—Saiful Islam—
“Salah satu tujuan menikah, memang
adalah seks. Jadi wajar kalau salah satu makna nikah adalah seks…”
Kalau kalian belajar logika, dalam
Matematika, kesimpulan itu didahului dengan premis-premis. Contoh setiap
makhluk hidup itu butuh air (premis 1). Manusia adalah makhluk hidup (premis
2). Maka manusia butuh air (kesimpulan). Kalau premis 1 dan premis 2 salah,
sudah pasti kesimpulannya akan salah.
Menurut saya, Abdul Aziz salah
dalam premisnya itu. Yaitu ketika dia lebih menarik kata nikah itu bermakna
hubungan seksual. Bukan akad. Berikut saya kutipkan dari disertasinya. Ketika
dia memberi proporsi lebih besar bahwa nikah itu artinya adalah berhubungan
seksual.
Secara bahasa, kata “nikah” berasal
dari bahasa Arab, yaitu nakaḥa – yankiḥu – nikaḥan yang
mengandung arti berhimpun dan berkumpul; berhubungan seksual dan; berhimpun,
berhubungan seksual dan akad. Dikatakan pula artinya saling
“memasuki/mencampuri”. Sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila
saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan
lainya; pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.
Al-Azhari mengatakan bahwa pada
asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna “al-waṭ’u” yakni berhubungan
seksual. Dikatakan pula bahwa nikah bermakna “at-tazwīj” yakni
perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya berhubungan seksual dengan cara
yang halal. Berkata al-Nawawi: “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang
digunakan untuk menyebut “akad nikah”, kadang digunakan untuk menyebut hubungan
seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab
mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al-Mar’atu” artinya
adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar’ata”
artinya telah menggauli di organ kewanitaannya. Kata “nikah” juga berarti
"penetration": penembusan sesuatu benda oleh benda lainnya.
Misalnya, benih menikahi tanah atau rasa kantuk menikahi mata. Kata ini juga
berarti dua benda saling berbelit. Misalnya, pohon nikah satu sama lain,
berarti pohon-pohon itu saling membelit.
Menurut al-Asqalani “nikah” berarti
"merengkuh atau menembus". Jika dilafalkan “nukah” ini berarti
kelamin wanita. Kata ini hanya digunakan dalam konteks melakukan hubungan
seksual. Jika kata ini dihubungkan dalam pernikahan, maka ini berarti
berhubungan seksual adalah kewajiban dalam pernikahan. Al-Fassi berkata, “Jika
dikatakan seorang pria menikahi seorang wanita, berarti pria ini menikahi sang
wanita, dan jika dikatakan seorang pria menikahi istrinya, ini berarti dia
berhubungan seksual dengan istrinya.” Berkata Abu Ali al-Qali: “Bangsa Arab
telah membedakan dengan perbedaan yang tipis, yang dengan perbedaan itu akan
dapat mengetahui kedudukan akad (pernikahan) terhadap (kehalalan) berhubungan
seksual. Ketika mereka berkata: dia telah menikahi Fulanah atau menikahi anaknya
Fulan, yang mereka maksudkan adalah akad perkawinan. Ketika mereka mengatakan
telah menikahi perempuannya atau istrinya, mereka tidak bermaksud mengatakan
selain berhubungan seksual.”
Jelas sekali upaya Abdul Aziz menarik
kata nikah pada makna berhubungan seksual itu. Padahal sudah saya tunjukkan
sebelumnya, bahwa asal kata nikah itu adalah untuk akad. Berhubungan seksual
itu memang menjadi halal. Tapi setelah akad tersebut. Dan menurut saya, tidak
ada dalam Qur’an makna nikah itu kecuali akad. Seks itu hanya akibat dari akad
pernikahan. Akad nikahlah sebabnya. Tanpa akad ikah, mejadi haram berhubungan
seksual.
Bahkan ketika megomentari QS.2:230,
dengan gegabahya Abdul Aziz meyimpulkan: “Arti nikah pada ayat di atas adalah al-waṭ’u
atau al-jimā‘u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.” Mari
kita lihat sendiri ayatnya.
QS. Al-Baqarah[2]: 230
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia MENIKAH dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.
Jelas sekali, Qur’an menggunakan
kata tankih. Menikah. Bukan seksual. Menurut saya, menikah di situ,
berarti akad. Tidak ada konteks yang mengharuskan kita memalingkan kata nikah
itu pada makna yang lain. Jadi, tetap kepada makna asal nikah itu. Yakni akad. Dimaknai
seks dan bukan akad, lagi-lagi ini adalah upaya Abdul Aziz menarik nakaha itu
dari makna asalnya. Yaitu akad.
Untuk meguatkan upayanya menarik
kata nikah pada makna seks itu, Abdul Aziz meggunakan Hadis-Hadis dan pendapat-pendapat
(baca disertasiya halama 77-82). Padahal sekali lagi, pertama, asal makna
nikah itu adalah akad. Dan kedua, semua makna nikah dalam Qur’an itu berarti
akad. Hubungan seksual hanya efek otomatis setelah terjadinya akad nikah
tersebut.
Jadi, kita bisa lebih jelas mengetahui
posisi Abdul Aziz. Kemana keberpihakannya terkait makna nikah itu. Yaitu, argumentasi
yang ia bangun untuk menguatkan bahwa nikah itu ya seks. Jelas di sini. Ia
tidak tahu, bahwa makna asal nikah itu adalah akad.
Saya rasa ini penting diklarifikasi
dulu. Sebab sudah pasti. Jika kata nakaha dengan beragam derivasinya
diartikan seks lebih diunggulkan, maka ayat-ayat perintah menikah akan dipahami
perintah seks. Tanpa akad. Padahal apa yang dilakukan suami-istri di rumah itu
tidak ada bedanya dengan laki-laki dan perempuan di Dolly misalnya. Yakni seks.
Justru pembeda keduanya hanya pada akad. Yang pertama akadnya adalah “Aku
terima nikahnya…” Dan restu wali (keluarga) perempuan serta membayar mahar.
Sedangkan yang kedua, cukup wani piro. Yang pertama mengandung ikatan
suci (miitsaaqon gholiizhon). Sementara yang kedua, tidak terikat apa
pun.
Jelas sekali Al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an menyebut bahwa makna asal nakaha adalah untuk akad.
Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. Memang baik Al-Mufradat ini
maupun Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa makna nikah itu bisa juga untuk
makna seks. Tapi tidak berarti seks tanpa akad nikah. Tetap wajib akad nikah
dulu. Bahkan nikah bermakna seks itu adalah kiasan. Bukan makna sebenarnya. Sebab
memang salah satu tujuan nikah, adalah seks. Dan orang yang sudah nikah,
biasanya tidak lama setelah itu sudah seks. Jadi wajar kalau salah satu makna
nikah adalah seks. Tapi sekali lagi, tidak berarti nikah bermakna seks itu,
tanpa akad nikah. Wajib akad nikah dulu sebelum halalnya seks.
Qur’an memang membolehkan seks.
Bahkan harus suka sama suka. Alias saling rela. Saling cinta. Tidak boleh ada
paksaan. Tapi semua itu dalam bingkai pernikahan. Yakni harus dan wajib
melakukan akad nikah. Komitmen membangun dan membina rumah tangga. Tujuannya juga
disebutkan Qur’an: supaya sakiinah (tentram), mawaddah (cinta),
dan rohmah (kasih sayang).
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar