Sabtu, 12 Oktober 2019

MELACAK HUKUM PEZINA


—Saiful Islam—

“Ternyata, hukum mati rajam, itu tidak ada dalam Qur’an…”

Anggap saja ini sebagai catatan pribadi saya. Ketika menelusuri ayat-ayat Qur’an tentang zina kemarin, jujur saya sempat tercekat. Terutama yang terkait dengan hukuman bagi orang yang telah berzina. Ternyata, hukum rajam, itu tidak ada di dalam Qur’an! Sekali lagi, ini inspirasi saya pribadi. Bisa saja ini baru kesimpulan sementara. Sangat bisa jadi bisa berubah ke depannya.

Pertama, saya terkesan bahwa pelaku zina itu dibagi menjadi dua. Yaitu zina secara umum. Yakni zina yang dilakukan oleh para perempuan yang belum menikah. Ini hukumannya adalah cambuk seratus kali. Berikut ini ayatnya.

*QS. Al-Nisa’[4]: 16*
وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا ۖ فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji (zina) di antara kamu, MAKA BERILAH HUKUMAN KEPADA KEDUANYA. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Kata ganti ‘nya’ (dhomir haa), itu adalah faahisyah. Yakni perbuatan keji. Alias berzina. Ini diketahui dari ayat sebelumnya (QS.4:15). Pada QS.4:16 ini hanya disebutkan bahwa sepasang laki-laki dan perempuan yang belum memiliki suami dan istri, jika keduanya berzina, maka harus dihukum.

Adapun teknis hukumannya ada pada ayat di bawah ini. Yakni seratus kali cambuk. Juga, hukuman cambuk ini harus diviralkan. Sebagaimana diceritakan dalam ayat berikut. Agaknya supaya semua masyarakat tahu dan lantas sadar hukum. Bahwa tidak boleh sembarangan melakukan seks.

*QS. Al-Nur[24]: 2*
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka DERALAH TIAP-TIAP SEORANG DARI KEDUANYA SERATUS DALI DERA. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Kedua, adalah zina yang dilakukan perempuan yang telah bersuami. Yang memang sudah terbukti jelas-jelas berzina dengan disaksikan oleh empat orang sekaligus. Semacam sudah viral zinanya itu. Ini hukumannya bisa hukuman mati. Yaitu dikurung di dalam rumah. Semacam dipenjara sampai mati. Sebagaimana diceritakan di ayat berikut.

*QS. Al-Nisa’[4]: 15*
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
Dan (terhadap) para perempuan (istri-istri kalian) yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada EMPAT ORANG SAKSI diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (para perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.

Kalau tidak dihukum kurung sampai mati itu, mungkin karena konteks tertentu, perempuan tersebut bisa tidak dihukum mati. “Atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya,” begitu kata ayat ini. Artinya, hukuman mati tersebut bukan hukum satu-satunya untuk pezina yang telah bersuami itu. Hakim mesti bijak memutuskan hukum. Harus dilihat konteksnya dulu. Salah mengampuni lebih baik daripada salah menghukum.

Yang jelas, perempuan yang sudah punya istri sah, kemudian dia seks dengan laki-laki lain, hukumannya amat sangat berat. Agaknya itu cara Qur’an menjaga sebuah keluarga yang memang merupakan institusi amat sangat penting. Bahkan menurut kita di zaman milenial ini.

Saya menyimpulkan bahwa QS.4:14 ini berbicara tentang perempuan yang sudah bersuami, indikasinya dua. Pertama ada kalimat, ‘dari para perempuan kalian’. Yakni perempuan ‘milik’ kalian. Yaitu istri. Alias perempuan yang sudah melakukan akad nikah dengan kalian. Indikasi keduanya adalah empat saksi. Dan empat saksi ini memang khusus zina yang dilakukan al-muhshonaat (QS.24:4). Yakni perempuan baik-baik. Alias istri/zawj (QS.24:6).

Maka mafhum mukhalafah-nya juga begitu. Berlaku bagi laki-laki yang berzina. Jika laki-laki lajang berzina dengan istri orang, maka hukumannya adalah cambuk seratus kali. Jika laki-laki itu sudah punya istri, maka dihukum kurung sampai mati. Atau sama, karena konteks tertentu, bisa jadi tidak dihukum mati.

Dan tentu saja. Teknis hukuman bagi orang yang berzina tersebut, berbeda dengan hukum di Indonesia. Sebab memang, teknis hukum di Indonesia ini, secara tekstual tidak mengambil dari Qur’an.

Catatan berikutnya adalah soal riwayat. Bahwa pernah seorang perempuan hamil datang kepada Nabi untuk minta rajam. Perempuan itu mengaku telah berzina. Perempuan ini tidak langsung dirajam oleh Nabi. Tapi disuruh mengasuh dulu anaknya sampai anak tersebut bisa makan sendiri. Barulah perempuan tersebut akhirnya dirajam.

Terus terang saja, saya sulit menerima riwayat tersebut. Di samping secara teks, hukum rajam ini memang tidak ada dalam Qur’an. Juga secara akal sehat, cerita ini bertentangan dengan nurani. Bukan hanya itu, riwayat itu juga bertentangan dengan sifat global Nabi yang sangat welas asih dan amat bijak.

Coba kalian bayangkan. Anak baru bisa makan sendiri. Saya perkirakan umur 3 tahun. Kemudian ibunya dirajam sampai mati. Jadilah bocah mungil itu yatim. Tidak lagi mendapat kasih sayang dari ibunya. Kasih sayang itu telah putus untuk selamanya. Tidak akan ada lagi belai lembut penuh kasih yang tulus dari ibunya langsung. Bocah ini kehilangan energi cinta kasih dan sayang dari ibunya langsung yang amat sangat penting.

Saya hanya berpesan: kita mesti ekstra hati-hati membuat kesimpulan dari riwayat yang ternyata riwayat itu tidak ada cantolannya di Qur’an. Apalagi soal urusan yang amat sangat penting. Penulis sejarah Nabi pertama, Ibnu Ishaq (w. 768 M). Sedangkan Imam Abu Hanifah (w. 767 M), Imam Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (820 M), Imam Ahmad (w. 855 M). Imam Bukhari pun wafat tahun 870 M. Sedangkan Imam Muslim (w. 875 M). Bandingkan dengan wafatnya Nabi SAW yang tahun 632 M.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...