—Saiful Islam—
“Mayoritas penerjemah Qur’an,
menurut saya, kurang tepat dalam menerjemah kata ihshoon ini…”
Jadi kalau mencermati kata ihshoon
dalam kamus-kamus Arab, maupun ayat-ayat Qur’an, maka ada beberapa hal penting
yang perlu kita simpulkan. Pertama, kata ihshoon, itu secara umum
berarti menjaga, menyimpan, memelihara, melindungi, membentengi, dan
semacamnya. Semacam perisai atau tameng, sehingga tidak bisa ditembus.
Bentuknya bisa berupa baju besi, jaket anti peluru, benteng kerajaan, dan
semisalnya.
Makna tersebut, diperoleh dari
konteks ayat-ayat Qur’an. Misalnya kata tuhshinuun dalam QS.12:48, dari
asal kata yang sama hashona, itu berarti menyimpan. Kata lituhshinakum
dalam QS.21:80 itu berarti melindungi. Kata hushuunuhum dalam QS.59:2
artinya adalah benteng-benteng. Kata muhashshonah dalam QS.59:14, adalah
kata sifat untuk negeri: negeri yang dibentengi.
Kedua, kata ihshoon
dalam konteks perempuan, misalnya ahshonat dalam QS.21:91 dan QS.66:12.
Artinya adalah menjaga kemaluannya supaya tidak seks dengan laki-laki. Al-muhshonaat
dalam QS.4:24, QS.4:25, QS.24:4, dan QS.24:23, berarti perempuan yang sudah
bersuami. Al-muhshonaat juga bisa berarti perempuan yang belum bersuami,
seperti al-muhshonaat al-mu’minat (QS.4:25) dan QS.5:5.
Ketiga. Setiap
perempuan yang ahshonat farjaha (menjaga kemaluannya), adalah perempuan muhshonah.
Memang ahshonat farjaha dalam QS.21:91 dan QS.66:12, perempuan itu
adalah Maryam. Namun kalimat tersebut bisa berlaku umum bagi setiap perempuan
yang menjaga kemaluannya. Alias perempuan yang tidak gampangan seks dengan
laki-laki.
Perempuan yang ahshonat farjaha,
kalau ia belum menikah, maka muhshonah-nya itu karena dirinya sendiri.
Ya karena menjaganya itu. Tapi perempuan yang sudah bersuami juga disebut muhshonah.
Nah, muhshonah-nya ini karena ada suaminya itu. Atau tidak seks kecuali
dengan suaminya. Bahkan saya mendapat kesan, ia disebut perempuan muhshonah
karena dijaga, dipelihara, dihormati, dan dilindungi oleh suami yang
mencintainya.
Sehingga—catat ini sangat penting—saya
menemukan makna baru dalam ihshoon ini. Yaitu kata ihshoon ini
semacam ruhnya nikah. Kalau nikah itu sekadar akad. Nah, kalau ihshoon
adalah ruhnya akad tersebut. Yaitu ketulusan seseorang untuk memelihara,
menjaga, mengayomi, melindungi, dan menghormati pasangannya. Di dalamnya
termasuk mencintai, mengasihi, dan menyayangi pasangannya dengan jujur dan
tulus. Tujuannya adalah membangun sebuah keluarga karena Allah.
Insya Allah, memang, Anda tidak
akan menemukan kesimpulan ini dalam kamus-kamus Arab yang kredibel. Bahkan mayoritas
penerjemah Qur’an kurang tepat dalam menerjemah kata ihshoon ini.
Biasanya mereka menerjemahkan kata ihshoon ini dengan nikah atau menikah.
Padahal jelas-jelas redaksinya adalah muhshiniin. Bukan munkihiin.
Misalnya diceritakan dalam ayat berikut ini.
QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ
أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ
الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kalian
menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan DIHALALKAN bagi
kamu selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI DENGAN HARTAMU UNTUK
DINIKAHI, BUKAN UNTUK BERZINA. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terutama kalimat yang berbunyi, “Dan
DIHALALKAN bagi kamu selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI DENGAN
HARTAMU UNTUK DINIKAHI, BUKAN UNTUK BERZINA.” Yang benar menurut saya, “Dan
DIHALALKAN bagi kalian selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI
DENGAN HARTAMU SECARA IHSHOON, BUKAN SECARA ZINA.”
“Seks atas dasar suka sama suka,
itu boleh. Yaitu akad ihshoon. Akad komitmen berhubungan seksual. Bukan
akad nikah,” katanya. Jelas ini kesimpulan yang salah total. Dan fatal. Sebab, ihshoon
baik secara bahasa maupun konteks ayat-ayat Qur’an, itu tidak ada yang bermakna
akad. Muhshiniin ghayr musaafihiin, dalam QS.5:5 dan QS.4:24, itu
berarti SECARA IHSHOON. Semacam sikap. Bukan akad ihshoon.
Secara ihshoon, artinya
mencari istri dengan maksud membangun rumah tangga. Dengan tujuan tulus akan
memelihara calon istrinya, melindunginya, menjaganya, ‘ngemong’,
mengayominya, menghormati, mencintai, dan menyayanginya. Tentu saja, harus
melalui akad nikah terlebih dahulu. Dalam konteks perjodohan, ini memang Qur’an
sering kali menggunakan redaksi nakaha, nikahkanlah. Misalnya QS.4:3,
QS.2:221, dan QS.24:32.
Maka, akad nikah saja, itu
sejatinya belum cukup. Akad nikah maksudnya perjanjian akan berhubungan seks,
yang ada ahlinya, serta ada maharnya. Sekali lagi, sebenarnya ini belum cukup. Memahami
ayat-ayat Qur’an memang harus komprehensif. Tidak boleh sepotong-sepotong. Sebab
memang tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan di lokalisasi atau kawin
kontrak. Mereka bisa mengakali hukum Qur’an.
Misalnya ahlinya (Qur’an memang
hanya mengharuskan minta izin ke ahlinya. Kemudian dimaknani keluarganya atau diplesetkan:
siapa pun yang berkuasa kepadanya, seperti germonya) dan maharnya disetting.
Kemudian ada ijab kabulnya. Tanpa tertulis. Kemudian, kedua belah pihak sama-sama
tahu bahwa pernikahan itu akan otomatis bercerai dalam waktu yang ditentukan.
Misalnya setahun. Atau sebulan. Seminggu, sehari, sejam, bahkan sepuluh menit
seperti di lokalisasi.
Menurut saya, akad nikah yang
demikian ini tidak sah. Batal. Sebab, selain tidak ada ayat Qur’an yang
memerintahkan menikah untuk bercerai, nikah ala lokalisasi itu, atau nikah
kontrak, itu tidak muhshiniin. Alias tidak ihshoon. Yakni tidak
dijiwai dengan niatan tulus untuk memelihara, menjaga, melindungi, mengayomi,
dan menghormati si perempuan. Tidak ada niat membangun rumah tangga. Akad
nikahnya itu hanya untuk seks. Hanya main-main. Yaitu adanya niatan dari awal
bahwa ikatan keduanya akan cerai otomatis dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati.
Inilah menurut saya, bedanya nikah
untuk membangun rumah tangga dengan nikah kontrak. Kalau nikah untuk membangun
rumah tangga, itu jelas niatnya adalah ihshoon: niat tulus untuk saling memelihara,
menjaga, melindungi, mengayomi, dan menghormati antar pasangan. Tapi kalau
nikah kontrak, itu sudah jelas tidak ada niatan untuk memelihara, menjaga,
melindungi, dan mengayomi si perempuan terutama. Buktinya: adanya kesepakatan
cerai otomatis dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Jadi tidak benar kalau disimpulkan
bahwa seks atas dasar suka sama suka, atau berdasar akad ihshoon alias
komitmen berhubungan seksual, itu boleh dengan hanya berdasar QS.4:24 di atas.
Justru ayat ini semakin memperkuat bahwa menikahi perempuan itu tidak boleh
main-main. Nikah adalah perjanjian yang amat sangat kokoh (QS.4:21). Karenanya
harus dengan ihshoon.
QS. Al-Nur[24]: 33
وَلَا تُكْرِهُوا
فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Dan janganlah kamu paksa
budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, SEDANG MEREKA SENDIRI MENGINGINKAN
IHSHOON, KARENA KAMU HENDAK MENCARI KEUNTUNGAN DUNIAWI. Dan barangsiapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
Begitu dulu. Bersambung, insya
Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar