—Saiful Islam—
“Ternyata, hukum mati rajam, itu
tidak ada dalam Qur’an…”
Anggap saja ini sebagai catatan
pribadi saya. Ketika menelusuri ayat-ayat Qur’an tentang zina kemarin, jujur
saya sempat tercekat. Terutama yang terkait dengan hukuman bagi orang yang
telah berzina. Ternyata, hukum rajam, itu tidak ada di dalam Qur’an! Sekali lagi,
ini inspirasi saya pribadi. Bisa saja ini baru kesimpulan sementara. Sangat bisa
jadi bisa berubah ke depannya.
Pertama, saya
terkesan bahwa pelaku zina itu dibagi menjadi dua. Yaitu zina secara umum. Yakni
zina yang dilakukan oleh para perempuan yang belum menikah. Ini hukumannya
adalah cambuk seratus kali. Berikut ini ayatnya.
*QS. Al-Nisa’[4]: 16*
وَاللَّذَانِ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا ۖ فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji (zina) di antara kamu, MAKA BERILAH HUKUMAN KEPADA
KEDUANYA. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Kata ganti ‘nya’ (dhomir haa),
itu adalah faahisyah. Yakni perbuatan keji. Alias berzina. Ini diketahui
dari ayat sebelumnya (QS.4:15). Pada QS.4:16 ini hanya disebutkan bahwa
sepasang laki-laki dan perempuan yang belum memiliki suami dan istri, jika
keduanya berzina, maka harus dihukum.
Adapun teknis hukumannya ada pada
ayat di bawah ini. Yakni seratus kali cambuk. Juga, hukuman cambuk ini harus
diviralkan. Sebagaimana diceritakan dalam ayat berikut. Agaknya supaya semua
masyarakat tahu dan lantas sadar hukum. Bahwa tidak boleh sembarangan melakukan
seks.
*QS. Al-Nur[24]: 2*
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي
دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka DERALAH TIAP-TIAP SEORANG DARI KEDUANYA SERATUS
DALI DERA. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat.
Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.
Kedua, adalah zina
yang dilakukan perempuan yang telah bersuami. Yang memang sudah terbukti jelas-jelas
berzina dengan disaksikan oleh empat orang sekaligus. Semacam sudah viral
zinanya itu. Ini hukumannya bisa hukuman mati. Yaitu dikurung di dalam rumah. Semacam
dipenjara sampai mati. Sebagaimana diceritakan di ayat berikut.
*QS. Al-Nisa’[4]: 15*
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ
الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي
الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا
Dan (terhadap) para perempuan
(istri-istri kalian) yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada EMPAT
ORANG SAKSI diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (para perempuan itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Kalau tidak dihukum kurung sampai
mati itu, mungkin karena konteks tertentu, perempuan tersebut bisa tidak
dihukum mati. “Atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya,” begitu kata
ayat ini. Artinya, hukuman mati tersebut bukan hukum satu-satunya untuk pezina
yang telah bersuami itu. Hakim mesti bijak memutuskan hukum. Harus dilihat
konteksnya dulu. Salah mengampuni lebih baik daripada salah menghukum.
Yang jelas, perempuan yang sudah
punya istri sah, kemudian dia seks dengan laki-laki lain, hukumannya amat sangat
berat. Agaknya itu cara Qur’an menjaga sebuah keluarga yang memang merupakan
institusi amat sangat penting. Bahkan menurut kita di zaman milenial ini.
Saya menyimpulkan bahwa QS.4:14 ini
berbicara tentang perempuan yang sudah bersuami, indikasinya dua. Pertama ada
kalimat, ‘dari para perempuan kalian’. Yakni perempuan ‘milik’ kalian. Yaitu
istri. Alias perempuan yang sudah melakukan akad nikah dengan kalian. Indikasi
keduanya adalah empat saksi. Dan empat saksi ini memang khusus zina yang
dilakukan al-muhshonaat (QS.24:4). Yakni perempuan baik-baik. Alias istri/zawj
(QS.24:6).
Maka mafhum mukhalafah-nya
juga begitu. Berlaku bagi laki-laki yang berzina. Jika laki-laki lajang berzina
dengan istri orang, maka hukumannya adalah cambuk seratus kali. Jika laki-laki
itu sudah punya istri, maka dihukum kurung sampai mati. Atau sama, karena
konteks tertentu, bisa jadi tidak dihukum mati.
Dan tentu saja. Teknis hukuman bagi
orang yang berzina tersebut, berbeda dengan hukum di Indonesia. Sebab memang,
teknis hukum di Indonesia ini, secara tekstual tidak mengambil dari Qur’an.
Catatan berikutnya adalah soal
riwayat. Bahwa pernah seorang perempuan hamil datang kepada Nabi untuk minta
rajam. Perempuan itu mengaku telah berzina. Perempuan ini tidak langsung
dirajam oleh Nabi. Tapi disuruh mengasuh dulu anaknya sampai anak tersebut bisa
makan sendiri. Barulah perempuan tersebut akhirnya dirajam.
Terus terang saja, saya sulit
menerima riwayat tersebut. Di samping secara teks, hukum rajam ini memang tidak
ada dalam Qur’an. Juga secara akal sehat, cerita ini bertentangan dengan
nurani. Bukan hanya itu, riwayat itu juga bertentangan dengan sifat global Nabi
yang sangat welas asih dan amat bijak.
Coba kalian bayangkan. Anak baru
bisa makan sendiri. Saya perkirakan umur 3 tahun. Kemudian ibunya dirajam
sampai mati. Jadilah bocah mungil itu yatim. Tidak lagi mendapat kasih sayang
dari ibunya. Kasih sayang itu telah putus untuk selamanya. Tidak akan ada lagi
belai lembut penuh kasih yang tulus dari ibunya langsung. Bocah ini kehilangan
energi cinta kasih dan sayang dari ibunya langsung yang amat sangat penting.
Saya hanya berpesan: kita mesti
ekstra hati-hati membuat kesimpulan dari riwayat yang ternyata riwayat itu
tidak ada cantolannya di Qur’an. Apalagi soal urusan yang amat sangat penting. Penulis
sejarah Nabi pertama, Ibnu Ishaq (w. 768 M). Sedangkan Imam Abu Hanifah (w. 767
M), Imam Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (820 M), Imam Ahmad (w. 855 M). Imam
Bukhari pun wafat tahun 870 M. Sedangkan Imam Muslim (w. 875 M). Bandingkan
dengan wafatnya Nabi SAW yang tahun 632 M.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar