—Saiful Islam—
“Kalau tidak dipertontonkan ke
publik, tidak disebut zina. Meskipun tanpa akad nikah…”
Sebagian besar kita pasti tahu.
Bahwa seks di luar nikah itu disebut zina. Apapun alasannya, pokoknya kalau
sudah seks di luar akad pernikahan, maka itu zina. Dengan kata lain, zina
adalah kebalikan dari nikah. Begitu pemahaman umum. Istilah klasiknya, iilaaj
al-mukallaf hasyaafatah fii farj zhoohir bilaa syubhat. Tentu saja, bilaa
‘aqd al-nikaah. Bahkan dengan akal sederhana sekali pun, nurani orang sudah
tahu. Bagaimana kacau balaunya jika seks bebas itu diwajarkan dalam
kemanusiaan.
Berikut ayat yang melarang Kaum
Mukminin mendekati zina.
QS. Al-Isra[17]: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلًا
Dan JANGANLAH kalian MENDEKATI ZINA.
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.
Namun Abdul Aziz—yang terpengaruh
oleh Syahrur—ternyata memahami zina itu dengan pengertaian lain. Menurut dia
zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang dipertontonkan
ke publik. Kalau tidak dipertontonkan ke publik, tidak disebut zina. Meskipun
tanpa akad nikah.
Nah. Kali ini kita akan mencoba
melihat langsung apa sebenarnya zina itu. Tentu saja, seperti biasa. Saya akan
pakai paling tidak dua kamus Qur’an yang biasa dipakai oleh para mufassir: Al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an dan Lisan al-‘Arab. Benarkah pemahaman umum itu?
Atau malah pemahaman Abdul Aziz dan Syahrur yang benar? Atau jangan-jangan ada
makna lain selain dua kubu ini?
Kita akan tanggapi seobjektif
mungkin. Dengan kajian ilmiah juga. Serasional mungkin. Bukan emosional. Bukan
dengan marah-marah. Bukan dengan ujug-ujug menuding orang sesat. Padahal kita
sendiri sejatinya tidak paham substansi masalahnya.
Zina adalah seks (laki-laki) dengan
perempuan tanpa akad syar’i. Begitu tulis Al-Raghib al-Ashfahaniy dengan
ringkas. Kemudian dia mengutip QS.24: 2-3 berikut ini.
QS. Al-Nur[24]: 2-3
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي
دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
dali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat.
Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ
إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ
أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.
Kamus Al-Munawwir mengartikan kata
zina dengan beragam derivasinya sebagai berikut: pelacuran, dan hubungan
seksual yang tidak sah. Sedangkan A Dictionary of Modern Written Arabic
mengartikan kata zina dengan to commit adultery (melakukan perzinaan), fornicate
(bersetubuh di luar nikah), whore (pelacur, sundal, perempuan panggilan,
perempuan cabul, perempuan jalang), adultery (zina), dan fornication
(seks di luar nikah).
Adapun Lisan Al-‘Arab
memberi gambaran kata zina begini. Jika dikatakan al-mar’ah tuzaaniy
(perempuan berzina), maka itu berarti melacur (tubaaghiy). Zinaa
itu juga bisa dibaca zinaa’an (ada tambahan alif dan hamzahnya). Ditemui
juga bentuk zaanaa, zannaa, dan azannaa. Al-A’sya pernah
berkata, “Kadang dia menikah, kadang dia berzina.” Al-Lihyaniy juga berkata,
“Aku bukan kerabat laki-laki yang berzina itu.”
Menurut Al-Lihyaniy, zinaa
(tanpa hamzah) adalah bahasa orang-orang Hijaz. Seperti yang disebut dalam
QS.17:32 di atas. Sedangkan al-zinaa’u (dengan hamzah) adalah bahasa
Bani Tamim. Namun yang benar al-zinn’u ini adalah bahasa orang Najd.
Sebagaimana perkataan Al-Farazdaq, “Aba Hadir adalah orang yang berzina. Yang
diketahui zinanya…” Begitu juga Al-Ja’diy berkata, “Seperti halnya pelaku zina
(al-zinaa’u), itu wajib rajam.”
Di dalam Hadis disebutkan bahwa
Konstantin berzina. Yang dimaksud adalah warganya atau penduduknya yang
berzina.
Al-Lihyaniy berkata bahwa putri
Al-Khuss ditanya, “Apa yang menyebabkan kamu berzina?” Ia menjawab, “Dekatnya
bantal dan lamanya malam.” Seakan-akan ditanyakan kepada perempuan ini, “Apa
yang membawamu kepada zina?” Menurut Al-Lihyaniy, redaksi seperti ini (kata aznaa)
tidak pernah terdengar kecuali berita tentang putri Al-Khuss ini.
Dalam konteks hubungan seks,
sebetulnya keterangan di atas sudah cukup gamblang. Tapi tidak ada salahnya
kita melihat juga keterangan terkait kata zina ini. Secara umum. Sebagai
khazanah. Berikut.
Dijumpai juga redaksi, “Dia adalah
anak zanyah atau zinyah.” Dibaca zanyah lebih diutamakan.
Yakni anak zina (anak hasil perzinaan). Lawan katanya adalah larisydah
dan rasydah. Menurut Al-Farra’ dalam kitab Al-Mashadir, anak zina
itu disebut lighayyah dan lizanyah. Atau lighayr rasydah. Dikisahkan
dalam Hadis, Banu Malik bin Tsa’labah diutus kepada Nabi. “Siapa kalian?” Tanya
Nabi. Mereka menjawab, “Kami adalah Banu al-Zinyah.” Nabi menjawab,
“Bukan. Kalian adalah Banu al-Risydah.” Al-Zinyah atau al-Zanyah
di sini berarti anak terakhir dari pasangan laki-laki dan perempuan. Karena
sudah tua. Banu Malik tersebut disebut Banu Zanyah dan Zinyah
karena alasan tersebut.
Nabi mengatakan, “Bukan. Kalian
adalah Banu al-Risydah,” sebagai bantahan terhadap keyakinan mereka:
lafaz al-zinyah itu dari al-zinaa. Al-Rasydah (dibaca
fathah) lebih unggul daripada al-Risydah. Dan anak dari hasil zina itu
disebut: dia lizanyah atau lizinyah.
Kalau disebut wa qod zannaahu
min al-tanziih. Yakni dia menuduhnya pernah berzina. Sedangkan laa
hishnuhaa hishnun wa laa al-zinaa zinaa, menurut Abu Zayd itu adalah
perumpamaan bagi orang yang berusaha istiqomah dalam kebaikan. Tapi kemudian
tergelincir dan tidak kembali lagi pada kebaikan.
Kera itu disebut zannaa’ah.
Sedangkan al-zanaa’u, itu berarti pendek. Makna asal al-zanaa’u
adalah sempit, ketat, dekat, susah, derita, melarat, miskin, dan semisalnya.
Ada Hadis yang berbunyi: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian
salat dalam keadaan zanaa’un. Yakni menahan kencing.
Zanaa yaznuu, secara
bahasa berarti sempit sebagaimana zana’a. Disebutkan dalam Hadis: Nabi
Muhammad SAW itu tidak menyukai dunia kecuali azna’ahaa. Yakni yang
paling sulit, susah, miskin, dan semisalnya. Karung yang zaniyyun. Yakni
karung yang sempit. Seperti itu diriwayatkan oleh Al-A’rabiy tanpa hamzah.
Adapun al-zan’u itu berarti
mendaki gunung. Sedangkan al-zannaa ‘alaihi, ini berarti menyempitkan,
menyusahkan, dan semisalnya. Ular juga bisa disebut banu zinyah.
Analisis singkat. Kini jelas bagi
kita. Bahwa zina menurut Abdul Aziz itu tidak mendapat pijakan dalam
kamus-kamus Arab yang kredibel. Menurut saya, dipertontonkan ke publik atau
tidak, itu bukan kriteria dalam definisi zina. Justru yang substansi dari seks
itu adalah kontak kelamin. Alias masuknya penis ke vagina perempuan: iilaaj
al-mukallaf hasyaafatah fii farj zhoohir bilaa syubhat. Kalau ada akad
syar’iy atau akad nikah, menjadi halal. Kalau tidak ada, hukumnya menjadi
haram.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar