Jumat, 04 Oktober 2019

MENGRITISI NIKAH VERSI ABDUL


—Saiful Islam—

“Salah satu tujuan menikah, memang adalah seks. Jadi wajar kalau salah satu makna nikah adalah seks…”

Kalau kalian belajar logika, dalam Matematika, kesimpulan itu didahului dengan premis-premis. Contoh setiap makhluk hidup itu butuh air (premis 1). Manusia adalah makhluk hidup (premis 2). Maka manusia butuh air (kesimpulan). Kalau premis 1 dan premis 2 salah, sudah pasti kesimpulannya akan salah.

Menurut saya, Abdul Aziz salah dalam premisnya itu. Yaitu ketika dia lebih menarik kata nikah itu bermakna hubungan seksual. Bukan akad. Berikut saya kutipkan dari disertasinya. Ketika dia memberi proporsi lebih besar bahwa nikah itu artinya adalah berhubungan seksual.

Secara bahasa, kata “nikah” berasal dari bahasa Arab, yaitu nakaḥayankiḥunikaḥan yang mengandung arti berhimpun dan berkumpul; berhubungan seksual dan; berhimpun, berhubungan seksual dan akad. Dikatakan pula artinya saling “memasuki/mencampuri”. Sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan lainya; pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.

Al-Azhari mengatakan bahwa pada asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna “al-waṭ’u” yakni berhubungan seksual. Dikatakan pula bahwa nikah bermakna “at-tazwīj” yakni perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya berhubungan seksual dengan cara yang halal. Berkata al-Nawawi: “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah”, kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”

Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al-Mar’atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar’ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya. Kata “nikah” juga berarti "penetration": penembusan sesuatu benda oleh benda lainnya. Misalnya, benih menikahi tanah atau rasa kantuk menikahi mata. Kata ini juga berarti dua benda saling berbelit. Misalnya, pohon nikah satu sama lain, berarti pohon-pohon itu saling membelit.

Menurut al-Asqalani “nikah” berarti "merengkuh atau menembus". Jika dilafalkan “nukah” ini berarti kelamin wanita. Kata ini hanya digunakan dalam konteks melakukan hubungan seksual. Jika kata ini dihubungkan dalam pernikahan, maka ini berarti berhubungan seksual adalah kewajiban dalam pernikahan. Al-Fassi berkata, “Jika dikatakan seorang pria menikahi seorang wanita, berarti pria ini menikahi sang wanita, dan jika dikatakan seorang pria menikahi istrinya, ini berarti dia berhubungan seksual dengan istrinya.” Berkata Abu Ali al-Qali: “Bangsa Arab telah membedakan dengan perbedaan yang tipis, yang dengan perbedaan itu akan dapat mengetahui kedudukan akad (pernikahan) terhadap (kehalalan) berhubungan seksual. Ketika mereka berkata: dia telah menikahi Fulanah atau menikahi anaknya Fulan, yang mereka maksudkan adalah akad perkawinan. Ketika mereka mengatakan telah menikahi perempuannya atau istrinya, mereka tidak bermaksud mengatakan selain berhubungan seksual.”

Jelas sekali upaya Abdul Aziz menarik kata nikah pada makna berhubungan seksual itu. Padahal sudah saya tunjukkan sebelumnya, bahwa asal kata nikah itu adalah untuk akad. Berhubungan seksual itu memang menjadi halal. Tapi setelah akad tersebut. Dan menurut saya, tidak ada dalam Qur’an makna nikah itu kecuali akad. Seks itu hanya akibat dari akad pernikahan. Akad nikahlah sebabnya. Tanpa akad ikah, mejadi haram berhubungan seksual.

Bahkan ketika megomentari QS.2:230, dengan gegabahya Abdul Aziz meyimpulkan: “Arti nikah pada ayat di atas adalah al-waṭ’u atau al-jimā‘u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.” Mari kita lihat sendiri ayatnya.

QS. Al-Baqarah[2]: 230
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia MENIKAH dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Jelas sekali, Qur’an menggunakan kata tankih. Menikah. Bukan seksual. Menurut saya, menikah di situ, berarti akad. Tidak ada konteks yang mengharuskan kita memalingkan kata nikah itu pada makna yang lain. Jadi, tetap kepada makna asal nikah itu. Yakni akad. Dimaknai seks dan bukan akad, lagi-lagi ini adalah upaya Abdul Aziz menarik nakaha itu dari makna asalnya. Yaitu akad.

Untuk meguatkan upayanya menarik kata nikah pada makna seks itu, Abdul Aziz meggunakan Hadis-Hadis dan pendapat-pendapat (baca disertasiya halama 77-82). Padahal sekali lagi, pertama, asal makna nikah itu adalah akad. Dan kedua, semua makna nikah dalam Qur’an itu berarti akad. Hubungan seksual hanya efek otomatis setelah terjadinya akad nikah tersebut.

Jadi, kita bisa lebih jelas mengetahui posisi Abdul Aziz. Kemana keberpihakannya terkait makna nikah itu. Yaitu, argumentasi yang ia bangun untuk menguatkan bahwa nikah itu ya seks. Jelas di sini. Ia tidak tahu, bahwa makna asal nikah itu adalah akad.

Saya rasa ini penting diklarifikasi dulu. Sebab sudah pasti. Jika kata nakaha dengan beragam derivasinya diartikan seks lebih diunggulkan, maka ayat-ayat perintah menikah akan dipahami perintah seks. Tanpa akad. Padahal apa yang dilakukan suami-istri di rumah itu tidak ada bedanya dengan laki-laki dan perempuan di Dolly misalnya. Yakni seks. Justru pembeda keduanya hanya pada akad. Yang pertama akadnya adalah “Aku terima nikahnya…” Dan restu wali (keluarga) perempuan serta membayar mahar. Sedangkan yang kedua, cukup wani piro. Yang pertama mengandung ikatan suci (miitsaaqon gholiizhon). Sementara yang kedua, tidak terikat apa pun.

Jelas sekali Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menyebut bahwa makna asal nakaha adalah untuk akad. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. Memang baik Al-Mufradat ini maupun Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa makna nikah itu bisa juga untuk makna seks. Tapi tidak berarti seks tanpa akad nikah. Tetap wajib akad nikah dulu. Bahkan nikah bermakna seks itu adalah kiasan. Bukan makna sebenarnya. Sebab memang salah satu tujuan nikah, adalah seks. Dan orang yang sudah nikah, biasanya tidak lama setelah itu sudah seks. Jadi wajar kalau salah satu makna nikah adalah seks. Tapi sekali lagi, tidak berarti nikah bermakna seks itu, tanpa akad nikah. Wajib akad nikah dulu sebelum halalnya seks.

Qur’an memang membolehkan seks. Bahkan harus suka sama suka. Alias saling rela. Saling cinta. Tidak boleh ada paksaan. Tapi semua itu dalam bingkai pernikahan. Yakni harus dan wajib melakukan akad nikah. Komitmen membangun dan membina rumah tangga. Tujuannya juga disebutkan Qur’an: supaya sakiinah (tentram), mawaddah (cinta), dan rohmah (kasih sayang).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...