—Saiful Islam—
“Peradaban kota masyarakat Arab
abad 7 M, itu masih kalah dibanding peradaban desa masyarakat milenial abad 21
M…”
Tidak bisa dipungkiri. Bahwa keluarga
itu adalah institusi yang amat sangat penting. Bukan hanya bagi masyarakat Arab
pra Qur’an. Atau era Qur’an awal. Bahkan masyarakat milenial di abad 21 M ini
pun merasakan betul peran sentral institusi yang bernama keluarga ini. Saya pun
berkali-kali menyebutnya bahwa membina keluarga yang kokoh adalah tujuan utama
nikah itu sendiri. Ihshoon.
Ya. Bagi masyarakat Arab itu,
keluarga memang menjadi sebuah institusi penting. Setiap pribadi akan terikat
di dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab memelihara
keutuhan dan kehormatan keluarga. Perlakuan tidak sopan terhadap seorang gadis
dalam satu keluarga, bukan hanya menjadi aib bagi yang bersangkutan. Tetapi juga
merupakan aib bagi bapak, saudara, dan keluarga secara keseluruhan.
Sejarah mengenal tiga bentuk dasar
keluarga. Yaitu keluarga inti atau keluarga batih. Ini adalah sebuah keluarga
yang terdiri dari suami, istri, serta anak-anak mereka. Satu keluarga. Kedua,
keluarga besar. Yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari keluarga batih tadi. Ketiga,
disebut persekutuan kelompok keturunan. Ini mencakup sejumlah besar individu
dalam suatu lingkungan kekerabatan.
Lantas bagaimana sistem kekerabatan
bangsa Arab menjelang atau sesaat turunnya Qur’an? Ada lima bentuk. Yaitu
kabilah, subkabilah, suku, keluarga besar, dan keluarga inti atau keluarga
batih tadi. Meskipun kelima bentuk keluarga ini ditemukan di daerah tertentu di
Jazirah Arab, tapi tidak benar-benar sama. Itu disebabkan oleh watak dasar
orang-orang Arab yang memang berpindah-pindah. Nomaden.
Posisi laki-laki dalam lima
kelompok masyarakat itu tetap sangat penting. Semua kebijakan berada di tangan
laki-laki. Baik dalam keluarga kecil atau keluarga batih, sampai pada
lingkungan kelompok besar. Saat itu posisi perempuan memang masih subordinatif.
Semacam kaum kelas dua. Para laki-laki bertindak sebagai pemimpin di setiap
kelompok itu.
Dalam konteks seperti itulah Qur’an
Surat Al-Nisa’[4] ayat 34 turun. Bahwa dalam keluarga laki-laki itu biasanya
lebih unggul dari perempuan. Tapi itu karena kelebihan laki-laki. Serta sistem
sosial yang membuat laki-laki lebih memiliki akses sosial, ekonomi dan politik.
Juga karena laki-laki memberi nafkah kepada perempuan atau istrinya. Dan tentu
saja, pemaknaan seperti ini, untuk fenomena sosial saat itu.
Untuk sekarang di Indonesia,
pemaknaannya bisa berkembang. Fleksibel. Mengingat keadaan, waktu dan tempatnya
(ketupat) yang berbeda. Sistem sosial, pendidikan, ekonomi, dan politiknya juga
berubah. Kehidupan masyarakat itu juga selalu dinamis. Sekarang, sangat
memungkinkan perempuan itu sederajat dengan laki-laki. Atau malah lebih unggul.
Misalnya karena pendidikannya yang bisa lebih tinggi dari laki-laki. Akses kehidupanya
pun menjadi bisa lebih luas juga.
Soal nafkah, pendapatan perempuan
juga bisa lebih besar dari laki-laki. Sebab di sini sekarang, peluang karir,
bisnis, dan sumber-sumber ekonomi yang lain, itu sama antara laki-laki dan
perempuan. Ini adalah konsekuensi persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk
mengakses informasi. Mengakses pendidikan. Pekerjaan, bisnis. Dan lain
semisalnya. Bahkan perempuan, atas kerelaannya dan kompetensinya, bisa
menggugurkan kewajiban nafkah suaminya (QS.4:24).
Kelompok masyarakat yang
tradisional, seperti kabilah dan subkabilah, biasanya menghuni daerah padang
pasir atau pegunungan. Semacam masyarakat desa. Pola hidup mereka masih sangat
sederhana. Sebagaimana budaya dan perabadannya. Biasanya mereka tidak tinggal
secara permanen. Kalau musim dingin, mereka tinggal di sekitar padang pasir
atau pegunungan. Dan jika panas, mereka berpindah ke lokasi yang lebih sesuai.
Sedangkan kelompok masyarakat yang
lebih berkembang, biasanya tinggal di lokasi-lokasi subur dan strategis. Ini semacam
kota pada saat itu. Seperti daerah pantai, pinggiran sungai, sekitar oasis,
atau daerah yang curah hujannya cukup. Biasanya, mereka akan tinggal menetap di
sini. Dibanding kelompok nomaden, budaya dan peradaban masyarakat di lokasi
subur ini lebih berkembang.
Sistem kekerabatan masyarakat kota,
atau yang tinggal di wilayah pantai timur dan selatan serta daerah subur lainnya,
lebih kepada keluarga batih. Sedangkan mereka yang hidup di daerah pedesaan
tadi, lebih menerapkan keluarga luas.
Saat itu. Umumnya masyarakat Timur
Tengah, bangsa Arab menganut sistem patriarki. Yaitu sebuah sistem sosial yang
menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam
peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Sosok bapak memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.
Bapak atau suami lah yang
bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan
keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga. Karenanya,
bapak dan kaum laki-laki umumnya memperoleh hak istimewa. Ini sebagai akibat
dari tanggung jawab mereka yang begitu besar. Nama julukan anak-anak biasanya
diambil dari nama bapaknya.
Dalam tradisi masyarakat Arab,
pembagian peran kerja sudah terpola dengan jelas. Dalam masyarakat patriarki,
peran laki-laki memang porsinya lebih besar. Yang berperan mencari nafkah dan
melindungi keluarga, adalah para laki-laki. Sedangkan peran kaum perempuannya
adalah dalam urusan reproduksi. Seperti memelihara anak serta menyiapkan
makanan untuk seluruh anggota keluarga.
Sistem kekerabatan bangsa Arab
adalah patrilineal. Yaitu menarik garis keturunan dari pihak bapak atau
laki-laki. Asal-usul garis keturunan bangsa Arab itu bisa dilacak sampai ke nenak
moyangnya paling tua. Biasanya menggunakan kata ‘bin’ (anak laki-lakinya). Misalnya
E bin D bin C bin B bin A. Ini adalah salah satu kekhususan masyarakat Arab
untuk memelihara keutuhan dan eksistensi garis keturunan. Meskipun sering
ditemukan kekeliruan dan rekayasa dalam silsilah itu.
Sebagaimana pada masyarakat
patriarki umumnya, perempuan tidak pernah dicantumkan sebagai nama marga atau
nasab. Tidak peduli betapa hebatnya perempuan itu. Martabat sosial seseorang
diukur dari garis keturunan bapaknya. Meskipun seorang putri, kalau ia adalah
anak seorang tokoh, maka gadis itu dianggap berkelas. Karenanya putri
bangsawan, itu jarang menikah dengan laki-laki biasa.
Untuk melestarikan status sosial
seperti itu, maka berlakulah konsep kesetaraan. Kafa’ah istilahnya. Kita
sering menyebutnya, sekufu’. Seorang laki-laki dari golongan mawali atau
golongan budak dilarang menikah dengan seorang perempuan bangsawan. Alasannya,
karena akan menurunkan derajat keturunan. Tapi sebaliknya kalau laki-laki
keturunan bangsawan. Ia bebas menikahi semua jenis perempuan. Biasanya memang
lebih dari satu. Alias poligami. Sebelum Qur’an turun, jumlah istri orang Arab
itu memang bisa tak terbatas. Unlimited.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar