—Saiful Islam—
“Sebagian (kecil) sahabat Nabi
membenci nikah MBA itu. Sebagian besar sahabat membolehkan nikahnya…”
Kata muhshiniin dalam
Qur’an, itu dilawankan dengan musaafihiin. Begitu juga muhshonaat,
dilawankan dengan musaafihaat. Dengan kata lain, kata dasar hashona
dilawankan dengan safaha. Muhshiniiin ghayr musaafihiin. Muhshiniin
yang selain musaafihiin. Begitu kata Qur’an. Atau muhshonaat ghayr
musaafihaat. Muhshonaat yang selain musaafihaat.
Yang redakisnya muhshiniiin
ghayr musaafihiin. Muhshiniin yang selain musaafihiin,
diceritakan dalam QS.5:5 dan QS.4:24 sebagai berikut.
QS. Al-Maidah[5]: 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ
عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal
bagimu. Dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan manikahi)
perempuan yang menjaga kehormatan diantara para perempuan yang beriman dan para
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka DENGAN MAKSUD MENIKAHINYA. BUKAN
DENGAN MAKSUD BERZINA, DAN TIDAK (PULA) MENJADIKANNYA GUNDIK-GUNDIK.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kamu menikahi)
perempyan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu UNTUK
DINIKAHI BUKAN UNTUK BERZINA. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sedangkan redaksi muhshonaat
ghayr musaafihaat. Alias muhshonaat yang selain musaafihaat,
diceritakan dalam QS.4:25 sebagai berikut.
QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ
ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا
أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى
الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ
تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi perempuan
merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi perempuan yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain. Karena itu nikahilah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah mahar mereka menurut yang patut. Sedang mereka pun PARA
PEREMPUAN YANG MEMELIHARA DIRI, BUKAN PEZINA DAN BUKAN (PULA) WANITA YANG
MENGAMBIL LAKI-LAKI LAIN SEBAGAI PIARAANNYA. Dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan nikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang
bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan (kesulitan) menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara
kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Maka sangat penting bagi kita
membedah kata musaafihiin atau musaafihaat itu sendiri. Kita bisa
menelusurinya melalui kamus-kamus Arab, dari kata dasarnya: sa,fa,ha, safaha.
Sayang sekali. Entah kenapa, al-Raghib
al-Ashfahaniy baik dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, maupun dalam Mufradat
Alfazh al-Qur’an, tidak menceritakan ini. Ia sama sekali tidak membahas
kata safaha dalam kedua bukunya itu.
Sekarang kita melacak keterangan
Ibnu Manzhur tentang kata safaha itu di dalam karyanya, Lisan al-Arab.
Al-safh itu adalah
jalan air di pegunungan. Semacam sebuah sisi di pegunungan, dimana air bisa
mengalir di situ. Tentu saja, posisi tempat itu miring. Menurut satu pendapat, al-safh
itu adalah dasarnya gunung. Ada pula yang mengatakan bahwa al-safh
adalah tanah datar di kaki gunung yang paling bawah. Bentuk pluralnya adalah sufuuh.
Dan al-sufuuh aslinya bermakna batu karang. Atau semacam batu untuk
pondasi bangunan, kalau sekarang. Atau batu kali yang cukup besar. Al-sufuuh
juga bisa berarti batu licin yang membuat kaki orang gampang terpeleset.
Sedangkan al-tasaafuh, al-sifaah
dan al-musaafahah itu berarti zina dan cabul atau lacur. Disebut di
dalam Qur’an, muhshiniiin ghayr musaafihiin (QS.5:5 dan QS.4:24). Kata
itu asalnya dari al-shubb, yakni sangat cinta atau sangat rindu. Seorang
perempuan berkata, “Saafahtuh musaafahatan wa sifaahan (aku sangat
mencintainya, aku sangat rindu kepadanya).” Ungkapan ini menggambarkan hubungan
seks (cabul) antara perempuan dan laki-laki tanpa nikah yang benar.
Maka, anak hasil zina itu disebut ibnu
al-musaafihah. Pernah ada disebutkan dalam Hadis begini bunyinya: Awwaluhu
sifaah wa aakhiruhu nikaah. Yaitu seorang perempuan yang seks beberapa kali
dengan laki-laki, hanya dasar suka sama suka. Atau tanpa akad nikah. Dengan
lacur atau cabul. Baru kemudian si laki-laki akhirnya menikahinya. Ini semacam married
by accident (MBA), kalau istilah milenial sekarang.
Ada yang unik di sini. Diceritakan bahwa
sebagian (kecil) sahabat Nabi membenci nikah MBA itu. Sebagian besar sahabat
membolehkan nikahnya. Tapi ingat ya, membolehkan nikahnya. Bukan membolehkan
seks sebelum nikahnya!
Adapun al-musaafihah, itu
adalah perempuan cabul. Atau perempuan lacur. Disebutkan muhshonaat ghayr
musaafihaat dalam QS.4:25. Musaafihaat dalam ayat ini, adalah bentuk
plural (jamak) dari musaafihah. Menurut Abu Ishaq, al-musaafihah
itu adalah perempuan yang tidak menahan diri dari zina. “Zina dinamai sifaahan
karena seks tanpa ada akad,” katanya. Seperti air yang mengalir tanpa ada
halangan apa pun. “Cewek gampangan,” kata anak muda milenial sekarang.
Yang lain berpendapat. Bahwa zina
itu disebut sifaahan karena di sana tidak ada kehormatan (kesakralan) nikah
dan tidak ada akad nikah (‘aqd al-tazwiij). Salah seorang dari
keduanya—baik laki-lakinya maupun perempuannya, mengalirkan air maninya
(sperma) tanpa kesakralan (nikah) yang membolehkannya. Menurut satu pendapat,
kata itu diambil dari safaht al-maa’ (aku mengalirkan air). Yakni
menuangkan air.
Di zaman jahiliyah (sebelum Qur’an
turun), kalau ada laki-laki yang bermaksud khitbah kepada perempuan atau
bermaksud akan seks yang dianggap benar, maka laki-laki itu berkata: Ankihiiniy
(menikahlah denganku). Tapi kalau laki-laki itu hanya ingin berzina, maka ia
berkata kepada perempuan itu, “Saafihiiniy.”
Sekarang kita sudah mendapat
gambaran yang cukup gamblang tentang kata ihshoon dan musaafihah. Analisisnya,
insya Allah, di depan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar