari Ibnu al-A’robiy. Malk, milk,
atau mulk-nya jalan, maka itu berarti tengah-tengahnya jalan dan bagian
jalan yang paling lebar. Dan menurut satu pendapat, itu berarti batasnya
(tepinya) jalan. Ini dari Al-Lihyaniy. Begitu juga pengertian malk, milk,
atau mulk-nya lembah. Ini pun dari Al-Lihyaniy.
Muluk al-daabbah (muluk-nya
binatang yang bergerak) adalah sesuatu yang membuatnya tegak dan membuatnya
dapat petunjuk (tahu). Ibnu Sidah berkata, “Aku mempertimbangkan apa yang
diceritakan oleh Al-Lihyaniy dari Al-Kisa’iy dari ucapan Al-A’robiy: Kasihilah
orang tua ini yang tidak punya muluk dan penglihatan. Yakni tidak punya
dua tangan, dua kaki, dan penglihatan. Muluk di sini aslinya untuk
binatang yang bergerak. Kemudian dipakai untuk orang tua sebagai majas (isti’arah).
Selanjutnya Ibnu Manzhur dari kata malaka
ini bercerita tentang nama suatu komunitas masyarakat, malaikat, nama-nama orang,
julukan, dan seterusnya.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Waloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar