Kamis, 24 Oktober 2019

MENGINTIP KELUARGA ARAB


—Saiful Islam—

“Peradaban kota masyarakat Arab abad 7 M, itu masih kalah dibanding peradaban desa masyarakat milenial abad 21 M…”

Tidak bisa dipungkiri. Bahwa keluarga itu adalah institusi yang amat sangat penting. Bukan hanya bagi masyarakat Arab pra Qur’an. Atau era Qur’an awal. Bahkan masyarakat milenial di abad 21 M ini pun merasakan betul peran sentral institusi yang bernama keluarga ini. Saya pun berkali-kali menyebutnya bahwa membina keluarga yang kokoh adalah tujuan utama nikah itu sendiri. Ihshoon.

Ya. Bagi masyarakat Arab itu, keluarga memang menjadi sebuah institusi penting. Setiap pribadi akan terikat di dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab memelihara keutuhan dan kehormatan keluarga. Perlakuan tidak sopan terhadap seorang gadis dalam satu keluarga, bukan hanya menjadi aib bagi yang bersangkutan. Tetapi juga merupakan aib bagi bapak, saudara, dan keluarga secara keseluruhan.

Sejarah mengenal tiga bentuk dasar keluarga. Yaitu keluarga inti atau keluarga batih. Ini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, serta anak-anak mereka. Satu keluarga. Kedua, keluarga besar. Yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari keluarga batih tadi. Ketiga, disebut persekutuan kelompok keturunan. Ini mencakup sejumlah besar individu dalam suatu lingkungan kekerabatan.

Lantas bagaimana sistem kekerabatan bangsa Arab menjelang atau sesaat turunnya Qur’an? Ada lima bentuk. Yaitu kabilah, subkabilah, suku, keluarga besar, dan keluarga inti atau keluarga batih tadi. Meskipun kelima bentuk keluarga ini ditemukan di daerah tertentu di Jazirah Arab, tapi tidak benar-benar sama. Itu disebabkan oleh watak dasar orang-orang Arab yang memang berpindah-pindah. Nomaden.

Posisi laki-laki dalam lima kelompok masyarakat itu tetap sangat penting. Semua kebijakan berada di tangan laki-laki. Baik dalam keluarga kecil atau keluarga batih, sampai pada lingkungan kelompok besar. Saat itu posisi perempuan memang masih subordinatif. Semacam kaum kelas dua. Para laki-laki bertindak sebagai pemimpin di setiap kelompok itu.

Dalam konteks seperti itulah Qur’an Surat Al-Nisa’[4] ayat 34 turun. Bahwa dalam keluarga laki-laki itu biasanya lebih unggul dari perempuan. Tapi itu karena kelebihan laki-laki. Serta sistem sosial yang membuat laki-laki lebih memiliki akses sosial, ekonomi dan politik. Juga karena laki-laki memberi nafkah kepada perempuan atau istrinya. Dan tentu saja, pemaknaan seperti ini, untuk fenomena sosial saat itu.

Untuk sekarang di Indonesia, pemaknaannya bisa berkembang. Fleksibel. Mengingat keadaan, waktu dan tempatnya (ketupat) yang berbeda. Sistem sosial, pendidikan, ekonomi, dan politiknya juga berubah. Kehidupan masyarakat itu juga selalu dinamis. Sekarang, sangat memungkinkan perempuan itu sederajat dengan laki-laki. Atau malah lebih unggul. Misalnya karena pendidikannya yang bisa lebih tinggi dari laki-laki. Akses kehidupanya pun menjadi bisa lebih luas juga.

Soal nafkah, pendapatan perempuan juga bisa lebih besar dari laki-laki. Sebab di sini sekarang, peluang karir, bisnis, dan sumber-sumber ekonomi yang lain, itu sama antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah konsekuensi persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk mengakses informasi. Mengakses pendidikan. Pekerjaan, bisnis. Dan lain semisalnya. Bahkan perempuan, atas kerelaannya dan kompetensinya, bisa menggugurkan kewajiban nafkah suaminya (QS.4:24).

Kelompok masyarakat yang tradisional, seperti kabilah dan subkabilah, biasanya menghuni daerah padang pasir atau pegunungan. Semacam masyarakat desa. Pola hidup mereka masih sangat sederhana. Sebagaimana budaya dan perabadannya. Biasanya mereka tidak tinggal secara permanen. Kalau musim dingin, mereka tinggal di sekitar padang pasir atau pegunungan. Dan jika panas, mereka berpindah ke lokasi yang lebih sesuai.

Sedangkan kelompok masyarakat yang lebih berkembang, biasanya tinggal di lokasi-lokasi subur dan strategis. Ini semacam kota pada saat itu. Seperti daerah pantai, pinggiran sungai, sekitar oasis, atau daerah yang curah hujannya cukup. Biasanya, mereka akan tinggal menetap di sini. Dibanding kelompok nomaden, budaya dan peradaban masyarakat di lokasi subur ini lebih berkembang.

Sistem kekerabatan masyarakat kota, atau yang tinggal di wilayah pantai timur dan selatan serta daerah subur lainnya, lebih kepada keluarga batih. Sedangkan mereka yang hidup di daerah pedesaan tadi, lebih menerapkan keluarga luas.

Saat itu. Umumnya masyarakat Timur Tengah, bangsa Arab menganut sistem patriarki. Yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Sosok bapak memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.

Bapak atau suami lah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga. Karenanya, bapak dan kaum laki-laki umumnya memperoleh hak istimewa. Ini sebagai akibat dari tanggung jawab mereka yang begitu besar. Nama julukan anak-anak biasanya diambil dari nama bapaknya.

Dalam tradisi masyarakat Arab, pembagian peran kerja sudah terpola dengan jelas. Dalam masyarakat patriarki, peran laki-laki memang porsinya lebih besar. Yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, adalah para laki-laki. Sedangkan peran kaum perempuannya adalah dalam urusan reproduksi. Seperti memelihara anak serta menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga.

Sistem kekerabatan bangsa Arab adalah patrilineal. Yaitu menarik garis keturunan dari pihak bapak atau laki-laki. Asal-usul garis keturunan bangsa Arab itu bisa dilacak sampai ke nenak moyangnya paling tua. Biasanya menggunakan kata ‘bin’ (anak laki-lakinya). Misalnya E bin D bin C bin B bin A. Ini adalah salah satu kekhususan masyarakat Arab untuk memelihara keutuhan dan eksistensi garis keturunan. Meskipun sering ditemukan kekeliruan dan rekayasa dalam silsilah itu.

Sebagaimana pada masyarakat patriarki umumnya, perempuan tidak pernah dicantumkan sebagai nama marga atau nasab. Tidak peduli betapa hebatnya perempuan itu. Martabat sosial seseorang diukur dari garis keturunan bapaknya. Meskipun seorang putri, kalau ia adalah anak seorang tokoh, maka gadis itu dianggap berkelas. Karenanya putri bangsawan, itu jarang menikah dengan laki-laki biasa.

Untuk melestarikan status sosial seperti itu, maka berlakulah konsep kesetaraan. Kafa’ah istilahnya. Kita sering menyebutnya, sekufu’. Seorang laki-laki dari golongan mawali atau golongan budak dilarang menikah dengan seorang perempuan bangsawan. Alasannya, karena akan menurunkan derajat keturunan. Tapi sebaliknya kalau laki-laki keturunan bangsawan. Ia bebas menikahi semua jenis perempuan. Biasanya memang lebih dari satu. Alias poligami. Sebelum Qur’an turun, jumlah istri orang Arab itu memang bisa tak terbatas. Unlimited.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...