—Saiful Islam—
“Tidak sedikit laki-laki saleh yang
punya prinsip dalam hidupnya. Yang bisa mengendalikan nafsu kebinatangannya
dengan Qur’an dan akal sehat...”
Kali ini saya akan bercerita
tentang dampak logis seks di luar nikah.
Tidak ada jaminan akan menikah.
Beberapa perempuan mengira bahwa seks sebelum menikah agar membuat hubungannya
dengan pasangannya itu semakin komitmen. Berlanjut ke jenjang pernikahan.
Mereka menduga seks adalah cara untuk mengikat pasangannya supaya tidak mencari
perempuan lain. Supaya si laki-laki lebih dan semakin fokus pada dirinya.
Sejatinya itu anggapan salah.
Dugaan keliru. Tidak ada jaminan si laki-laki akan bertanggung jawab. Sudah
saya ceritakan sebelumnya. Bahwa pada dasarnya, semua laki-laki itu
menginginkan lebih dari partner seks. Alias banyak perempuan tak terbatas untuk
melampiaskan hasrat seks yang dipengaruhi oleh hormon testoteron yang melimpah
itu.
Kalau masih pacaran yang tanpa
ikatan apa-apa saja, si laki-laki mudah dan berani melakukan seks dengan
perempuan, maka sangat berpotensi dia juga akan gampangan seks dengan perempuan
lain. Nah, di antara banyak parner seksnya itu, tentu saja ketika dia
memutuskan menikah dengan satu di antara mereka, pastinya akan banyak perempuan
mantan parner seksnya yang menjadi korban.
Kalaupun kemudian menikah, tentu
saja sangat besar kemungkinannya dia akan melampiaskan hasrat seksualnya kepada
perempuan lain. Mungkin yang secara fisik, lebih menggitar spanyol, lebih muda,
lebih segar, lebih enerjik, dan lebih simbol-simbol lain yang membuat perempuan
disebut cantik. Meski pun di rumah sudah punya istri. Alangkah rapuhnya
hubungan yang demikian. Pastilah tidak ada itu yang namanya kesetiaan yang
sakral.
Kalau laki-laki membangun hubungan
hanya karena seks, saya kira itu banyak. Manusiawi hampir semua laki-laki
seperti itu. Kalau saja tidak ada aturan agama dan negara, pokoknya laki-laki
itu hanyalah pejantan. Tak ada bedanya dengan kucing. Namun, rasanya ini tidak
bagi perempuan. Saya kira semua perempuan mendambakan memiliki suami yang
satu-satunya untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Bersama anak-anak yang
lucu-lucu yang penuh cinta, kasih, dan sayang.
Kalau pun ada perempuan yang mau
seks dengan banyak laki-laki, biasanya itu adalah perempuan yang lemah. Baik
secara ekonomi, dan terutama secara pendidikan dan moral. Lantas dia menyerah.
Menjual dirinya. Dengan uang receh. Nilai-nilai kemanusiaannya menjadi sangat
rendah. Murahan. Karena memang bisa dibeli dengan uang. Layaknya barang. Setiap
laki-laki yang mau dan mampu membayar, bisa menikmatinya. Pastinya hidupnya
akan banyak problem nantinya.
Menikah terlalu muda. Si perempuan
hamil. Kemudian keluarga menuntut si laki-laki. Maka si laki-laki ini pasti
merasa terpaksa menikahinya. Karena takut dipenjara. Jadi bukan berdasar cinta
dan kesadaran. Terjadilah nikah terlalu dini. Padahal urusan rumah tangga itu,
bukan hanya urusan seks.
Tujuan nikah memang bukan hanya
seks. Bahkan seks itu bagian kecil dari sebuah rumah tangga. Yang lebih berat
dari pernikahan itu adalah tanggung jawab. Baik laki-lakinya, maupun
perempuannya. Misalnya tanggung jawab mencari nafkah bagi yang laki-laki.
Tanggung jawab merawat dan mendidik anak-anak. Tanggung jawab merawat tempat
tinggal. Dan lain seterusnya.
Bisa dibayangkan kalau baik
laki-lakinya maupun perempuannya masih di bawah 18 tahun misalnya. Belum matang
untuk semuanya. Terutama psikologisnya. Masih ABG labil (ababil). Rentan
bercerai. Dan mengalami masalah-masalah sosial yang lain. Meskipun secara fisik
mungkin kebetulan bongsor. Sudah besar. Namun yang lebih menentukan
langgeng dan broken-nya pernikahan, itu saya rasa adalah faktor
emosional, intelektual, dan spiritualnya.
Sangat beresiko tertular penyakit
HIV/AIDS. Ini adalah virus mematikan yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia. Penularannya paling cepat melalui hubungan kelamin—yakni seks, jarum
suntik yang tak steril, dan air susu ibu (ASI). Saya pernah mewawancari
langsung suami istri yang dua-duanya positif HIV/AIDS ini. Saya selidiki dengan
beberapa pertanyaan, ternyata si suami mengaku memang suka beli PSK. Padahal di
rumah sudah ada istri yang cantik. Akhirnya istrinya pun tertimpa nasib
sial—yaitu tertular HIV/AIDS juga dari suaminya itu.
