Sabtu, 19 Oktober 2019

CEWEK GAMPANGAN


—Saiful Islam—

“Sebagian (kecil) sahabat Nabi membenci nikah MBA itu. Sebagian besar sahabat membolehkan nikahnya…”

Kata muhshiniin dalam Qur’an, itu dilawankan dengan musaafihiin. Begitu juga muhshonaat, dilawankan dengan musaafihaat. Dengan kata lain, kata dasar hashona dilawankan dengan safaha. Muhshiniiin ghayr musaafihiin. Muhshiniin yang selain musaafihiin. Begitu kata Qur’an. Atau muhshonaat ghayr musaafihaat. Muhshonaat yang selain musaafihaat.

Yang redakisnya muhshiniiin ghayr musaafihiin. Muhshiniin yang selain musaafihiin, diceritakan dalam QS.5:5 dan QS.4:24 sebagai berikut.

QS. Al-Maidah[5]: 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu. Dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan manikahi) perempuan yang menjaga kehormatan diantara para perempuan yang beriman dan para perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka DENGAN MAKSUD MENIKAHINYA. BUKAN DENGAN MAKSUD BERZINA, DAN TIDAK (PULA) MENJADIKANNYA GUNDIK-GUNDIK. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempyan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu UNTUK DINIKAHI BUKAN UNTUK BERZINA. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Sedangkan redaksi muhshonaat ghayr musaafihaat. Alias muhshonaat yang selain musaafihaat, diceritakan dalam QS.4:25 sebagai berikut.

QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi perempuan yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain. Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah mahar mereka menurut yang patut. Sedang mereka pun PARA PEREMPUAN YANG MEMELIHARA DIRI, BUKAN PEZINA DAN BUKAN (PULA) WANITA YANG MENGAMBIL LAKI-LAKI LAIN SEBAGAI PIARAANNYA. Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan (kesulitan) menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka sangat penting bagi kita membedah kata musaafihiin atau musaafihaat itu sendiri. Kita bisa menelusurinya melalui kamus-kamus Arab, dari kata dasarnya: sa,fa,ha, safaha.

Sayang sekali. Entah kenapa, al-Raghib al-Ashfahaniy baik dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, maupun dalam Mufradat Alfazh al-Qur’an, tidak menceritakan ini. Ia sama sekali tidak membahas kata safaha dalam kedua bukunya itu.

Sekarang kita melacak keterangan Ibnu Manzhur tentang kata safaha itu di dalam karyanya, Lisan al-Arab.

Al-safh itu adalah jalan air di pegunungan. Semacam sebuah sisi di pegunungan, dimana air bisa mengalir di situ. Tentu saja, posisi tempat itu miring. Menurut satu pendapat, al-safh itu adalah dasarnya gunung. Ada pula yang mengatakan bahwa al-safh adalah tanah datar di kaki gunung yang paling bawah. Bentuk pluralnya adalah sufuuh. Dan al-sufuuh aslinya bermakna batu karang. Atau semacam batu untuk pondasi bangunan, kalau sekarang. Atau batu kali yang cukup besar. Al-sufuuh juga bisa berarti batu licin yang membuat kaki orang gampang terpeleset.

Sedangkan al-tasaafuh, al-sifaah dan al-musaafahah itu berarti zina dan cabul atau lacur. Disebut di dalam Qur’an, muhshiniiin ghayr musaafihiin (QS.5:5 dan QS.4:24). Kata itu asalnya dari al-shubb, yakni sangat cinta atau sangat rindu. Seorang perempuan berkata, “Saafahtuh musaafahatan wa sifaahan (aku sangat mencintainya, aku sangat rindu kepadanya).” Ungkapan ini menggambarkan hubungan seks (cabul) antara perempuan dan laki-laki tanpa nikah yang benar.

Maka, anak hasil zina itu disebut ibnu al-musaafihah. Pernah ada disebutkan dalam Hadis begini bunyinya: Awwaluhu sifaah wa aakhiruhu nikaah. Yaitu seorang perempuan yang seks beberapa kali dengan laki-laki, hanya dasar suka sama suka. Atau tanpa akad nikah. Dengan lacur atau cabul. Baru kemudian si laki-laki akhirnya menikahinya. Ini semacam married by accident (MBA), kalau istilah milenial sekarang.

Ada yang unik di sini. Diceritakan bahwa sebagian (kecil) sahabat Nabi membenci nikah MBA itu. Sebagian besar sahabat membolehkan nikahnya. Tapi ingat ya, membolehkan nikahnya. Bukan membolehkan seks sebelum nikahnya!

Adapun al-musaafihah, itu adalah perempuan cabul. Atau perempuan lacur. Disebutkan muhshonaat ghayr musaafihaat dalam QS.4:25. Musaafihaat dalam ayat ini, adalah bentuk plural (jamak) dari musaafihah. Menurut Abu Ishaq, al-musaafihah itu adalah perempuan yang tidak menahan diri dari zina. “Zina dinamai sifaahan karena seks tanpa ada akad,” katanya. Seperti air yang mengalir tanpa ada halangan apa pun. “Cewek gampangan,” kata anak muda milenial sekarang.

Yang lain berpendapat. Bahwa zina itu disebut sifaahan karena di sana tidak ada kehormatan (kesakralan) nikah dan tidak ada akad nikah (‘aqd al-tazwiij). Salah seorang dari keduanya—baik laki-lakinya maupun perempuannya, mengalirkan air maninya (sperma) tanpa kesakralan (nikah) yang membolehkannya. Menurut satu pendapat, kata itu diambil dari safaht al-maa’ (aku mengalirkan air). Yakni menuangkan air.

Di zaman jahiliyah (sebelum Qur’an turun), kalau ada laki-laki yang bermaksud khitbah kepada perempuan atau bermaksud akan seks yang dianggap benar, maka laki-laki itu berkata: Ankihiiniy (menikahlah denganku). Tapi kalau laki-laki itu hanya ingin berzina, maka ia berkata kepada perempuan itu, “Saafihiiniy.”

Sekarang kita sudah mendapat gambaran yang cukup gamblang tentang kata ihshoon dan musaafihah. Analisisnya, insya Allah, di depan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...