Senin, 17 Februari 2014

BURUNG BERKICAU, KAFILAH TETAP BERLALU



         Seringkali, kita gusar dengan penilian orang terhadap diri kita. Sehingga itu menjadi seperti rem yang menahan eksplorasi kita. Mau berpendapat seperti ini, takut salah. Mau mengatakan seperti itu, takut dikira kuno. Mau bersikap seperti ini, takut dikira ndeso. Mau bersikap seperti itu, takut dikira tidak sopan, tidak gaul dan seterusnya. Pendek kata, kita takut orang komen pada “budaya” kita.
            Padahal, mereka kan memang punya akal untuk berpikir dan berpendapat. Mereka juga punya hati untuk merasakan. Mereka pun punya mulut untuk berkata tentang kita. Pertanyaannya, apakah kita bisa mengontrol pikiran, perasaan dan mulut mereka? Sudah pasti jawabannya tidak.
            Sebaliknya, yang bisa kita kontrol adalah diri kita sendiri. Yang jelas, kita bisa mengontrol pikiran, perasaan, mulut, sikap dan tindakan kita saja. So, biarin mereka berkomentar seperti apa. Biarin mereka menilai kita. Yang penting, kita tetap setia dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan.
            Ya, mestinya kita memang fokus hanya pada apa yang bisa kita kontrol. Sangat aneh, kalau kita memikirkan, merasakan, menakuti apa yang tidak bisa kita kontrol. Malah, ini bisa membuat kita tidak bahagia. Dan, ini hidup kita bukan hidup mereka. Kalau kita terus berusaha memuaskan orang lain, jawabannya pasti tidak bisa. Itu pengakuan Imam Syafii.
            Satu lagi, bahwa kalau kita terlalu menghiraukan pendapat orang pada diri kita, maka kita sulit untuk menjadi insan yang otentik. Modelling, memang. Tapi bagaimanapun kita adalah makhluk unik yang pernah diciptakan oleh Allah. Tidak ada satupun yang persis dengan kita. Dan, justru keunikan itulah pada zaman BBM sekarang ini menjadi sesuatu yang mahal.
            Sudah dari sananya, manusia ingin selalu berbeda. Sekali lagi, ini sudah fitrah. Kalaupun meniru, sudah pasti tetap ada sisi yang berbeda. Tidak sama. Nah, kita tidak mungkin hidup dalam penilaian orang lain agar sama. Sekali lagi, kita memang berbeda.
            Agus Mustofa dalam sebuah bukunya pernah mengaku, “Memang saya ini bukan Ustadz. Saya hanya kawan diskusi bagi siapa saja”. Ini pengakuannya ketika perasaannya mulai tidak nyaman dengan sikap orang lain kepada dirinya. Senyum, namun tidak tahu maksudnya. Senyum ikut bangga atau malah sinis?! Tapi memang ia. Nabi Muhammad tuh, tidak pernah memposisikan dirinya sebagai Kiai, Guru, Ustadz di depan para sahabat. Dia memposisikan dirinya sebagai sahabat, alias kawan diskusi, kawan curhat dan yang semisalnya.
            So, memang tidak usah sedih bila dihina. Tidak usah kegirangan bila dipuji. Tataplah ridha Allah saja. Baik dihina maupun dipuji, tetaplah setia dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Karena ketiganya yang akan mengantarkan kita menuju masa depan yang cerah: rezeki, jodoh, kebahagiaan hingga surga.
            Coba biasakan seperti ini saat dipuji, “Tuhan, maafkan aku atas apa yang mereka tidak tahu dalam diriku. Jangan Kau hukum aku karena apa yang mereka katakan. Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. Semoga ini menjadi netralisir setiap komen dari orang-orang di sekeliling kita. Tidak kegirangan saat dipuji, tidak sedih bila dihina.
            Ini penting saya sampaikan, karena memang kata-kata itu punya kekuatan. Dia bisa menghidupkan tapi juga mematikan. Itulah sihir yang sesungguhnya. Coba perhatikan firman Allah berikut:
            “Hai orang-orang yang beriman, sembutlah seruan Allah dan rasul-Nya. Ketika mengajak kalian kepada sesuatu yang menghidupkan kalian”. Nah, apa yang menghidupkan itu? Tentu saja Alquran dan sunnah yang sahih. Sedangkan Alquran dan sunnah yang sahih bagi kita sekarang adalah rangkaian kata, bukan?!
            Rasulullah pun, pernah bersabda bahwa dalam perkataan itu mengandung sihir. Maksudnya apa, banyak penilaian orang yang tanpa sadar sebenarnya membuat kita down. Kita hilang kepercayaan diri hanya karena mereka berpendapat sekenanya, seenaknya. Oleh sebab itu, sesekali kita memang penting tidak memperdulikan apa kata orang. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Begitulah bunyi salah satu pepatah yang kebetulan saya ingat.
          Jadi, tetaplah setia dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Tetaplah semangat. Keep moving. Keep doing. Keep action. Wallahu a’lam.
             NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) 
             Yuk diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...