Jadi, seks bebas itu akan
menguatkan rantai penularan penyakit HIV/AIDS. Bentuknya bukan hanya berupa
prostitusi. Tapi juga bisa perkosaan, suka sama suka seperti pacaran,
perselingkuhan, sex party, dan lain semisalnya.
Melahirkan anak yang tak
diinginkan. Sepasang laki-laki yang seks di luar nikah. Sangat bisa jadi,
setelah seks itu si perempuan hamil. Tentu saja, kehamilan itu tidak dikehendaki
oleh keduanya. Atau salah satunya. Karena takut seks di luar nikah itu
diketahui oleh keluarga, saudara, tetangga, sampai teman-temannya. Panik.
Akhirnya aborsi. Alias membunuh bayinya. Ini bukan hanya dikritik oleh Qur’an,
bahkan naluri manusiawi saja, itu pasti sudah paham bahwa membunuh anak tanpa
dosa itu adalah perbuatan yang jelas-jelas salah. Kriminal menurut kaca mata
hukum. Keduanya bisa menghabiskan sebagian umurnya di dalam penjara.
Ketergantungan secara emosional.
Seks memang akan membuat seseorang—terutama perempuan menjadi ketergantungan
secara emosional kepada pasangannya. Bagi perempuan, pengalaman berhubungan
intim dengan seorang laki-laki yang awalnya karena cinta, akan selalu
menghantui pikirannya. Waktu pelajaran, ingat dia. Waktu bekerja, ingat dia.
Apalagi waktu sendiri. Dengan kata lain, ini akan membuat perempuan itu tidak
fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Konsentrasinya pecah. Pekerjaan dan
hidupnya amburadul.
Belum lagi, hubungan seks di luar
nikah itu akan membuat seseorang kecanduan. Setiap kali bertemu dengan
pacarnya, yang diingat pasti seks. Tidak afdhol rasanya kalau tidak seks.
Terutama si laki-lakinya. Karena memang sekali lagi. Manusia itu adalah
binatang yang berakal. Jika akalnya tidak digunakan, maka terutama pejantan,
akan dikendalikan oleh hormon testoteronnya itu. Id-nya istilah Freud. Dia
bisa melampiaskan hasrat seksnya itu kapan saja. Sewaktu-waktu ada kesempatan,
langsung beraksi.
Gampang curiga dan khawatir pada
pasangan. Bukan hanya sebelum menikah. Bahkan kalau pasangan yang seks di luar
nikah, itu pun lantas sampai menikah dengan alasan apa pun. Sebab, baik
laki-lakinya, maupun perempuannya sudah sama-sama tahu. Bahwa pasangannya itu
tidak punya prinsip apa pun sehingga bisa saja dan mau saja berhubungan seks
tanpa ikatan pernikahan. Memang. Orang kalau sudah gampangan seks sebelum
menikah, pasti dia juga akan gampangan seks dengan orang lain, meskipun di
rumah sudah ada istri.
Pastinya ketika suami bekerja di
luar rumah misalnya. Si suami curiga dan khawatir, “Jangan-jangan istriku
digoda laki-laki lain di rumah.” Atau si istri membayangkan, “Jangan-jangan
suamiku tertarik dengan teman kantornya.”
Bila putus, merasa bersalah dan
takut. Terutama bagi perempuannya. Wajar kalau ternyata putus, perempuan ini
merasa bersalah dan takut. Sebab memang. Tidak sedikit laki-laki saleh yang
punya prinsip dalam hidupnya. Yang menjaga kesuciannya. Yang bisa mengendalikan
nafsu kebinatangannya dengan Qur’an dan akal sehat. Yang hanya mau seks dengan
pasangan halalnya setelah akad nikah.
Tentu saja, perempuan tadi akan
merasa takut tidak laku menikah dengan laki-laki baik yang memang bertanggung
jawab. Ia juga akan merasa bersalah kalau ternyata bersuami laki-laki yang
baik, yang setelah menikah ternyata laki-laki ini tahu bahwa istrinya sudah second.
Tentu saja, hubungannya dengan laki-laki yang saleh itu sangat rentan bercerai.
Entah karena kecewa atau karena yang lain. Apalagi belum memiliki keturunan.
Jadi kesimpulannya, seks di luar
nikah atau seks bebas, menurut sunnatullah, itu berdampak buruk dan merugikan.
Baik secara personal. Yakni mudarat fisik dan pskisis. Maupun secara sosial. Yakni
merusak rumah tangga orang lain. Serta istri/suami dan anak-anak yang menjadi
korban. Jika dibiarkan, masyakarat luaslah yang pada akhirnya ikut menjadi
korban. Maka sebaiknya kita jaga bersama. Kita peduli.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar