Jumat, 11 Oktober 2019

MENGRITISI ZINA VERSI ABDUL


—Saiful Islam—

“Kalau tidak dipertontonkan ke publik, tidak disebut zina. Meskipun tanpa akad nikah…”

Sebagian besar kita pasti tahu. Bahwa seks di luar nikah itu disebut zina. Apapun alasannya, pokoknya kalau sudah seks di luar akad pernikahan, maka itu zina. Dengan kata lain, zina adalah kebalikan dari nikah. Begitu pemahaman umum. Istilah klasiknya, iilaaj al-mukallaf hasyaafatah fii farj zhoohir bilaa syubhat. Tentu saja, bilaa ‘aqd al-nikaah. Bahkan dengan akal sederhana sekali pun, nurani orang sudah tahu. Bagaimana kacau balaunya jika seks bebas itu diwajarkan dalam kemanusiaan.

Berikut ayat yang melarang Kaum Mukminin mendekati zina.

QS. Al-Isra[17]: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan JANGANLAH kalian MENDEKATI ZINA. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Namun Abdul Aziz—yang terpengaruh oleh Syahrur—ternyata memahami zina itu dengan pengertaian lain. Menurut dia zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang dipertontonkan ke publik. Kalau tidak dipertontonkan ke publik, tidak disebut zina. Meskipun tanpa akad nikah.

Nah. Kali ini kita akan mencoba melihat langsung apa sebenarnya zina itu. Tentu saja, seperti biasa. Saya akan pakai paling tidak dua kamus Qur’an yang biasa dipakai oleh para mufassir: Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an dan Lisan al-‘Arab. Benarkah pemahaman umum itu? Atau malah pemahaman Abdul Aziz dan Syahrur yang benar? Atau jangan-jangan ada makna lain selain dua kubu ini?

Kita akan tanggapi seobjektif mungkin. Dengan kajian ilmiah juga. Serasional mungkin. Bukan emosional. Bukan dengan marah-marah. Bukan dengan ujug-ujug menuding orang sesat. Padahal kita sendiri sejatinya tidak paham substansi masalahnya.

Zina adalah seks (laki-laki) dengan perempuan tanpa akad syar’i. Begitu tulis Al-Raghib al-Ashfahaniy dengan ringkas. Kemudian dia mengutip QS.24: 2-3 berikut ini.

QS. Al-Nur[24]: 2-3
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

Kamus Al-Munawwir mengartikan kata zina dengan beragam derivasinya sebagai berikut: pelacuran, dan hubungan seksual yang tidak sah. Sedangkan A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan kata zina dengan to commit adultery (melakukan perzinaan), fornicate (bersetubuh di luar nikah), whore (pelacur, sundal, perempuan panggilan, perempuan cabul, perempuan jalang), adultery (zina), dan fornication (seks di luar nikah).

Adapun Lisan Al-‘Arab memberi gambaran kata zina begini. Jika dikatakan al-mar’ah tuzaaniy (perempuan berzina), maka itu berarti melacur (tubaaghiy). Zinaa itu juga bisa dibaca zinaa’an (ada tambahan alif dan hamzahnya). Ditemui juga bentuk zaanaa, zannaa, dan azannaa. Al-A’sya pernah berkata, “Kadang dia menikah, kadang dia berzina.” Al-Lihyaniy juga berkata, “Aku bukan kerabat laki-laki yang berzina itu.”

Menurut Al-Lihyaniy, zinaa (tanpa hamzah) adalah bahasa orang-orang Hijaz. Seperti yang disebut dalam QS.17:32 di atas. Sedangkan al-zinaa’u (dengan hamzah) adalah bahasa Bani Tamim. Namun yang benar al-zinn’u ini adalah bahasa orang Najd. Sebagaimana perkataan Al-Farazdaq, “Aba Hadir adalah orang yang berzina. Yang diketahui zinanya…” Begitu juga Al-Ja’diy berkata, “Seperti halnya pelaku zina (al-zinaa’u), itu wajib rajam.”

Di dalam Hadis disebutkan bahwa Konstantin berzina. Yang dimaksud adalah warganya atau penduduknya yang berzina.

Al-Lihyaniy berkata bahwa putri Al-Khuss ditanya, “Apa yang menyebabkan kamu berzina?” Ia menjawab, “Dekatnya bantal dan lamanya malam.” Seakan-akan ditanyakan kepada perempuan ini, “Apa yang membawamu kepada zina?” Menurut Al-Lihyaniy, redaksi seperti ini (kata aznaa) tidak pernah terdengar kecuali berita tentang putri Al-Khuss ini.

Dalam konteks hubungan seks, sebetulnya keterangan di atas sudah cukup gamblang. Tapi tidak ada salahnya kita melihat juga keterangan terkait kata zina ini. Secara umum. Sebagai khazanah. Berikut.

Dijumpai juga redaksi, “Dia adalah anak zanyah atau zinyah.” Dibaca zanyah lebih diutamakan. Yakni anak zina (anak hasil perzinaan). Lawan katanya adalah larisydah dan rasydah. Menurut Al-Farra’ dalam kitab Al-Mashadir, anak zina itu disebut lighayyah dan lizanyah. Atau lighayr rasydah. Dikisahkan dalam Hadis, Banu Malik bin Tsa’labah diutus kepada Nabi. “Siapa kalian?” Tanya Nabi. Mereka menjawab, “Kami adalah Banu al-Zinyah.” Nabi menjawab, “Bukan. Kalian adalah Banu al-Risydah.” Al-Zinyah atau al-Zanyah di sini berarti anak terakhir dari pasangan laki-laki dan perempuan. Karena sudah tua. Banu Malik tersebut disebut Banu Zanyah dan Zinyah karena alasan tersebut.

Nabi mengatakan, “Bukan. Kalian adalah Banu al-Risydah,” sebagai bantahan terhadap keyakinan mereka: lafaz al-zinyah itu dari al-zinaa. Al-Rasydah (dibaca fathah) lebih unggul daripada al-Risydah. Dan anak dari hasil zina itu disebut: dia lizanyah atau lizinyah.

Kalau disebut wa qod zannaahu min al-tanziih. Yakni dia menuduhnya pernah berzina. Sedangkan laa hishnuhaa hishnun wa laa al-zinaa zinaa, menurut Abu Zayd itu adalah perumpamaan bagi orang yang berusaha istiqomah dalam kebaikan. Tapi kemudian tergelincir dan tidak kembali lagi pada kebaikan.

Kera itu disebut zannaa’ah. Sedangkan al-zanaa’u, itu berarti pendek. Makna asal al-zanaa’u adalah sempit, ketat, dekat, susah, derita, melarat, miskin, dan semisalnya. Ada Hadis yang berbunyi: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian salat dalam keadaan zanaa’un. Yakni menahan kencing.

Zanaa yaznuu, secara bahasa berarti sempit sebagaimana zana’a. Disebutkan dalam Hadis: Nabi Muhammad SAW itu tidak menyukai dunia kecuali azna’ahaa. Yakni yang paling sulit, susah, miskin, dan semisalnya. Karung yang zaniyyun. Yakni karung yang sempit. Seperti itu diriwayatkan oleh Al-A’rabiy tanpa hamzah.

Adapun al-zan’u itu berarti mendaki gunung. Sedangkan al-zannaa ‘alaihi, ini berarti menyempitkan, menyusahkan, dan semisalnya. Ular juga bisa disebut banu zinyah.

Analisis singkat. Kini jelas bagi kita. Bahwa zina menurut Abdul Aziz itu tidak mendapat pijakan dalam kamus-kamus Arab yang kredibel. Menurut saya, dipertontonkan ke publik atau tidak, itu bukan kriteria dalam definisi zina. Justru yang substansi dari seks itu adalah kontak kelamin. Alias masuknya penis ke vagina perempuan: iilaaj al-mukallaf hasyaafatah fii farj zhoohir bilaa syubhat. Kalau ada akad syar’iy atau akad nikah, menjadi halal. Kalau tidak ada, hukumnya menjadi haram.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...