Minggu, 20 Oktober 2019

NIKAH TIDAK SAH


—Saiful Islam—

“Mayoritas penerjemah Qur’an, menurut saya, kurang tepat dalam menerjemah kata ihshoon ini…”

Jadi kalau mencermati kata ihshoon dalam kamus-kamus Arab, maupun ayat-ayat Qur’an, maka ada beberapa hal penting yang perlu kita simpulkan. Pertama, kata ihshoon, itu secara umum berarti menjaga, menyimpan, memelihara, melindungi, membentengi, dan semacamnya. Semacam perisai atau tameng, sehingga tidak bisa ditembus. Bentuknya bisa berupa baju besi, jaket anti peluru, benteng kerajaan, dan semisalnya.

Makna tersebut, diperoleh dari konteks ayat-ayat Qur’an. Misalnya kata tuhshinuun dalam QS.12:48, dari asal kata yang sama hashona, itu berarti menyimpan. Kata lituhshinakum dalam QS.21:80 itu berarti melindungi. Kata hushuunuhum dalam QS.59:2 artinya adalah benteng-benteng. Kata muhashshonah dalam QS.59:14, adalah kata sifat untuk negeri: negeri yang dibentengi.

Kedua, kata ihshoon dalam konteks perempuan, misalnya ahshonat dalam QS.21:91 dan QS.66:12. Artinya adalah menjaga kemaluannya supaya tidak seks dengan laki-laki. Al-muhshonaat dalam QS.4:24, QS.4:25, QS.24:4, dan QS.24:23, berarti perempuan yang sudah bersuami. Al-muhshonaat juga bisa berarti perempuan yang belum bersuami, seperti al-muhshonaat al-mu’minat (QS.4:25) dan QS.5:5.

Ketiga. Setiap perempuan yang ahshonat farjaha (menjaga kemaluannya), adalah perempuan muhshonah. Memang ahshonat farjaha dalam QS.21:91 dan QS.66:12, perempuan itu adalah Maryam. Namun kalimat tersebut bisa berlaku umum bagi setiap perempuan yang menjaga kemaluannya. Alias perempuan yang tidak gampangan seks dengan laki-laki.

Perempuan yang ahshonat farjaha, kalau ia belum menikah, maka muhshonah-nya itu karena dirinya sendiri. Ya karena menjaganya itu. Tapi perempuan yang sudah bersuami juga disebut muhshonah. Nah, muhshonah-nya ini karena ada suaminya itu. Atau tidak seks kecuali dengan suaminya. Bahkan saya mendapat kesan, ia disebut perempuan muhshonah karena dijaga, dipelihara, dihormati, dan dilindungi oleh suami yang mencintainya.

Sehingga—catat ini sangat penting—saya menemukan makna baru dalam ihshoon ini. Yaitu kata ihshoon ini semacam ruhnya nikah. Kalau nikah itu sekadar akad. Nah, kalau ihshoon adalah ruhnya akad tersebut. Yaitu ketulusan seseorang untuk memelihara, menjaga, mengayomi, melindungi, dan menghormati pasangannya. Di dalamnya termasuk mencintai, mengasihi, dan menyayangi pasangannya dengan jujur dan tulus. Tujuannya adalah membangun sebuah keluarga karena Allah.

Insya Allah, memang, Anda tidak akan menemukan kesimpulan ini dalam kamus-kamus Arab yang kredibel. Bahkan mayoritas penerjemah Qur’an kurang tepat dalam menerjemah kata ihshoon ini. Biasanya mereka menerjemahkan kata ihshoon ini dengan nikah atau menikah. Padahal jelas-jelas redaksinya adalah muhshiniin. Bukan munkihiin. Misalnya diceritakan dalam ayat berikut ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan DIHALALKAN bagi kamu selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI DENGAN HARTAMU UNTUK DINIKAHI, BUKAN UNTUK BERZINA. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Terutama kalimat yang berbunyi, “Dan DIHALALKAN bagi kamu selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI DENGAN HARTAMU UNTUK DINIKAHI, BUKAN UNTUK BERZINA.” Yang benar menurut saya, “Dan DIHALALKAN bagi kalian selain yang demikian, (YAITU) MENCARI ISTERI-ISTERI DENGAN HARTAMU SECARA IHSHOON, BUKAN SECARA ZINA.”

“Seks atas dasar suka sama suka, itu boleh. Yaitu akad ihshoon. Akad komitmen berhubungan seksual. Bukan akad nikah,” katanya. Jelas ini kesimpulan yang salah total. Dan fatal. Sebab, ihshoon baik secara bahasa maupun konteks ayat-ayat Qur’an, itu tidak ada yang bermakna akad. Muhshiniin ghayr musaafihiin, dalam QS.5:5 dan QS.4:24, itu berarti SECARA IHSHOON. Semacam sikap. Bukan akad ihshoon.

Secara ihshoon, artinya mencari istri dengan maksud membangun rumah tangga. Dengan tujuan tulus akan memelihara calon istrinya, melindunginya, menjaganya, ‘ngemong’, mengayominya, menghormati, mencintai, dan menyayanginya. Tentu saja, harus melalui akad nikah terlebih dahulu. Dalam konteks perjodohan, ini memang Qur’an sering kali menggunakan redaksi nakaha, nikahkanlah. Misalnya QS.4:3, QS.2:221, dan QS.24:32.

Maka, akad nikah saja, itu sejatinya belum cukup. Akad nikah maksudnya perjanjian akan berhubungan seks, yang ada ahlinya, serta ada maharnya. Sekali lagi, sebenarnya ini belum cukup. Memahami ayat-ayat Qur’an memang harus komprehensif. Tidak boleh sepotong-sepotong. Sebab memang tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan di lokalisasi atau kawin kontrak. Mereka bisa mengakali hukum Qur’an.

Misalnya ahlinya (Qur’an memang hanya mengharuskan minta izin ke ahlinya. Kemudian dimaknani keluarganya atau diplesetkan: siapa pun yang berkuasa kepadanya, seperti germonya) dan maharnya disetting. Kemudian ada ijab kabulnya. Tanpa tertulis. Kemudian, kedua belah pihak sama-sama tahu bahwa pernikahan itu akan otomatis bercerai dalam waktu yang ditentukan. Misalnya setahun. Atau sebulan. Seminggu, sehari, sejam, bahkan sepuluh menit seperti di lokalisasi.

Menurut saya, akad nikah yang demikian ini tidak sah. Batal. Sebab, selain tidak ada ayat Qur’an yang memerintahkan menikah untuk bercerai, nikah ala lokalisasi itu, atau nikah kontrak, itu tidak muhshiniin. Alias tidak ihshoon. Yakni tidak dijiwai dengan niatan tulus untuk memelihara, menjaga, melindungi, mengayomi, dan menghormati si perempuan. Tidak ada niat membangun rumah tangga. Akad nikahnya itu hanya untuk seks. Hanya main-main. Yaitu adanya niatan dari awal bahwa ikatan keduanya akan cerai otomatis dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.

Inilah menurut saya, bedanya nikah untuk membangun rumah tangga dengan nikah kontrak. Kalau nikah untuk membangun rumah tangga, itu jelas niatnya adalah ihshoon: niat tulus untuk saling memelihara, menjaga, melindungi, mengayomi, dan menghormati antar pasangan. Tapi kalau nikah kontrak, itu sudah jelas tidak ada niatan untuk memelihara, menjaga, melindungi, dan mengayomi si perempuan terutama. Buktinya: adanya kesepakatan cerai otomatis dalam jangka waktu yang telah disepakati.

Jadi tidak benar kalau disimpulkan bahwa seks atas dasar suka sama suka, atau berdasar akad ihshoon alias komitmen berhubungan seksual, itu boleh dengan hanya berdasar QS.4:24 di atas. Justru ayat ini semakin memperkuat bahwa menikahi perempuan itu tidak boleh main-main. Nikah adalah perjanjian yang amat sangat kokoh (QS.4:21). Karenanya harus dengan ihshoon.

QS. Al-Nur[24]: 33
وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, SEDANG MEREKA SENDIRI MENGINGINKAN IHSHOON, KARENA KAMU HENDAK MENCARI KEUNTUNGAN DUNIAWI. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Begitu dulu. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...