Kamis, 20 Februari 2014

SELALU JADI GELAS KOSONG



Telinga kita sudah tidak asing lagi dengan “Sombong loh”. Ada orang bersikap etis, dikata sombong. Ada orang pakaiannya, kendaraannya, rumahnya serba mewah, dikata sombong. Awas, jangan-jangan kita sendiri yang sombong. Jangan-jangan kita sendiri yang iri dengan prestasi orang lain. Kita perlu curigai hati kita sendiri sobat.
Tuhan memberikan kita satu mulut, dan dua telinga. Sepertinya itu tanda agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kita juga diberi dua mata. Sepertinya juga itu tanda, agar kita lebih banyak membaca, mengamati, observasi daripada ngomong. Tuhan juga menganugerahi kita dua tangan, lengkap dengan sepuluh jarinya. Itu juga tanda agar kita lebih banyak menulis daripada ngomong. Jadi daripada kita ribet ngatain orang sombong, lebih baik kita genjot energi diri kita untuk mengukir prestasi setinggi-tingginya, agar bisa berkontribusi seluas-luasnya. Talk less do more!
Makna sombong sebenarnya adalah, menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Dikala kita menolak kebenaran dari orang lain mungkin karena gengsi, padahal kita tahu bahwa itu benar, maka kita sudah sombong. Begitu juga, dikala kita meremehkan orang lain, menganggap orang lain bodoh, tidak berguna, tidak bermutu, kita telah terjebak dalam lingkaran kesombongan.
Walau Anda sudah sarjana tingkat tertinggi sekalipun, walau Anda se-kaya raya apapun, jangan pernah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Orang pintar itu relatif. Orang kaya pun relatif. Dan orang itu punya kepintaran sesuai dengan pekerjaannya masing-masing. Orang juga punya kekayaan sesuai pencapainnya saat itu. Bisa jadi seorang kaya itu miskin bila dibandingkan dengan orang yang lebih kaya darinya. Bisa jadi orang miskin itu kaya, jika dibandingkan orang yang lebih miskin darinya. Soal ilmu begitu juga. Apalagi, bukankah orang disebut kaya itu karena ada si miskin? Bukankah orang disebut pintar itu karena ada si bodoh? Oleh karenanya, jangan sekali-kali kita sombong. Kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Nasi yang kita makan, siapa yang menanamnya? Baju yang kita pakai, siapa yang menanam kapasnya? Siapa yang menjahitnya? Dan seterusnya.
Sekali lagi, orang itu punya kepintarannya masing-masing yang tidak boleh meremehkan orang lain yang terjun di bidang yang berbeda. Pada kasus ini, perbedaan adalah rahmat. Mungkin kisah di bawah ini lebih representatif.
Ada seorang pemuda yang untuk mendapatkan gelar kesarjanaanya ditugaskan untuk melakukan penelitian ke sebuah desa. Untuk menuju desa itu, ia harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam.
Dia mencari perahu yang bisa membawanya menyeberangi sungai. Pada kesempatan itu, ia berjumpa dengan seorang kakek tua yang sedang duduk beristirahat di atas perahunya. Ia meminta kakek itu menyeberangkannya dengan perahunya. Setelah bernegosiasi cukup lama, akhirnya dicapai kesepakatan. Pemuda itu pun naik ke atas perahu.
Sepanjang perjalanan terjadi percakapan yang diwarnai dengan pertanyaan-pertanyaan dari pemuda itu. “Apakah kakek bisa berbahasa Inggris?”
Sambil mendayung, si kakek menjawab, “Tidak bisa, Nak”.
“Kalau begitu kakek telah kehilangan 1/5 bagian dari kehidupan ini”, kata pemuda tersebut.
Merasa dirinya lebih pintar, pemuda itu bertanya lagi, “Apakah kakek bisa menggunakan komputer?”
“Tidak bisa, Nak”.
Dengan rasa sangat bangga terhadap dirinya, pemuda itu terus melancarkan pertanyaan, “Apakah kakek mengerti ilmu akutansi?”
Lagi-lagi, si kakek menjawab, “Tidak tahu, Nak”.
“Sayang sekali, kek. Kakek telah menyia-nyiakan kehidupan ini. Bahkan, kakek sebenarnya telah kehilangan 3/5 bagian hidup ini”, ujar pemuda tadi.
Percakapan berhenti, suasana menjadi hening. Tidak lama kemudian angin timur tertiup, makin lama makin kencang. Perahu itu terombang-ambing oleh angin dan gelombang. Pemuda itu mulai gusar.
Melihat hal itu, si kakek lalu bertanya kepada pemuda itu, “Nak, apakah kamu bisa berenang?”
“Tidak, kek. Saya belum pernah belajar berenang”, jawab pemuda itu dengan wajah pucat.
Kemudian si kakek melanjutkan perkataannya, “Kalau begitu, kamu akan segera kehilangan 5/5 bagian (100%) dari hidupmu”.
Itulah akibatnya, jika seseorang suka berprinsip dan berkata, “I have known” aku sudah tahu. Ilmunya tidak akan bertambah. Skillnya tidak akan berkembang. Padahal, sekali lagi, kita itu dianugerahi dua telinga, dua mata dan hanya satu mulut. Ending-endingnya, hanya merugikan dan mencelakakan dirinya sendiri.
Maka, jadilah selalu gelas yang kosong. Gelas yang siap diisi oleh hidayah Tuhan. Ini hanya bisa, kalau kita selalu memandang orang lain sebagai karya indah Tuhan yang beraneka ragam. Sebuah karya yang punya keahlian dan keunuggulannya masing-masing. Ingat, hidayah itu bisa keluar dari mulut siapa saja, darimana saja. Itulah cara Tuhan menyampaikan hidayah-Nya kepada kita. Hidayah Tuhan akan terus sampai kepada kita, kecuali kita merasa dan berkata, I have known.

NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J)
Yuk diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...