
Padahal, mereka kan memang punya
akal untuk berpikir dan berpendapat. Mereka juga punya hati untuk merasakan.
Mereka pun punya mulut untuk berkata tentang kita. Pertanyaannya, apakah kita
bisa mengontrol pikiran, perasaan dan mulut mereka? Sudah pasti jawabannya
tidak.
Sebaliknya, yang bisa kita kontrol
adalah diri kita sendiri. Yang jelas, kita bisa mengontrol pikiran, perasaan,
mulut, sikap dan tindakan kita saja. So, biarin mereka berkomentar seperti apa.
Biarin mereka menilai kita. Yang penting, kita tetap setia dengan kebaikan,
kebenaran dan keindahan.
Ya, mestinya kita memang fokus hanya
pada apa yang bisa kita kontrol. Sangat aneh, kalau kita memikirkan, merasakan,
menakuti apa yang tidak bisa kita kontrol. Malah, ini bisa membuat kita tidak
bahagia. Dan, ini hidup kita bukan hidup mereka. Kalau kita terus berusaha memuaskan
orang lain, jawabannya pasti tidak bisa. Itu pengakuan Imam Syafii.
Satu lagi, bahwa kalau kita terlalu
menghiraukan pendapat orang pada diri kita, maka kita sulit untuk menjadi insan
yang otentik. Modelling, memang. Tapi bagaimanapun kita adalah makhluk unik
yang pernah diciptakan oleh Allah. Tidak ada satupun yang persis dengan kita.
Dan, justru keunikan itulah pada zaman BBM sekarang ini menjadi sesuatu yang
mahal.
Sudah dari sananya, manusia ingin
selalu berbeda. Sekali lagi, ini sudah fitrah. Kalaupun meniru, sudah pasti
tetap ada sisi yang berbeda. Tidak sama. Nah, kita tidak mungkin hidup dalam
penilaian orang lain agar sama. Sekali lagi, kita memang berbeda.
Agus Mustofa dalam sebuah bukunya
pernah mengaku, “Memang saya ini bukan Ustadz. Saya hanya kawan diskusi bagi
siapa saja”. Ini pengakuannya ketika perasaannya mulai tidak nyaman dengan
sikap orang lain kepada dirinya. Senyum, namun tidak tahu maksudnya. Senyum
ikut bangga atau malah sinis?! Tapi memang ia. Nabi Muhammad tuh, tidak pernah
memposisikan dirinya sebagai Kiai, Guru, Ustadz di depan para sahabat. Dia
memposisikan dirinya sebagai sahabat, alias kawan diskusi, kawan curhat dan
yang semisalnya.
So, memang tidak usah sedih bila
dihina. Tidak usah kegirangan bila dipuji. Tataplah ridha Allah saja. Baik
dihina maupun dipuji, tetaplah setia dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Karena ketiganya yang akan mengantarkan kita menuju masa depan yang cerah:
rezeki, jodoh, kebahagiaan hingga surga.
Coba biasakan seperti ini saat dipuji,
“Tuhan, maafkan aku atas apa yang mereka tidak tahu dalam diriku. Jangan Kau
hukum aku karena apa yang mereka katakan. Dan jadikanlah aku lebih baik dari
apa yang mereka kira”. Semoga ini menjadi netralisir setiap komen dari
orang-orang di sekeliling kita. Tidak kegirangan saat dipuji, tidak sedih bila
dihina.
Ini penting saya sampaikan, karena
memang kata-kata itu punya kekuatan. Dia bisa menghidupkan tapi juga mematikan.
Itulah sihir yang sesungguhnya. Coba perhatikan firman Allah berikut:
“Hai orang-orang yang beriman,
sembutlah seruan Allah dan rasul-Nya. Ketika mengajak kalian kepada sesuatu
yang menghidupkan kalian”. Nah, apa yang menghidupkan itu? Tentu saja Alquran
dan sunnah yang sahih. Sedangkan Alquran dan sunnah yang sahih bagi kita sekarang
adalah rangkaian kata, bukan?!
Rasulullah pun, pernah bersabda
bahwa dalam perkataan itu mengandung sihir. Maksudnya apa, banyak penilaian
orang yang tanpa sadar sebenarnya membuat kita down. Kita hilang kepercayaan diri
hanya karena mereka berpendapat sekenanya, seenaknya. Oleh sebab itu, sesekali
kita memang penting tidak memperdulikan apa kata orang. Anjing menggonggong,
kafilah tetap berlalu. Begitulah bunyi salah satu pepatah yang kebetulan saya
ingat.
Jadi, tetaplah setia dengan
kebaikan, kebenaran dan keindahan. Tetaplah semangat. Keep moving. Keep doing.
Keep action. Wallahu a’lam.
NB: Silahkan IZIN kepada penulis di:
ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan
artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J)
Yuk diskusi juga di
@ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan
spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar