Kamis, 03 Oktober 2019

MENDUDUKKAN POLIGAMI (2)



“DAN KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL DI ANTARA ISTERI-ISTERI(MU), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…”

            Marilah kita simak terus tema yang diangkat ayat-ayat tersebut. Supaya dapat gambaran lebih utuh sekaligus penegasan maknanya.

QS. An Nisa’[4]: 4-6
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah MASKAWIN (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai POKOK KEHIDUPAN. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
Dan UJILAH ANAK YATIM itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. DAN JANGANLAH KAMU MAKAN HARTA ANAK YATIM lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Nah. Ternyata ayat yang sering dijadikan dasar untuk melakukan poligami itu adalah ayat-ayat perlindungan kepada anak-anak yatim. Juga supaya mengangkat martabat budak-budak wanita yang teraniaya sebagai isteri (QS.4:3).

            Sampai di ayat 6 pun, Allah masih fokus berbicara tentang perlindungan kepada anak-anak yatim itu. Utamanya terkait dengan harta dan nafkah mereka. Di antaranya berbentuk pemberian suami berupa mas kawin (mahar). Dan selebihnya adalah harta peninggalan orang tua mereka yang tidak boleh diambil secara batil.

            Jadi tidak tepat kalau ayat-ayat yang bernuansa perlindungan itu lantas berubah menjadi ayat-ayat syahwat. Meskipun, diembel-embeli dengan syarat bisa berlaku adil. “Boleh berpoligami asal bisa berlaku adil,” begitu alasan yang sering kita dengar.

            Padahal, coba baca ayat berikut ini. Tegas sekali Allah menyatakan bahwa kita tidak akan bisa berlaku adil kepada isteri-isteri kita, meskipun kita sangat ingin melakukannya. Lagi-lagi, di sini Allah mementahkan ‘perintah’ poligami itu.

QS. An Nisa’[4]: 129
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا


DAN KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL DI ANTARA ISTERI-ISTERI(MU), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka, marilah kita mendudukkan masalah poligami ini secara lebih proporsional. Bahwa poligami bukanlah perintah. Meskipun kalimatnya adalah kalimat perintah (fi’il amar). Poligami harus dipahami secara holistik terkait dengan kondisi yang menyertainya.

Misalnya masalah perceraian. Di dalam Al Qur’an Allah juga menggunakan kalimat perintah untuk kasus cerai (lihat QS.2:231). Tapi, itu bukan berarti Allah memerintahkan kita untuk bercerai. Karena kalimat perintah itu terkait dengan kondisi yang mengiringinya. Jadi, tidak lantas karena kalimatnya adalah kalimat perintah, maka kita disunnahkan atau diwajibkan untuk bercerai begitu saja!

Poligami di dalam Islam adalah kasus khusus yang terkait erat dengan alasan-alasan perlindungan terhadap hak-hak wanita. Sekaligus untuk memberikan penghargaan dan mengangkat martabat wanita. Terutama di jaman yang para wanita memperoleh perlakuan tidak senonoh dan merendahkannya. Bukan hanya masa lalu, di era modern modern pun banyak wanita yang diperlakukan secara memprihatinkan.

Allah melarang menikahi wanita hanya dengan alasan untuk pemuas nafsu belaka. Karena sebenarnyalah lembaga perkawinan adalah sebuah lembaga sakral dimana kita beribadah untuk meneruskan keturunan dan menyiapkan generasi Islami yang tangguh di masa depan.

Sebagai balasannya, Allah akan memberikan rasa tentram alias sakinah, rasa cinta alias mawaddah, dan rasa kasih sayang penuh keikhlasan alias ar rahmah di dalam rumah tangga kita.

Begitulah mestinya rumah tangga Islam dibangun. Sebagaimana Rasulullah menjalinya bersama Bunda Khadijah sampai wafatnya sang isteri tercinta. Satu-satunya isteri yang sangat dicintai oleh Rasulullah, sehingga sampai membuat cemburu Bunda Aisyah ketika beliau bercerita tentangnya.

Memang Rasulullah melakukan poligami setelah itu. Tetapi dengan tujuan dan alasan yang berbeda. Untuk memenuhi tugas kerasulan beliau. Untuk meneladankan dan mencontohkan sikap perlindungan kepada umat Islam atas harkat dan martabat wanita. Untuk memperbaiki peradaban dan menegakkan syariat Islam. Untuk memberikan pembatasan kepada perilaku poligami yang kebablasan. Serta berbagai alasan mulia yang memang ditugaskan kepada beliau. Karena itu Allah menegaskan, bahwa semua itu hanya dikhususkan untuk Rasulullah. Bukan untuk umat Islam pada umumnya (QS.33:50).

Sayangnya, kebanyakan kita tidak memahami hal itu dengan cermat. Sehingga kita keliru dalam menerapkan makna poligami yang mulia menjadi hanya karena alasan syahwat belaka. Akhirnya, yang muncul bukan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, melainkan justru masalah yang berlarut-larut, yang menghancurkan mahligai rumah tangga kita sendiri. Ujung-ujungnya, adalah sebuah penyesalan atas kondisi yang kacau balau. Na’udzubillah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...