Minggu, 16 Februari 2014

BERSAHABAT DENGAN CAHAYA



           

             “Menyingkirlah dari orang-orang bodoh”, begitu salah satu bunyi firman-Nya. Ini disampaikan pertama kali, biar saya tidak malu-malu mengatakan kata “bodoh”. Jujur, selama ini saya malu-malu mengatakan kata itu. Dan dalam pergaulan, seingat saya, saya tidak pernah mengatakan kata itu kepada kawan diskusi saya. Iya khan teman-teman??!

            Baiklah kalau begitu. Lanjut. Bodoh adalah salah satu yang diperangi oleh Nabi Muhammad, selain kemiskinan dan keterbelakangan. Karena bodohlah yang menyebabkan orang celaka dan mencelakakan orang lain. Baik di dunia, maupun di akherat kelak. Padahal, Allah telah menjadikan kita ini sebagai insan sepenuhnya yang dibekali dengan penglihatan, pendengaran dan hati.

            Bodoh bisa dibagi menjadi beberapa. Pertama, bodoh spiritual. Wajar kalau belum ada kitab suci, atau seorang rasul yang datang kepada mereka. Menjadi keterlaluan, manusia modern sekarang masih bodoh soal ini. Karena Alquran sudah jelas. Pewaris para Nabi pun bertebaran dimana-mana. Ditambah fasilitas teknologi modern lagi.

            Kedua, bodoh mental. Bodoh mental, seperti takut, sedih, was-was, egois, marah, iri, dengki, pelit, hasut, sombong, tamak, rakus, dan semisalnya. Ada penelitian dan dibenarkan oleh banyak pakar bahwa 80% kecerdasan emosional berpengaruh besar pada kesuksesan. Apalah macam kesuksesan itu. Orang bodoh mental, hampir dipastikan bakal selalu gagal.

            Ketiga, bodoh intelektual. Bisa dibilang intelektual adalah tujuan utama sebuah wahyu Allah. Bahkan intelektual inilah yang mempengaruhi spiritual dan emosional. Kalau intelektualnya bodoh, hampir bisa dipastikan spiritual dan mentalnya bakal bodoh. Kecuali kalangan para rasul yang memang ilmu mereka dapat “transferan” dari Allah. Orang biasa seperti kita, ngaku dapat “transferan” juga tanpa mau belajar, zaman sekarang itu bakal jadi lelucon saja.

            Apakah langsung orang bodoh semacam itu kita hindari? Sebentar dulu. Memang ada tiga jenis orang. Pertama, orang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu, ikuti dia. Kedua, orang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, bimbing dia. Ketiga, orang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sok tahu lagi. Nah, bodoh yang semacam inilah yang harus kita hindari.

            Orang yang tidak tahu, dan tahu bahwa dirinya tidak tahu, biasanya dia mau belajar. Maka jangan dihindari. Tapi bimbing dia. Sebaliknya, orang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu, maka jangan sungkan-sungkan untuk “follow” dia (kayak twitter-an aja, hehehe). Tapi kalau orang sok tahu, ini yang repot. Kalau bisa merubah ya syukur. Tapi kalau memang bandel, udah deh. Tinggalin aja. Sepakat??!

            Orang pandai, cerdas, baik intelektual, mental dan spiritualnya sudah pasti menjadi sayangan Allah. Tandanya, dia selalu menggunakan akalnya. Tidak mudah ikut-ikut orang (la taqfu ma laisa laka bihi ilm, inna al-sam’a,...dst). Dia suka membaca dan mengamati baik ayat-ayat qouliyah (Alquran) maupun kauniyah (alam semesta plus makhluknya).

            Memang, di sekitar kita ada orang yang mudah sekali mendapat ilmu. Wawasannya luas ilmunya pun banyak. Ada lagi, orang yang mudah sekali mendapatkan uang. Dia pandai mencari uang. Dia pun kaya. Juga ada, orang yang sabar, pengertian, perhatian, kepribadiannya hangat, setia dan seterusnya. Teman-temannya pun banyak, dia juga pandai memberi manfaat kepada sesaama. Nah, memang sebaiknya kita belajar kepada mereka. Dengan metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

            Kalau Allah menyuruh agar menyingkir dari orang bodoh, mafhum mukhalafah-nya berarti kita diperintah untuk mendekati, menjadikan sahabat orang-orang yang pintar, alim, cerdas, jenius spiritualnya, mentalnya  dan intelektualnya. Masih ingat toh, tembang “Tombo Ati Iku Limo Perkarane”. Apa kapeng pisan? Kapeng pindo? Bagus-bagus berarti Sobat masih ingat. Teruskan. Nyanyi dalam hati saja. Hehehe....

            Jangan sudah tahu diri nggak pinter nyari ilmu, miskin ilmu, nggak pinter nyari uang, miskin uang, malah menjauh dari yang lebih pinter. Bisa-bisa kita terjebak dalam kesombongan. Kan, sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain?!

            Awas, lingkungan yang bodoh kalau kita tidak waspada akan membuat kita bodoh juga. Wong orang tua saja kata Nabi, bisa membuat anak nasrani (yunashshiranih), yahhudi (yuhawwidanih), dan majusi (yumajjisanih). Apalagi teman dan lingkungan, tambah berpotensi membuat anak jadi (bajingan) yubajjinganih, atau copet (yucoppettanih), hehehe. Ini yang bisa ketawa hanya yang paham ilmu nahwu-sharaf. Yang belum belajar, nampaknya nggak bisa ikut seneng. Hehehe.

Maka, teruslah belajar. Jangan mau jadi korban. Kita mesti jadi pelakunya. Posisikan diri sebagai khalifah, yang berani memerintah kebaikan dan melarang keburukan. Meski kecil! We are the agent of change. Dekatilah buku. Dekatilah ilmu. Dekatilah orang yang “melek” nuraninya. Dekatilah hikmah (kebijaksanaan), meskipun keluar dari mulut anjing sekalipun.

Untuk “sangune turu”, selamat membaca. Semoga mimpi indah...;)


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...