“DAN
KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL DI ANTARA ISTERI-ISTERI(MU),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…”
Marilah
kita simak terus tema yang diangkat ayat-ayat tersebut. Supaya dapat gambaran
lebih utuh sekaligus penegasan maknanya.
QS.
An Nisa’[4]: 4-6
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah
MASKAWIN (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai POKOK
KEHIDUPAN. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
وَابْتَلُوا
الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ
رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا
إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ
وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ
حَسِيبًا
Dan
UJILAH ANAK YATIM itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. DAN JANGANLAH KAMU MAKAN HARTA ANAK
YATIM lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Nah. Ternyata ayat yang
sering dijadikan dasar untuk melakukan poligami itu adalah ayat-ayat
perlindungan kepada anak-anak yatim. Juga supaya mengangkat martabat
budak-budak wanita yang teraniaya sebagai isteri (QS.4:3).
Sampai
di ayat 6 pun, Allah masih fokus berbicara tentang perlindungan kepada
anak-anak yatim itu. Utamanya terkait dengan harta dan nafkah mereka. Di
antaranya berbentuk pemberian suami berupa mas kawin (mahar). Dan selebihnya
adalah harta peninggalan orang tua mereka yang tidak boleh diambil secara
batil.
Jadi
tidak tepat kalau ayat-ayat yang bernuansa perlindungan itu lantas berubah
menjadi ayat-ayat syahwat. Meskipun, diembel-embeli dengan syarat bisa berlaku
adil. “Boleh berpoligami asal bisa berlaku adil,” begitu alasan yang sering
kita dengar.
Padahal,
coba baca ayat berikut ini. Tegas sekali Allah menyatakan bahwa kita tidak akan
bisa berlaku adil kepada isteri-isteri kita, meskipun kita sangat ingin
melakukannya. Lagi-lagi, di sini Allah mementahkan ‘perintah’ poligami itu.
QS.
An Nisa’[4]: 129
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
DAN
KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL DI ANTARA ISTERI-ISTERI(MU),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka, marilah kita
mendudukkan masalah poligami ini secara lebih proporsional. Bahwa poligami
bukanlah perintah. Meskipun kalimatnya adalah kalimat perintah (fi’il amar). Poligami harus dipahami
secara holistik terkait dengan kondisi yang menyertainya.
Misalnya masalah
perceraian. Di dalam Al Qur’an Allah juga menggunakan kalimat perintah untuk
kasus cerai (lihat QS.2:231). Tapi, itu bukan berarti Allah memerintahkan kita
untuk bercerai. Karena kalimat perintah itu terkait dengan kondisi yang
mengiringinya. Jadi, tidak lantas karena kalimatnya adalah kalimat perintah,
maka kita disunnahkan atau diwajibkan untuk bercerai begitu saja!
Poligami di dalam Islam
adalah kasus khusus yang terkait erat dengan alasan-alasan perlindungan
terhadap hak-hak wanita. Sekaligus untuk memberikan penghargaan dan mengangkat martabat
wanita. Terutama di jaman yang para wanita memperoleh perlakuan tidak senonoh
dan merendahkannya. Bukan hanya masa lalu, di era modern modern pun banyak
wanita yang diperlakukan secara memprihatinkan.
Allah melarang menikahi
wanita hanya dengan alasan untuk pemuas nafsu belaka. Karena sebenarnyalah
lembaga perkawinan adalah sebuah lembaga sakral dimana kita beribadah untuk
meneruskan keturunan dan menyiapkan generasi Islami yang tangguh di masa depan.
Sebagai balasannya,
Allah akan memberikan rasa tentram alias sakinah, rasa cinta alias mawaddah,
dan rasa kasih sayang penuh keikhlasan alias ar rahmah di dalam rumah tangga
kita.
Begitulah mestinya
rumah tangga Islam dibangun. Sebagaimana Rasulullah menjalinya bersama Bunda
Khadijah sampai wafatnya sang isteri tercinta. Satu-satunya isteri yang sangat
dicintai oleh Rasulullah, sehingga sampai membuat cemburu Bunda Aisyah ketika
beliau bercerita tentangnya.
Memang Rasulullah
melakukan poligami setelah itu. Tetapi dengan tujuan dan alasan yang berbeda.
Untuk memenuhi tugas kerasulan beliau. Untuk meneladankan dan mencontohkan
sikap perlindungan kepada umat Islam atas harkat dan martabat wanita. Untuk
memperbaiki peradaban dan menegakkan syariat Islam. Untuk memberikan pembatasan
kepada perilaku poligami yang kebablasan. Serta berbagai alasan mulia yang
memang ditugaskan kepada beliau. Karena itu Allah menegaskan, bahwa semua itu
hanya dikhususkan untuk Rasulullah. Bukan untuk umat Islam pada umumnya
(QS.33:50).
Sayangnya, kebanyakan
kita tidak memahami hal itu dengan cermat. Sehingga kita keliru dalam
menerapkan makna poligami yang mulia menjadi hanya karena alasan syahwat
belaka. Akhirnya, yang muncul bukan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah,
melainkan justru masalah yang berlarut-larut, yang menghancurkan mahligai rumah
tangga kita sendiri. Ujung-ujungnya, adalah sebuah penyesalan atas kondisi yang
kacau balau. Na’udzubillah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar